Judul Awal: In The Name Of Love
Aldevo Archelaus sangat mencintai kekasihnya, Beby Owen. Namun, naasnya kekasihnya menghilang dalam suatu insiden dan tak pernah kembali lagi. Hingga datang satu titik dimana ia merasa putus asa dan patah arang.
• • •...
Havana, ooh na-na Half of my heart is in Havana, ooh-na-na Hetook me back to East Atlanta, na-na-na All of my heart is in Havana My heart is in Havana
(Camila Cabelloft. Young Thug_Havana) •••••
Gadis itu menatap kagum bangunan kokoh di hadapannya. Nuansa perpaduan konsep klasik dan modern class itu sukses mencuri perhatiannya. Di mana pandangannya langsung tertuju pada tiang bangunan yang berdiri kokoh sebagai pondasinya.
Iris hazelnya menyusuri setiap sudut halaman mansion yang baru dipijaknya. Meskipun hari kian larut malam pemandangan di sekitaran pekarangan mansion masih menyita sebagian perhatiannya. Jika diamati lewat seberkas cahaya rembulan yang temaram akan terlihat apik.
"Silakan masuk, Nona. Esok kau dapat lebih leluasa mengamatinya."
Gadis itu menoleh memamerkan gigi rapihnya. Wajahnya tertunduk malu, ketika tingkah lakunya diperhatikan.
"Ayo masuk akan kutunjukkan di mana kamarmu," Levin melangkah terlebih dahulu membuka pintu mansion miliknya.
Gadis itu semakin dibuat terkagum-kagum, saat ia menginjakan kakinya ke dalam mansion milik pria berhati malaikat itu.
Matanya mencuri pandang pada kemerlip lampu kristal yang tergantung dengan cantiknya. Ada juga Lukisan milik Pierre Auguste Renoiryang terpajang di dinding, di sudut ruangan tersebar beberapa guci antik dari masa yunani kuno. Mungkin jika dihitung nominalnya pasti tak terhingga.
Sekaya apa Tuan ini?
Lalu, dari arah ruangan lain terdengar suara bernada fals mencuri perhatiannya. Dipandanginya lekat-lekat sosok bertubuh mungil sedang melenggak-lenggok di depan sebuah layar besar.
Oooh-oooh-ooh, I knewit when I met him. I loved him when I left him. Got me feelin' like. Oooh-oooh-ooh, and then I had to tell him. I had to go, oh na-na-na-na-na.
Gadis kecil itu terus berceloteh riang hingga gerakannya berhenti mendadak, ketika aksinya ditonton sepasang manusia dewasa.
"Daddy..."
Kaki mungilnya berlari menghampiri sang ayah yang kini tersenyum lepas. Sontak tangan mungilnya memeluk pinggul orang pertama yang ia cintai.
"My sweet heart, apa kau merindukan Daddy~mu ini?"
"Of course, Daddy. Acle, sayang Daddy."
Di sebelahnya, ada seorang gadis asing sedang terpana menatap kebersamaan seorang putri dengan ayahnya. Rasanya seperti sudah lama sekali ia tak pernah menyaksikan adegan itu. Terlebih ketika Pria penyelamat dirinya menunduk mengecup lembut kening putrinya. Hatinya berdesir, dan kelompok matanya terasa panas.
Ah, situasi macam apa ini?
Pria bernama Levin itu meraih jemari mungil putrinya. Melirik sekilas, sebelum akhirnya ia mencoba memperkenalkan putri semata wayangnya kepada wanita yang baru saja ia bawa pulang.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Daddy, siapa dia?"
Kepala mungilnya mendongak menilai penampilan wanita dewasa di hadapannya. Pasalnya, sang ayah tak pernah membawa wanita lain selain Matilda selaku sekretaris ayahnya.
Levin tersenyum menatap gemas sang putri. Dia bungkukkan tubuhnya lalu dalam sekali ayunan ia menggendong tubuh mungilnya. Kini, sang putri dapat lebih mudah menatap lawan bicaranya.
"Daddy tidak tahu siapa namanya." jawabnya sembari mengedikkan bahu.
"Kenapa begitu?" wajahnya tampak memberengut tak suka.
"Ketika Daddy menemukan dirinya, memorinya sudah hilang."
Gadis kecil itu terdiam, lalu kembali menyuarakan sesuatu yang tidak dipahaminya. "Daddy, memori itu apa?"
Levin spontan terkekeh mendapati ini sang putri akhir-akhir ini aktif bertanya. Rasa ingin tahunya luar biasa.
"Memori itu ingatan, Sweetie. Dengan kata lain dia tidak mengingat apapun. Apalagi namanya."
Gadis kecil itu mencebik. "Owh, kasihan."
Melihat raut si kecil yang menggemaskan, gadis itu berjalan mendekatinya. Tangannya yang bebas terangkat membelai surai kecoklatan itu. "Hai, adik cantik. Siapa namamu?"
"Namaku Acle, Auntie."
Gadis itu memicingkan matanya. Nampak tak paham ucapan dari si gadis kecil.
"Namanya Miracle Ferdinand. Dia sering menyebut dirinya, Acle." ralat Levin, menjawab segala pertanyaan yang gadis itu pikirkan.
Bibir gadis itu membeo, sungguh ia tak pandai menebak-nebak ucapan anak kecil."
Miracle menarik lengan kemeja sang ayah, lalu mendekatkan bibirnya tepat ke telinga. "Apakah kita harus memberinya nama?"
Levin menjauhkan wajahnya hendak berpikir. Sepertinya hal itu memang tepat, mengingat kemungkinan gadis itu akan tinggal lebih lama dengan mereka.
"Maaf Nona, sepertinya anda memang membutuhkan sebuah nama. Kami tidak mungkin memanggilmu tanpa sebuah panggilan, bukan?"
Gadis itu mengerjap membenarkan perkataan yang sepenuhnya benar. "Lalu, apa nama yang cocok untukku?"
Suasan seketika hening.
Havana, ooh na-na. Half of my heart is in Havana, ooh-na-na (oh, yeah). Hetook me back to East Atlanta, na-na-na (ayy, ayy). All of my heart is in Havana. My heart is in Havana (ayy). Havana, ooh na-na.
Hanya musik bergenre pop latin itu yang masih mendominasi ruang keluarga berukuran besar dari ruangan sebelumnya ia lewati. Ia memperhatikan gadis kecil itu menepuk bahu ayahnya.
"Daddy, bagaimana kalau panggil dia Havana saja. Seperti wanita itu." tunjuknya ke arah layar besar, di mana seorang penyanyi wanita tengah menari sembari melantunkan lirik 'Havana'.
Levin melirik gadis tersebut. Kepalanya tertunduk dalam. Dia hanya diam, tak ada jawaban darinya.
"Apakah aku punya pilihan lain?"
Levin kembali menatap lekat iris hazel itu, ketika pandangannya saling bertemu. Sulit menyelami pikirannya. Tapi ia akan mencoba memahami dirinya.
"Kurasa kau tidak memilikinya."
Entah pilihannya ini langkah yang tepat atau bukan. Namun, ia yakin mungkin sebuah nama akan membantu jalannya menemukan jati diri yang baru.
Havana? Tidak buruk juga.
°°°°°
171103 . . 200411
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.