Tiga Puluh Lima

10.9K 629 556
                                    

Adis nggak bener-bener marah sebetulnya sama Davin. Dongkol, kesal masih dalam taraf wajar. Buktinya kalau Adis masih marah dan nggak mau terima Davin, buat apa dia sekarang ada di Sorong? Jadi, anggaplah Adis sekali-kali ngerjain Davin. Biasanya Adis yang senewen ditinggal tugas mulu, kali ini giliran Davin yang dibikin mangkel.

Jarum jam di jam dinding sudah menunjukkan hampir pukul dua dini hari. Adis gelisah dalam tidurnya hingga terbangun. Sepasang mata bulatnya mengerjap-ngerjap untuk beradaptasi dengan sedikit cahaya yang berasal dari lampu di luar rumah yang masuk dari celah ventilasi. Pemandangan wajah Davin yang begitu lelap dalam tidur langsung tertangkap mata. Adis senang menatap wajah cowok itu ketika tidur. Polos dan menggemaskan, tapi kalau udah bangun—beuh—ngeselinnya bikin astaghfirullah. Untung sayang—eh.

Adis mengguncang-guncang lengan Davin agar bangun. "Vin, bangun. Davin!"

Merasa tidurnya terusik, Davin dengan malas menggumam, "Hm? Apa?" Suaranya sama sekali nggak enak didenger. Adis masih getol mendorong-dorong lengan Davin, bahkan tanpa ragu memukulnya pelan.

"Ih, bangun," rengek Adis karena Davin nggak kunjung membuka mata, malah lanjut tidur lagi.

"DAVIN!" Adis setengah menjerit lantaran mulai kesal karena Davin masih saja memilih untuk tidur. Mendengar teriakan Adis, barulah cowok itu bangun. Davin duduk seraya mengacak-acak rambutnya frustrasi. Kepalanya lantas menoleh ke arah Adis yang sudah terlanjur manyun berat.

"Apa sih? Astaga ... Ini masih jam dua pagi, Dis. Kenapa? Perutnya sakit?" tanya Davin dengan menahan hasrat marah. Mau marah aslinya, tapi nggak tega pas lihat perut Adis. Kepalang susah udah.

"Aku mau makan tahu tek," pinta Adis dengan wajah polos tanpa dosa. Davin tertegun mendengar permintaan yang nggak masuk akal itu.

"Hah? Yang bener aja kamu. Nyari dimana jam segini? Nggak ada yang jualan lah," sahut Davin dengan nada kesal yang ditahan sekuat tenaga. Adis menggelengkan kepalanya.

"Mana aku tahu. Makanya cari," rengek Adis.

Davin menatap Adis dengan pandangan lelah dan nggak bisa berkata-kata. Oke. Alasan ngidam ala ibu hamil. Bagi Davin itu nggak ada korelasinya sama sekali. Antara keinginan dan logika perihal kasus ini, Davin sama sekali nggak bisa mencerna.

"Dis, ini udah dini hari. Sorong kota kecil. Yang jualan tahu tek cuma ada di depan batalyon dan itu biasa tutup sebelum jam dua belas malam. Kalaupun aku ke rumah yang jualan itu tahu tek, juga belum tentu ada. Nggak bisa apa ngidamnya ditunda?" ucap Davin panjang lebar dengan nada tegas seperti biasa. Namanya orang mau manja, malah ditegasin. Kadang-kadang Davin emang bego sih untuk urusan menghadapi perempuan. Herannya lho, kok ya masih ada aja yang suka sama dia.

"Au ah," ucap Adis dengan wajah ditekuk parah. Cewek itu kembali merebahkan tubuh ke atas ranjang. Dibelakanginya Davin dengan sengaja. Bukan hal baru melihat tingkah polah Adis yang kekanakan. Berhubung kantuk masih setia menekan kelopak mata, akhirnya Davin kembali tidur.

***

Wajah Davin suntuk abis. Cowok yang nggak bakal lama lagi akan menjadi ayah itu, duduk termenung di tepi kolam. Salah satu spot nongkrong favorit bersama Abraham di batalyon. Sohib kentalnya itu jelas menemani. Tawa Abraham kembali membahana tatkala Davin curhat untuk kesekian kali tentang permintaan Adis yang aneh-aneh. Mulai dari minta tahu tek tengah malem sampai semua parfum Davin raip alias entah diumpetin dimana sama Adis.

"Dis, kamu lihat parfumku nggak? Duh, aku udah kesiangan ini."

"Ya udah berangkat kalau udah kesiangan. Ngapain malah nyari parfum?" Adis malah cengo sendiri. Antara lupa sambil ngerjain Davin sedikit sih niatnya. Dasar tiada akhlak memang. Jangan dicontoh nih jahilnya Adis.

"Aku nggak pede kalau nggak pakai parfum. Ntar bau badan malu lah," gerutu Davin setengah frustrasi.

"Ih, udah sana berangkat. Parfummu aku sita. Aku mual sama baunya."

Dan, rentetan kejadian lainnya yang semua bikin Davin pengen neriakin Adis tapi nggak tega. Yang ada justru berakhir dengan cowok itu pasrah dengan semua yang terjadi. Davin meyakini dia sedang kena karma sekarang.

"Welcome to the real jungle, bradah!" Seru Abraham diikuti tepukan mantap di bahu Davin. Abraham benar-benar senang melihat penderitaan Davin. Bagaimana nggak? Davin yang selama ini tangguh dan anti takluk di bawah kekuasaan cewek, pada akhirnya tunduk juga.

"Seneng lu? Puas lu? Temen macem apa lu, Ham?" sahut Davin sewot. Sesewot-sewotnya. Abraham justru semakin tertawa terbahak-bahak.

"Yaa gimana? Dulu pas gue ngeluh soal Mei yang doyan marah-marah selama hamil, lu ngetawain gue. Segaknya lu mending lah, Vin. Adis nggak gampang murka ..."

"Kata siapa?" Davin langsung memotong ucapan Abraham. Seketika cowok satu anak itu menaikkan alisnya merasa surprise.

"Gue berantem sama dia cuma gara-gara drakor. Gila nggak? Drakor, Abraham. Astaga ...  Nggak ngerti lagi," ujar Davin dengan nada bicara yang lumayan ngegas. Abaraham hanya bisa menghela napas. Ditepuk-tepuknya bahu Davin agar menguatkan, meski Abraham nggak yakin amat. Adis baru enam bulan kehamilan. Masih ada tiga bulan ke depan plus dua bulan pasca melahirkan. Ah, Davin bisa lah melalui fase itu semua.

***

Davin menatap Adis dengan tajam. Namun, yang ditatap justru pura-pura bego alias sok nggak peka kalau lawan bicaranya saat ini sudah masuk ke dalam taraf emosi di ubun-ubun. Gimana Davin nggak kesal coba? Sebuah kaos berwarna pink menyala dan bergambar kartun Minnie Mouse sudah siap di atas kasur.

Jadi, pagi ini, Davin dan Adis akan ikut serta dalam acara family day yang diadakan oleh Persit. Acara yang jatuh pada hari Minggu itu diisi dengan berbagai perlombaan antar keluarga, salah satunya lomba memasak bapak-bapak.

Davin menelan ludahnya susah payah. Saking menahan emosi, tenggorokkannya sampai kering. Adis sih masang wajah kalem aja.

"Pakai itu, ya," pinta Adis. Kali ini wajahnya dibuat sememelas mungkin. Aslinya dalam hati, dia kebat-kebit juga. Takut kena tempeleng Davin atau minimal semburan amukan. Moga-moga sih nggak.

"Dis, yang bener aja dong. Masa aku pakai kaos pink norak begini. Astaga ... apa nanti kata anak buahku?" ucap Davin dengan nada suara yang dibuat setenang mungkin, meski nggak sepenuhnya. Kalau bukan istri, kalau nggak lagi hamil, mungkin sudah diteriakinya si Adis ini.

"Yaa ... Pasti mereka bilang cocok di kamu. Lucu, Vin. Nggak akan meruntuhkan wibawamu. Lagian ini mau anak kita bukan aku, ya," tandas Adis dengan sadisnya.

Davin misuh-misuh sejadi-jadinya dalam hati. Iyalah beraninya cuma dalam hati. Nggak mungkin juga diucapkan.

"Nggak begini konsepnya, istriku," ucap Davin. "Nggak ah. Aku pakai kaos anti teror yang hitam aja."

"Apa susahnya sih cuma pakai kaos doang?! Aku nggak nyuruh kamu telanjang ke sana! Apa salahnya warna pink? Emang kalau pakai kaos warna pink bakal dikira ikut partai politik? Selama ini ada emang partai kaosnya warna pink?" Adis jadi kesal. Entah lah. Semenjak hamil, emosinya kadang lepas kontrol. Sebentar-sebentar dia merasa bahagia, sebentarnya lagi ngamukin Davin.

"Allahu Akbar," gumam Davin seraya menghela napas.

***

Dan ... di sinilah Davin sekarang berada. Berdiri di antara para rekan dan juga atasannya. Dari sekian, hanya dia sendiri yang paling mencolok dengan kaos berwarna merah muda. Wajahnya sudah jangan ditanya lagi—merah padam. Sementara, Adis justru asyik sendiri bersama ibu-ibu yang lainnya.

"Buset, siapa tuh yang pede banget pakai kaos pink?" Suara Triton langsung diredam oleh Aryo.

"Ssst ... Jangan keras-keras. Itu Bang Davin," bisik Aryo.

Tak lama kelima prajurit itu terlibat obrolan cukup serius yang kemudian diakhiri dengan pecahan tawa terbahak-bahak yang cukup panjang. Apes emang si Davin.

Dingin HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang