Tiga Puluh Enam

3K 146 41
                                        

Braak!

Widodo menutup gagang telepon dengan setengah membantingnya. Pria paruh baya itu tampak menahan amarah yang menggelegak di dada. Telepon barusan benar-benar mengusik pikirannya saat ini. Disambarnya kembali gagang telepon itu memanggil Astha—sang ajudan. Tak lama Astha muncul dari balik pintu, memberi hormat sekilas kemudian mendekat ke meja komandannya itu.

"Siap. Izin, petunjuk," ucap Astha dengan sikap tegak yang kaku. Widodo menghela napas dengan berat begitu ajudannya sudah di hadapan. Pasalnya, sejauh ini, hanya Astha yang mengetahui sepak terjangnya selama di militer. Belum ada yang bisa menggantikan posisi Astha sejak pria berpangkat Sersan itu terpilih sebagai Ajudan. Widodo menyukainya, tentu saja, Astha nggak pernah banyak omong. Perilakunya sangat cermat dan teliti. Widodo melepas kacamata bacanya perlahan, kali ini dia nggak boleh gegabah mengambil langkah. Selain kasus ini menyangkut orang-orang terdekatnya, juga bisa mempengaruhi kehidupan Davin ke depannya. 

"Tolong buatkan janji untuk bertemu dengan Kapten Hendri," titah Widodo yang langsung mendapatkan anggukan kepala dari Astha.  Widodo mengalihkan pandangannya pada figura foto keluarga yang diletakkan di sudut meja kerja setelah Astha pamit undur diri. Pikiran pria paruh baya itu melalang pada hal demi hal kasus yang pernah ia tangani. 

*****

Permintaan Adis kali ini benar-benar mengoyak kesabaran Davin yang memang sebenarnya setipis tisu itu. Biasanya Davin nggak ambil peduli dengan omongan-omongan yang sering berlalu lalang mampir ke telinga membicarakan tentang dirinya maupun kehidupan selama berada di batalyon. Toh memang sudah menjadi kearifan lokal jika dinding-dinding asrama batalyon memiliki telinga. Davin melepas kaos berwarna merah muda itu dengan kasar dan melemparnya begitu saja pada keranjang baju kotor di sudut kamar. 

"Jadi, kamu sekarang nyalahin aku gitu?" Suara Adis membuat Davin menolehkan kepala. Wajah cowok itu mengeras menahan marah. 

"Kamu udah keterlaluan, Dis," ucap Davin dengan emosi yang ditekannya kuat-kuat. Kalau nggak ingat Adis tengah mengandung, mungkin udah dibentaknya cewek itu. 

"Itu bukan mauku ...,"

"Bisa nggak berhenti meminta sesuatu yang nggak masuk akal dengan dalih ngidam?" sahut Davin cepat. Memotong ucapan Adis sebelum cewek itu benar-benar menyelesaikan ucapannya. Melihat sikap Davin yang semarah ini, Adis memilih mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Tanpa merespon ucapan Davin, ia memilih untuk keluar dari kamar meninggalkan Davin yang sekarang menatap punggung Adis menjauh dengan tatapan nanar.

Davin memejamkan matanya rapat-rapat setelah Adis menghilang di balik pintu. Ada perasaan sesal karena emosi yang lepas tanpa terkontrol. Namun, egonya menahan. Sesekali memang seharusnya mendidikan Adis dengan keras. Sudah banyak pemakluman yang dia lakukan demi cewek itu. Bukan, melainkan Davin yang selalu berada di posisi yang salah. Hingga kesabaran yang seharusnya dia lapangkan tiba-tiba berubah menjadi lembaran tisu. 

Adis nggak mengira jika permintaannya membuat Davin semarah ini. Meski dalam hati ada sedikit rasa puas, tetapi Adis masih merasa itu belum cukup untuk melenyapkan perasaan sakit dan kecewa yang diam-diam dia telan seorang diri. 

"Jangan pernah memendamnya sendiri, Dis," suara Mei membuat Adis mengangkat wajah. Istri sahabat Davin itu mengurai senyuman hangat seperti biasa. "Mbak nggak tahu, sebenarnya rumahtanggamu itu gimana, tapi kalau saranku komunikasi jauh lebih penting. Sesakit apapun dan sekecewa apapun kita."

"Rasanya pengen cerita banyak ke Mbak Mei, tapi aku sendiri bingung harus mulai darimana, Mbak. dari dulu aku bukan tipe yang mudah cerita atau ngungkapin."

Mei mengulurkan tangannya mengusap punggung tangan Adis, "kamu lagi hamil sekarang. Jangan sampai stres. Nggak baik."

"Iya, Mbak. Adis ngerti," ujar Adis sekenanya. 

