Judul Awal: In The Name Of Love
Aldevo Archelaus sangat mencintai kekasihnya, Beby Owen. Namun, naasnya kekasihnya menghilang dalam suatu insiden dan tak pernah kembali lagi. Hingga datang satu titik dimana ia merasa putus asa dan patah arang.
• • •...
Help me, it's like the walls are caving in Sometimes I feel like giving up No medicine is strong enough Someone help me I'm crawling in my skin Sometimes I feel like giving up But I just can't, it isn't in my blood It isn't in my blood
(Shawn Mendes_In My Blood) •••••
"Namanya adalahDaphne Wellington, putri konglomerat dari Dany Wellington. Dany sendiri memiliki perusahaan yang bernama Wellington Group. Perusahaan konglomerasi yang membawahkan beberapa sub-holding, seperti bisnis keuangan, media penyiaran, investasi dan properti, serta beberapa perusahaan di bidang finansial. Tahun ini saja, dia memiliki kekayaan sebesar 54,5 miliar USD dan tercatat dalam daftar orang terkaya nomer 6 di dunia versi The Richest Forbes. Posisi yang terbilang cukup jauh, dari peringkat yang sedang kududuki saat ini.
Apa kau tahu, Nak? Danymemintaku secara langsung untuk menjadikanmu menantu untuk putri semata wayangnya. Sebagian harta kekayaannya akan diberikan padamu, jika kau bersedia memenuhi keinginannya.
Bukan tanpa alasan dia memilihmu, Nak! Danymengatakan padaku, jika dia menyukai kepribadianmu, semangat kerja kerasmu, dan loyalitasmu terhadap perusahaan juga keluarga. Itulah sebabnya mengapaDanymenginginkanmu menjadi menantunya. Dia merasa yakin, jika putrinya akan aman bila berada bersamamu."
Rentetan kalimat dari ayahnya sukses memporak-porandakan hati Aldevo. Dua hari yang lalu, setelah tubuh pria tua itu membaik ia mengklarifikasi segalanya. Tentang mengapa dirinya yang terpilih, dan bagaimana kesepakatan itu terjadi. Kesal, muak, dan tentu saja kecewa merasuki dirinya.
Tapi apa daya diri ini, jika segalanya telah tercetuskan. Pilihannya hanya menjalani atau mundur seperti seorang pengecut.
"Lusa, putrinya akan tiba di Chicago dengan waktu landing sekitar pukul 03.00 PM. Kuharap, kau bersedia menjemput dirinya. Anggap saja itu awal mula pertemuan kalian."
Sejujurnya, Aldevo tak ada niatan sama sekali untuk menjemput wanita itu. Tapi, tuntutan permintaan dari sang ayah selalu menggema di benaknya. Batinnya meragu untuk terus memacu kecepatan mobil sportnya menuju O'Hare International Airport.
Ia masih belum siap untuk menghadapi kenyataan ini. Bertemu wanita itu, sama halnya dengan ia menyetujui untuk membuka lembaran baru dalam kehidupannya. Tapi bagaimana bisa? Bila hatinya selalu terpatri dengan nama 'Beby' seorang.
Sadar dengan apa yang dilakukannya salah, Aldevo memutar balik kembali arah laju mobilnya. Meninggalkan John F. Kennedy Expressway, Aldevo membawa mobilnya tak tentu arah. Dalam benaknya, ia hanya ingin lari sejauh mungkin sampai tak ada orang yang mampu menemukannya.
Aldevo merasa bosan hanya terus menerus mengelilingi Rockford City. Ia memutuskan untuk berkunjung ke penthouse milik Scott Blanco. Sahabat yang selalu dianggapnya ada, di saat ia merasa senang maupun sedih.
Setengah jam kemudian, ia sampai dimana penthouse Scott berada. Aldevo memarkirkan mobilnya, berjalan menuju ke arah lift dan menekan tombol angka yang sudah lama dihafalnya.
Ting
Dentingan suara lift terdengar, Aldevo segera keluar dari kotak besi tersebut. Dan, melangkahkan kakinya menuju penthouse milik Scott. Ia menekan bel, menunggu si pemilik membukakan pintu untuknya. Tak berapa lama pintu terbuka, Scott Blanco muncul dari balik pintu dengan mengenakan polo shirt dan celana jeans.
"Dev..."
Scott tampak terkejut, mengetahui sahabatnya lah yang bertandang ke penthousenya.Pasalnya, Aldevo jarang sekali berkunjung ke penthouse miliknya. Jika bukan karena keadaan yang terdesak.
"Ayo, masuk! Ada apa kau kemari, Dev?" ujar Scott sembari membuka pintu lebih lebar.
"Aku merindukanmu, Scott." jawab Aldevo asal.
Scott berdecih, lalu terkekeh. "Cih, itu menggelikan. Bulu romaku langsung berdiri ketika kau mengatakannya, Dev."
Pria itu hanya memutar bola matanya dengan malas. "Kau hanya terlalu berlebihan." Jeda sesaat, ia menatap Scott sebentar dengan tampang lesunya. "Apa kau tidak mempunyai kegiatan apapun hari ini?"
Sejenak Scott melirik ke arah Aldevo yang tengah duduk di sofa ruang keluarga. Mengamati wajah sahabatnya itu yang tampak tak seperti biasanya.
'Pasti ada sesuatu yang dia sembunyikan.' batin Scott.
"Kau ingin minum apa?" tawar Scott.
Aldevo merebahkan punggungnya di sofa, iris hijaunya menatap liar ke arah langit-langit ruangan. "Apa saja selagi itu tak membunuhku."
Scott mendengus. Ia berjalan ke arah lemari pendingin mengambil sebotol wine dari dalam sana dan dua buah gelas tinggi dari dalam lemari kabinet.
"Ssttt..." Aldevo mendesis, saat merasakan sengatan dingin menjalar di sebelah pipinya.
Scott terkekeh setelah berhasil mengusik lamunan dari sahabatnya itu. Dengan sengaja ia menempelkan permukaan dinding botol yang dingin ke sebelah pipinya. "Minumlah, siapa tahu bisa membuatmu rileks." Ia mengarahkan segelas wine yang telah ia tuangkan ke arah pria di hadapannya ini.
Aldevo menegakkan tubuhnya dan menerima gelas pemberian dari Scott. Meneguknya pelan-pelan hingga reaksi dari minuman itu cukup bekerja di tubuhnya.
"Mau bermain billiard denganku?" tanya Scott. Ia menggoyang-goyangkan gelasnya sambil melirik menunggu jawaban dari yang ditanya.
Aldevo menatap Scott lama. "Kenapa kau ingin memainkan permainan itu? Biasanya kau lebih sering mempermainkan wanita." Jawab Aldevo tak lupa dengan kekehannya.
"Damn you. Jadi, mau bermain atau tidak?"
Aldevo tampak berpikir sejenak. "Baiklah, aku mau. Siapa tahu saja bisa menghilangkan kepenatanku."
Scott menyeringai dari balik gelasnya. Ya, ia bisa melihat hal itu dari sekali memandangnya. Mari, kita buat pria itu mengungkapkan masalahnya dengan sendirinya.
°°°°°
180405 . . 200426
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.