Dua hari berlalu tanpa kabar. Sudah belasan bahkan mungkin puluhan kali Adisti Elvina Ganes mencoba menghubungi Davin. Seperti orang gila rasanya. Seperti dipermainkan oleh laki-laki nggak bertanggungjawab. Davin nggak bertanggungjawab. Memang benar kok. Perlu diulang supaya lebih mantap dan menegaskan setegas-tegasnya. Adis melempar hapenya ke ranjang, kesal sudah.
"Lucu ya. Jadi begini rasanya bersuamikan tentara. Berasa jadi jablay," gerutu Adis menahan geram. Meski yang sebenarnya terjadi, Davin sama sekali nggak bermaksud bersikap demikian. Tapi salahkan waktu dan susana semalam yang seakan seperti hukum alam, benar-benar mendukung untuk bercinta. Ada deru kekhawatiran bercampur rasa tak rela yang menggoda keduanya malam itu. Jadi dari sisi itu, Davin nggak bermasalah.
Adis beranjak dari ranjang. Menyeret sepasang kaki pendeknya keluar rumah. Mau menyapu halaman depan sekalian menyiram bunga dan tanaman. Mumpung sudah agak sore dan nggak panas.
"Dek Davin!" Panggilan dari sebuah suara yang sudah dikenal Adis. Saking dikenalnya, makanya Adis malas nengok. Berhubung tetangga, senior, dan di Persit diajarkan untuk saling rukun. Adis akhirnya menoleh juga. Menarik senyuman sedikit. Dikit banget malah.
"Tumben, Dek. Libur-libur Om Davin sepi," tegur Mbak Fadli yang tengah menggendong Arfan --anak keduanya yang masih berusia dua tahun.
"Tugas, Mbak. Om Fadli tugas juga?" Adis balik bertanya --basa basi. Mbak Fadli mengurai senyum seraya menggoda Arfan dengan gemas.
"Nggak lah. Senior, gitu. Yang berangkat tugas ya yang keroco-keroco toh," sambar Mbak Fadli dengan cueknya. Adis nyengir jengah. Dalam hati memaki habis-habisan. Ini dulu waktu pengajuan nikah kok ya bisa dilulusin. Ingin tepuk jidat tapi ingat attitude.
"Iya, Mbak. Kalau tugasnya sukses, jadi cepet naik pangkatnya. Kali aja bisa nyalip yang senior, ya," sahut Adis. Benar-benar masa bodoh dengan attitude. Orang lagi sensitif malah ngajakin ribut. Mendengar omongan Adis barusan, Mbak Fadli seketika menoleh. Raut wajahnya terlihat kurang suka.
"Duh, iya ya. Banyak doa aja, Dek. Biar pulang bawa badan, nggak bawa nama. Jadi istri tentara kan siap ngejanda," ucap Mbak Fadli nggak kalah pedas. Adis dibuat melongo, ini yang eror Adis atau si mbak ayu ini sih. Sama-sama istri tentara lho ya.
"Izin, Mbak. Saya masuk dulu," ucap Adis. Terlanjur senewen. Diladenin yang ada malah nanti jadi adu mulut. Nggak enak kalau sampai dilihat isteri-isteri anggota.
"Yang sabar, Dek Davin," seru Mbak Fadli. Kalau ini sungguhan ngasih semangat kok.
*****
Adis menarik resleting jaket hingga menutupi leher. Setelah memastikan pintu rumah terkunci, cewek itu berjalan secepatnya keluar batalyon. Jalannya agak tergesa, di tambah kepala yang sesekali menoleh ke kanan lalu ke kiri. Macam mau melarikan diri saja dari tahanan.
"Selamat malam!" Adis terhenyak kaget. Langsung mengelus dada karena jantungnya nyaris copot. Seorang Provost menghentikan jalannya. Dari badge name-nya Adis bisa tahu kalau namanya Sutriono. Pangkatnya Kopral Dua.
"Malam, Om," ucap Adis dengan suara agak bergetar.
"Mohon izin, Ibu mau kemana?" tanyanya dengan suara bariton yang khas. Tubuhnya tinggi besar, berkulit hitam. Punya kumis lebat mirip Pak Raden yang melintang di atas bibir.
"Mau ke depan sebentar. Beli makanan," jawab Adis. Agak bertanya-tanya juga, melihat ibu-ibu yang lain berseliweran keluar masuk naik motor saja nggak distop. Ini pasti akal-akalan Davin lagi. Hiih!
"Saya antarkan, Bu," ucap Pak Sutriono tegas. Adis dibuat kaget lagi.
"N-nggak usah, Pak eh-Om. Itu cuma di depan situ kok," ucap Adis gelagapan. Tangannya menunjuk-nunjuk warung tenda penjual pecel lele. Sutriono mengikuti arah tunjuk Adis. Berpikir sebentar, mungkin menimbang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dingin Hati
Romance"Kata siapa tentara nggak boleh patah hati? Kata siapa tentara nggak boleh melankolis? Dan, sejak kapan aturan itu diberlakukan? Tentara juga manusia. Punya jiwa, punya rasa, dan punya hati." -Krysandavin Erlandhyto- "Aku nggak suka sama tentara. Ti...