Menjelang Maghrib, Adis tak kunjung terlihat kembali ke rumah. Davin yang tadinya terlihat nggak peduli, mulai gusar dengan sesekali melirik jam yang terpasang di dinding. Atensinya beralih saat suara denting notifikasi pada ponsel terdengar. Sebuah pesan dari Abraham yang mengabari jika Adis masih di rumahnya. Tanpa pikir panjang, Davin segera berjalan keluar dari rumah. Langkah kaki panjangnya bergerak cepat menuju rumah Abraham yang hanya berbeda dua gang dari rumah. Davin menghentikan langkahnya saat melihat Adis keluar dari rumah Abraham. Cewek itu menoleh dan mendapati Davin sudah berdiri tak jauh darinya. Davin sudah akan membuka mulut tetapi kembali dikatupkan saat melihat Mei muncul di ambang pintu bersama Abraham.

"Nggak usah khawatir, Vin," ucap Abraham dengan senyum mengembang.

"Makasih, Ham," ujar Davin dan kembali melanjutkan ucapan saat Adis mulai melangkah mendekat. "Balik dulu, ya."

Adis berjalan pelan mendahului Davin. Tak ada yang berbicara di antara keduanya sepanjang jalan pulang. Davin memilih mengambil langkah pelan dan memberi jarak di belakang Adis.

"Kenapa pintunya nggak ditutup?" tanya Adis seraya menoleh ke arah Davin. Yang ditatap mendadak salah tingkah karena seolah tertangkap basah kalau sebenarnya dia khawatir. Sampai-sampai pergi tanpa menutup pintu rumah.

"Eh, iya—"

"Lain kali ditutup kalau mau keluar. Walau kita tinggal di batalyon. Namanya orang, mana pernah kita tahu kalau mau berbuat jahat," ucap Adis seraya mendudukkan diri di sofa. Ini kalimat terpanjang pertama yang keluar dari bibir Adis setelah pertengkaran tadi.

Davin hanya menganggukkan kepala tanpa mengeluarkan suara. Tangannya baru saja menutup pintu saat suara Adis kembali terdengar.

"Aku minta maaf kalau udah keterlaluan," ucap Adis dengan suara lirih, nyaris bergetar. "Tapi, aku nggak bermaksud bikin kamu malu."

Davin berdiri diam di dekat pintu. Pandangannya beralih menatap sisi tubuh Adis yang sekarang sudah banyak berubah dan terlihat lebih berisi.

"Aku juga minta maaf," ucap Davin pelan.

Adis menoleh, mengarahkan pandangannya lurus ke arah Davin. "Kalau boleh jujur, ini semua nggak mudah buatku, Vin. Aku berusaha nerima semua semata-mata demi anak kita."

Deg.

Davin merasa seperti ada yang menghantam hatinya. Keras. Lalu, kembali menariknya pada kesadaran tentang banyak hal yang terjadi saat di Magelang dulu. Kenyataan yang ternyata Adis sembunyikan diam-diam. Kekecewaan dan rasa sakit itu kini dibiarkan terlihat gamblang di hadapan Davin.

"Dis ..."

"Nggak ada perempuan yang bakal bisa kayak aku. Menerima semua hal yang udah kamu lakuin ke aku selama ini. Ngejadiin aku sebagai perempuan paling bodoh."

"Dis ..."

"Aku pikir dengan kehamilanku saat ini, kita bisa memperbaiki semua, tapi aku salah."

Davin berjalan cepat menghampiri Adis. Cowok itu seketika bersimpuh di hadapan istrinya. Ditariknya kedua tangan Adis dan menggenggamnya erat. Adis menarik senyuman tipis di sudut bibir. Entah sampai kapan Adis akan bersikap seperti ini. Berpura-pura bodoh dan mengikuti setiap permainan yang diciptakan oleh Davin.

"Aku nggak bermaksud gitu, Dis. Maaf kalau aku kebawa emosi," ucap Davin seraya meremas kedua tangan Adis.

*****

Davin menerima surat kenaikan pangkat dari Letnan Satu menjadi Kapten, juga salah satu surat lagi yang membuatnya terdiam kaku di kursi kerja. Sersan Adi yang sejak tadi berdiri di hadapan dibiarkan menunggu dengan penuh tanya. Kenaikan pangkat yang juga disertai surat perintah tugas operasi rahasia jelas membuat hatinya berkecamuk.

"Izin, Bang. Petunjuk?" ucap Sersan Adi setelah beberapa saat membiarkan menit berlalu dalam hening. Davin menoleh ke arah Sersan Adi dengan pandangan yang sulit diartikan kemudian mengangguk sekilas.

"Tolong buatkan janji, saya mau bertemu Danyon," ucap Davin.

"Siap, Bang," ucap Sersan Adi kemudian pamit undur diri.

Davin kembali menoleh ke luar jendela, menatap rintik-rintik gerimis yang turun dengan malas. Operasi ini sedikit janggal di benaknya. Banyak tanya memenuhi isi kepala. Bahkan berita baik kenaikan pangkat pun bagaikan angin lalu yang tak membantu. Jika kenaikan pangkat justru membuatnya berada di situasi yang mengharuskan berpisah dengan Adis, mungkin Davin akan lebih memilih tetap menjadi Letnan. Sayangnya, sebagai seorang prajurit, tak ada pilihan apapun setelah surat perintah diterima.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 20, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dingin HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang