Tiga Puluh Empat

5.4K 455 55
                                        

Adis berdiri cukup lama tepat di depan rumah dinas dimana selama ini ia tinggali bersama Davin. Diam-diam Adis merindukan suasana rumah mungil ini. Ingatannya seketika melayang-layang pada kenangan-kenangan yang pernah dilewati bersama sang suami. Rumah bercat hijau pupus itu tampak sepi dan dingin. Persis seperti saat pertama kali Adis datang setahun lalu. Rumah tanpa tangan wanita di dalamnya. Adis menghela napas saat sepasang matanya menelisik halaman depan rumah. Rumput-rumput liar tampak tumbuh subur. Adis bisa menebak intensitas Davin di dalam rumah selama kurang lebih setengah tahun belakangan. 

"Lho? Dek Davin?" Sebuah suara langsung menarik atensi Adis. Gadis yang kini tengah mengandung itu seketika menolehkan kepala. Mbak Fadli sudah berdiri tak jauh darinya dengan sebuah kresek hitam di tangan kiri. Adis mengulas senyuman hangat seperti biasa. Ditatapnya wanita yang lebih tua lima tahun darinya itu dengan pandangan teduh. Kalau dipikir-pikir, Adis juga kangen dengan ocehan dan julidannya Mbak Fadli. Meski kadang bikin kesal, toh Adis seringkali merasa terhibur juga. 

"Mbak Fadli, gimana kabarnya, Mbak?" sapa Adis dengan sepasang kakinya yang berjalan mendekat. Mbak Fadli menyelipkan anakan rambutnya ke balik telinga. 

"E-eh, baik kok, Dek Davin. Lho kok ...," Mbak Fadli menatap perut Adis yang sudah terlihat sedikit buncit. Adis ikut menunduk, lalu mengusap perutnya sendiri. Cewek itu kembali mengangkat wajah dan menatap Mbak Fadli lurus-lurus. 

"Baru mau enam bulan, Mbak," ucap Adis meski Mbak Fadli nggak bertanya secara gamblang. Wanita itu hanya beruh-oh ria saja dengan diikuti senyuman canggung. Bibir merah merekahnya sudah akan membuka, tapi dikatupkan kembali saat suara Mei--istri Abraham muncul dengan si kecil dalam gendongan. 

Singkatnya, setelah Adis dan Mei berpamitan dengan Mbak Fadli, keduanya lantas masuk ke dalam rumah Adis. Nggak lupa, Adis juga memperkenalkan Mas Akbar kepada Mei. Lantas keduanya duduk berdampingan di sofa ruang tamu. 

"Jadi, Mbak Fadli itu ngomong ke ibu-ibu di sini, kalau kamu dan Davin itu mau cerai. Beritanya heboh banget," cerita Mei dengan tangan yang sesekali menepuk pantat anaknya yang tertidur di gendongan. Adis jelas langsung membulatkan matanya kaget. Pasalnya, seingat dia, sebelum kembali ke Jawa, Davin ada bilang kok kalau memang untuk liburan dan Adis menyelesaikan skripsi akhirnya. Adis menggeleng-gelengkan kepala nggak habis pikir. Jadi nyesal kenapa tadi sempat kangen sama Mbak Fadli. 

"Nggak usah diambil hati deh. Kayak nggak tahu mulut dia kayak apa. Toh, kenyataannya kamu balik lagi ke sini. Hamil lagi, berarti liburannya sukses dong," goda Mei dengan alisnya yang naik-turun. Kontan Adis jadi terkekeh mendengarnya. 

"Apaan sih, Mbak," ucap Adis dengan wajah tersipu malu. 

***

Di hari Minggu pagi, Adis sudah pergi ke warung Bu Haris untuk membeli beberapa kebutuhan--yang ternyata selama ini nggak pernah dibeli Davin. Adis jadi bertanya-tanya, gimana cara hidup Davin ketika sendirian. Adis hanya menemukan sabun batangan yang tersisa setengah, bekas sachet shampo, dan sabun colek jeruk di dalam ember kecil dekat bak mandi. 

"Paling ngelaundry dia," gumam Adis menggugurkan pikiran praduganya. 

Sebuah kresek hitam cukup besar sudah berada di tangan. Lumayan lengkap lah untuk sehari-hari. Sore nanti Mas Akbar akan pulang ke jawa, urusannya di kesatuan hanya dua hari saja. Langkah kaki Adis seketika terhenti, begitu dilihatnya sosok yang sama sekali nggak asing. Saat itu, waktu serasa terhenti. Hanya sayup-sayup angin bergerak malas dan cuitan burung peliharaan salah satu anggota. Mungkin kata-kata sudah bukan lagi hal penting karena melalui sorot mata dan tingkah laku, perasaan itu jauh lebih mudah disampaikan. Telanjang. Gamblang. Nyata. 

"Aku bantu bawakan," ujar Tristan. Tanpa menunggu Adis memberikan tanggapan, Tristan sudah mengambil alih kresek berisi belanjaan. Adis membiarkan saja, dan memilih mengikuti langkah Tristan yang sudah berjalan lebih dulu. 

Dingin HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang