Tiga Puluh Satu

5.7K 487 83
                                        

Surat perintah tugas kembali turun dan sampai di meja Davin. Kali ini Davin jauh lebih tenang dan cukup bersemangat untuk berangkat. Satu bulan setengah cuti dan kembali ngantor, ternyata nggak cukup membuatnya berhenti memikirkan Adis. Nggak bisa dipungkiri, perasaan sayang itu sudah ada sejak lama. Davin sudah suka dengan Adis sejak pertemuan lucu ketika cewek itu menabrak bokong Lucas saat baru saja selesai jogging bersama. Mimik wajah polosnya nggak pernah hilang dari ingatan Davin sekalipun sudah berlalu sangat lama. Bahkan kalau tanpa sengaja mengingat, Davin bisa ketawa sendiri kayak orang gila. 

Setelah membaca surat perintah, Davin langsung mengalihkan atensinya pada ponsel yang tergeletak di atas meja kerja. Barang sesaat hanya bisa diam menatap benda itu. Ada ragu-ragu yang seolah mencegahnya untuk menghubungi Adis. Ah, padahal kan tentara sudah dilatih untuk nggak boleh ragu-ragu. Davin akhirnya menyambar ponsel itu, bukan menghubungi Adis. Melainkan, memberi kabar kepada Bella kalau esok dia akan berangkat operasi rahasia. Setelah pesan dikirim dan mendapat balasan 'hati-hati' dari adiknya, Davin kembali menenggelamkan diri dalam laporan-laporan. 


*****


Sudah dua hari Adis hanya bisa terkulai lemas di atas ranjang. Beruntung ada Mbak Vanya ngurusin karena Mamah sibuk di kesatuan. Adis duduk bersandar di headboard, ketika Mbak Vanya muncul membawa nampan berisi sepiring bubur sumsum dan segelas air putih. Mbak Vanya meletakkan nampan ke atas nakas, lalu duduk di tepi ranjang.

"Mau Mbak suapin aja?" tawar Mbak Vanya. Adis menganggukan kepala pelan sebagai jawaban. Kepalanya masih terasa berat meski nggak separah kemarin. Dengan telaten Mbak Vanya menyuapi Adis. 

"Mbak," panggil Adis pelan. Mbak Vanya menaruh atensi penuh ke arah Adis, menunggu cewek itu bicara. 

"Mbak Vanya dulu waktu hamil pertama kali, tahunya hamil gimana?" tanya Adis tiba-tiba. Seolah nggak menaruh curiga, Mbak Vanya memiringkan kepala seraya mengingat-ingat kejadian itu.

"Hmm, dulu sih Mbak nggak ngerasa apa-apa. Nggak yang muntah-muntah setiap pagi atau apa gitu. Malah tiba-tiba kayak orang yang gampang laper terus yaa, Mbak sadar pas tiba-tiba nggak mens. Kenapa?" terang Mbak Vanya sambil menyuapi Adis lagi. Adis menggelengkan kepalanya pelan, lalu mengulum senyum. 

"Kok senyum-senyum sih? Kenapa? Nggak mens kamu?" berondong Mbak Vanya jadi tiba-tiba ikut curiga. Adis malah jadi nyengir dengan mimik polos. Mbak Vanya membulatkan matanya setengah kaget dan nggak percaya. Buru-buru diletakkannya mangkuk yang masih menyisakan setengah bubur itu ke nakas. Mbak Vanya langsung jalan keluar kamar sebelum sempat Adis membuka mulut. 

Nggak butuh waktu lama kok, Mbak Vanya udah balik lagi ke kamar Adis. Sebuah bungkusan testpack yang masih bersegel disodorkan kepada Adis. Disodorin benda itu, Adis jadi menatap Mbak Vanya dengan pandangan horor. 

"Ih, Mbak Vanya! Adis kan nggak hamil. Maksudnya tuh ... belum tahu," ucap Adis sedikit gelagapan. Mbak Vanya mendecak pelan menahan gemas. Ditariknya tangan Adis sampai cewek itu beranjak dari ranjang. Ditarik, di saat badan lemas, Adis pasrah aja. 

"Justru karena nggak tahu. Makanya dicari tahu. Lagian kamu sama Davin udah setahun nikah lho," tukas Mbak Vanya seraya mendorong pelan Adis sampai masuk ke dalam kamar mandi. Kalau sudah begini, Adis cuma bisa menuruti mau kakak iparnya yang bawel itu. 

Beberapa menit kemudian, Adis keluar dengan membawa testpack yang sudah terpakai. Mbak Vanya yang sedari tadi menunggu di depan kamar mandi, langsung merebut testpack di tangan Adis nggak sabaran. 

"W-wah ...," decak Mbak Vanya tertahan. "Alhamdulillah ..."

Adis menatap lekat-lekat kakak iparnya itu dengan sorot mata sendu yang samar. Entah kenapa Adis justru nggak merasa bahagia. Tapi, dia tetap membalas pelukan Mbak Vanya dan mengulas senyuman. Bayangan Davin menjadi orang pertama yang mengetahui berita itu, pupus sudah. Tapi kalaupun Mbak Vanya nggak tahu, Adis juga berpikir ulang. Sudah dua minggu berlalu dan keduanya sama-sama nggak saling bertukar kabar. Apa nggak aneh tuh sekalinya kirim pesan kasih kabar beginian. 

Dingin HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang