Terlepas dari keresahan hati akan masa lalu yang belum tuntas. Davin harus bisa berdamai dengan dirinya sendiri kali. Sekarang bukan lagi dulu, ia nggak akan bisa lari dan menyangkal lagi. Davin duduk di tepi ranjang dengan kepala menunduk dalam, saat Adis masuk. Cowok itu mengangkat wajah dan mendapat Adis juga tengah menatap ke arahnya. Adis mengulas senyum tipis, lalu ikut duduk di samping Adis.
"Aku sedang berpikir tentang kita," ucap Adis.
Davin memilih untuk diam dan membiarkan Adis berbicara dengan leluasa. Adis melirik ke arah Davin untuk memastikan reaksi cowok itu.
"Aku pikir kita udah jalan sejauh ini dan ..."
"Dis," pungkas Davin sebelum Adis melanjutkan ucapannya. Davin menangkap Adis melalui sorot mata penyesalan yang teramat sangat. Mungkin memang sebaiknya Adis tahu semua. Meski Davin sendiri nggak tahu, apakah ini memang benar-benar keputusan terbaik. Davin hanya ingin meluruskan apa yang salah sejak awal.
Malam sebelumnya, Davin kembali bertemu dengan Harith. Keduanya duduk berdampingan di garasi kendaraan dinas siang menjelang sore. Davin diam dengan rokok yang menyala di sela jemari. Sementara Harith tampak sibuk dengan sebuah kertas berisi daftar logistik yang akan datang.
"Aku cuma bisa kasih saran itu. Bawa Adis balik ke Papua. Jangan balik ke Jawa sampai cerita itu lenyap dimakan tahun. Kamu udah melakukan yang terbaik. Kalau kamu nggak bener, kamu pasti udah batalin nikah sama Adis waktu itu pas Marissa kirim surat. Inget, kan?" ujar Harith dengan fokus yang terbagi, tapi masih bisa cukup berkonsentrasi untuk mengikuti curhatan Davin maupun mengecek list.
"Bukannya itu justru bikin aku jadi pengecut?" Davin melirik Harith sambil menghisap rokok. Harith mendecak dengan malas.
"Nggak semua hal harus kita tahu atau kasih tahu. Yang jadi masalah itu kamu. Berhenti nyalahin dirimu sendiri karena keadaan Marissa sekarang. Itu di luar ketidaktahuan kamu, Vin. Berdamai dengan dirimu sendiri," tandas Harith dengan suara yang mulai menggebu-gebu lantaran gemas dengan sikap insecure Davin. Melihat Harith yang mulai kesal, Davin cuma bisa terkekeh dengan polos.
"Kalau kamu mau membuka semua ke Adis. Kamu harus siap, ngelepas dia juga. Yakin kamu?"
Pertanyaan terakhir Harith itu menari-nari dalam isi kepala Davin saat ini. Apa dia benar-benar yakin? Terlepas semua atribut kemiliteran beserta jiwa-jiwa kesatria yang selama ini dipegangnya dengan teguh. Davin tetap saja manusia biasa, yang punya hati dan perasaan. Ditatapnya Adis dengan pandangan yang sulit diartikan. Perlahan-lahan sorot matanya meredup.
"Ada yang mau aku kasih tahu sama kamu," ujar Davin dengan suara lirih. Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Di antara keraguan dan keteguhan, Davin mencoba menaruh harapan jika Adis akan menerima semua yang akan ia katakan nanti. Bukan harapan yang besar, karena Davin sadar nggak akan mudah Adis menerima semua ini.
"Soal Marissa?" tanya Adis hati-hati.
Sejujurnya, dia juga ingin menanyakan langsung kepada Davin. Adis nggak mau berspekulasi lebih dalam lagi. Sudah banyak kesalahan dan dosanya sebagai istri selama ini, dia nggak mau menambah itu dengan mencurigai suaminya sendiri tanpa bukti. Davin jelas terhenyak kaget, nggak menyangka Adis akan bertanya demikian.
Davin menelan ludahnya sekali, "kamu ..."
"Tadi aku nggak sengaja denger obrolan Papah sama Mamah. Apa yang terjadi?" Adis memasang wajah polos namun penuh minat. Davin menyatuhkan kedua tangannya. Sesaat cowok itu hanya diam saja.
"Panjang ceritanya, Dis," Davin menoleh ke arah istrinya itu. Melihat Adis masih memasang ekspresi penuh ingin tahu, Davin mulai melanjutkan ceritanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dingin Hati
Romance"Kata siapa tentara nggak boleh patah hati? Kata siapa tentara nggak boleh melankolis? Dan, sejak kapan aturan itu diberlakukan? Tentara juga manusia. Punya jiwa, punya rasa, dan punya hati." -Krysandavin Erlandhyto- "Aku nggak suka sama tentara. Ti...