Judul Awal: In The Name Of Love
Aldevo Archelaus sangat mencintai kekasihnya, Beby Owen. Namun, naasnya kekasihnya menghilang dalam suatu insiden dan tak pernah kembali lagi. Hingga datang satu titik dimana ia merasa putus asa dan patah arang.
• • •...
Then I think of the start And itechoes a spark And I remember the magic electricity Then I look in my heart There's a light in the dark Still a flicker of hope that you first gave to me That I wanna keep Please don't leave Please don't leave
(Niall Horan_Flicker) •••••
Aldevo setengah berlari mendekati sang ayah. Pun dengan Jevand yang terkejutnya mendekati tubuh kokoh itu ambruk begitu saja. Seketika rasa cemas bergelayut pada dua bersaudara itu.
Aldevo merengkuh tubuh sang ayah dengan panik. Pasalnya ia tak pernah mendapati situasi semacam ini. Aldevo memeluk tubuh tua itu, sesekali merutuki atas sikap acuhnya.
Jevand ikut membungkuk mendekati sang ayah. Tangannya sibuk melepaskan simpul dasi dari kemeja yang dikenakannya dan melepaskan dua kancing teratas. Semoga saja hal itu mampu memberi pertolongan pertama untuknya.
"Beritahu Velma agar secepatnya menghubungi rumah sakit. Kita butuh ambulance segera," Aldevo mengintrupsikan Jevand dengan panik.
Jevand berjalan menuju meja sekretaris ayahnya. Ia meminta wanita berambut pirang itu untuk segera menghubungi ambulace. Velma yang mendengar perintah tersebut langsung menjalankan tugasnya.
Velma melihat gurat kecemasan pada anak bossnya itu. Dan hendak menanyakan perihal apa yang telah terjadi? Namun, hal itu sudah dikatakan terlebih dahulu pada pria di hadapannya ini.
"Daddy mendadak mengalami serangan jantung pada saat kami tengah berbincang," ucap Jevand memberikan penjelasan, sebelum ia melihat lebih jelas hawa penasaran dari sekretaris ayahnya.
Velma membelalakkan bola matanya. Tampak tak percaya dengan pernyataan anak bossnya itu. Segera ia langsung masuk ke dalam ruangan pimpinan perusahaannya, dan mendapati putra sulungnya sedang merengkuh tubuh lemah pria tua itu.
"Bagaimana kau sudah menghubunginya?" tanya Aldevo dengan suara bergetar.
Jevand mengangguk. "Sebentar lagi ambulance akan datang."
Selang beberapa menit kemudian, tim medis dari rumah sakit yang telah dihubungi tiba. Mereka bergerak cepat memindahkan tubuh lemah lelaki tua itu. Aldevo memilih untuk ikut bersama mobil ambulance yang akan membawa ayahnya. Sedangkan Jevand, memilih mengendarai mobil sportnya menuju ke sana.
"Velma, terima kasih atas pertolonganmu. Tolong kau handle pekerjaan daddy dulu selama kami tidak ada." ujar Jevand, dibalas dengan sebuah anggukan dari wanita itu.
Jevand berjalan menuju area basemant parkiran mobil. Sesekali ia mengusap surai cokelatnya dengan kesal. Shit, andai kakaknya itu bersabar sedikit mendengarkan perkataan ayah mereka. Mungkin semua ini tak akan terjadi.
Jevand melajukan mobil sportnya membelah jalanan pagi itu. Menuju kawasan E Huron St. Dalam beberapa menit ia sampai di lokasi. Ia lantas memarkirkan mobilnya dengan cepat dan langsung menuju bagian emergency room.
Di sana, di bangku tunggu ia melihat sang kakak tengah tertunduk lesu tak bertenaga.
Menyesalkah ia dengan apa yang telah diperbuatnya?
Jevand mendekati sang kakak, lalu mengusap kepalanya yang tertunduk dalam. Merasakan seseorang menyentuhnya, cepat-cepat Aldevo mendongakkan kepalanya.
"Jev..."
Jevand duduk tepat di sebelah Aldevo. Matanya tertuju pada pintu di depannya yang tertutup rapat. "Apa sudah ada kabar dari dokter?"
Aldevo menggelengkan kepalanya dengan berat. Hampir setengah jam lebih ia duduk di bangku dingin itu, matanya tak pernah lepas memperhatikan pintu itu terbuka. Namun, selama ia menunggu belum juga didapatnya kabar tentang sang ayah.
"Dia akan baik-baik saja. Tenanglah, Al." ujar Jevand meyakinkan Aldevo.
Pintu emergency room terbuka, segera Aldevo dan Jevand mendekati sesosok pria paruh baya berjas putih dengan wajah yang tampak tegang.
"Kalian dari keluarga O'Neil Achelaus?" tanya dokter bername-tag, dr. Edward Hold.
"Ya, kami keluarganya. Bagaimana dengan keadaannya, dok?" jawab Aldevo dengan tak sabaran.
Dokter Edward Hold membenarkan kacamatanya yang nampak agak turun. Dia sedikit berdehem untuk menetralkan suaranya.
"Pasien sudah sadarkan diri saat ini. Tapi saya mohon dengan sangat untuk jangan membebani pikirannya. Karena kondisinya saat ini belum stabil. Dan, saya sarankan untuk saat ini jangan membuat suasana hatinya buruk dulu. Hal itu bisa memperburuk kondisi jantungnya."
"Apa kami bisa melihatnya sekarang, dok?" Jevand angkat bicara.
"Tentu, kalian bisa melihatnya." sahut dr. Hold, kemudian undur diri dari hadapan mereka.
Aldevo meraih handle pintu yang terasa dingin itu. Memutarnya sekilas, kemudian mendorongnya dengan perlahan. Suhu ruangan yang dingin dicampur aroma antiseptik yang menguar langsung menusuk indera penciumannya.
Ia benci tempat ini.
Aldevo melangkah memasuki ruangan itu bersama Jevand di sampingnya. Jevand menarik kasar pergelangan tangan sang kakak untuk mengikutinya. Ia sangat hafal sekali dengan tingkah laku sang kakak jika mengingat tempat keramat seperti ini.
Kerja otaknya pasti melambat. Dan, memori yang harusnya ia lupakan akan dengan senang hati membangkitkannya. Ya, memori kelam itu.
"Dia ada di sana, Al. Ayo!" ajak Jevand.
Bagai robot yang telah diproses kerjanya, Aldevo mengikuti perintah dari Jevand. Berjalan mengikuti langkah Jevand, dan berhenti di depan bangkar dengan tirai yang telah tersibak.
Aldevo dapat melihat sendiri tubuh pria tua itu terbaring lemah di atas bangkar. Di area hidung dan mulutnya telah dipasangi masker oksigen untuk membantu pernapasannya. Ah, hatinya terasa nyeri menyaksikan hal itu.
Ini semua, karena perbuatannya. Ayahnya kini berada di rumah sakit. Oh, my God, langkah apa yang harus ia tempuh sekarang?
°°°°°
180319 . . 200426
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.