Judul Awal: In The Name Of Love
Aldevo Archelaus sangat mencintai kekasihnya, Beby Owen. Namun, naasnya kekasihnya menghilang dalam suatu insiden dan tak pernah kembali lagi. Hingga datang satu titik dimana ia merasa putus asa dan patah arang.
• • •...
Things are so different, now you're gone I thought it'd be easy, I was wrong (And now I'm caught) And now, caught in the middle Even though I'm with someone new All I can think about is you (And now I'm caught) And now, caught in the middle
(A1_Caught in the middle) •••••
Dua minggu telah berlalu setelah insiden mengelamkan itu berakhir. Namun, bayang-bayang sosok kekasihnya itu kerap kali tak pernah lepas dari benak Aldevo. Tubuh Beby yang meluruh di hadapannya masih setia menghantui dirinya.
Bagai sebuah dosa yang tak pernah bisa menghilang, Aldevo terus merutuki kesalahan yang menimpa gadis tercintanya itu. Hidupnya hancur tanpa kehadiran Beby di sisinya.
Kini tak ada lagi senyumnya, tak ada lagi canda tawanya yang selalu mengisi hari-harinya, tak ada lagi rangkulan manja yang selalu Aldevo rasakan, dan banyak lagi kebiasaan Beby yang tak dapat Aldevo jelaskan satu persatu.
Tiga tahun mereka lewati bersama, merajut kasih dan saling melengkapi. Saat mereka bersama, tak pernah ada aral melintang diantara mereka. Tapi, ketika cinta mereka diuji, kenapa cobaannya sepahit ini?
Bahkan untuk melawan takdir pun rasanya Aldevo tak sanggup, jika Tuhan sudah berkehendak. Lalu harus bagaimana lagi Aldevo sekarang?
Mengembalikan Beby? Itu tidak mungkin. Itu di luar kekuasaannya.
Aldevo sudah mengerahkan semua kemampuannya untuk mencari Beby dengan atau tanpa tangannya sendiri. Namun, hasilnya nihil. Upaya yang ia lakukan tak membuahkan hasil. Tak ada petunjuk kemana hilangnya kekasihnya itu.
Meskipun orang-orang mengatakan Beby mungkin saja telah mati dan membusuk di dasar laut. Aldevo seakan menulikan telinganya. Ia terus meyakini diri, jika Beby masih hidup. Walau entah ia berada di mana sekarang.
Aldevo mengisap dalam-dalam sebatang nikotin yang baru saja disulutnya dengan sebuah pemantik emas. Menghembuskannya perlahan ke udara melalui mulutnya. Ia mencoba menenangkan dirinya dari setiap hisapan yang dihembuskannya. Mengalihkan pikiran yang berkecamuk di dalam dada sembari menikmati view dari atap gedung perusahaannya.
"Ternyata kau di sini rupanya."
Suara bariton dari seseorang memecah keheningan malam yang dirasakan oleh Aldevo. Seketika itu, ia menoleh ke sumber suara. Tepat detik berikutnya iris hijaunya bertemu pandang dengan manik biru sahabatnya.
"Ada apa kau mencariku, Scott?"
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ya, orang itu adalah Scott Blanco. Sahabat terdekat yang ia miliki sejak memasuki bangku kuliah dan merambat menjadi salah satu investor di perusahaannya.
Scott melangkah mendekati Aldevo dengan kedua tangannya di saku celana. "Sampai kapan kau terus seperti ini?"
Aldevo kembali menghisap sebatang nikotin itu, kemudian menghembuskannya. "Menurutmu aku harus bagaimana? Apa yang harus kulakukan?"
"Aku paham dengan keadaanmu, Dev. Tapi kau juga harus memperhatikan kondisimu. Lihat kau tampak kacau!"
Aldevo menghela napasnya. Menjatuhkan puntung nikotin beracun yang baru dihisapnya itu, lalu menginjaknya. "Jika aku punya pilihan, aku ingin sekali menyusul Beby ke sana." jawabnya sarkasme.
"Kau sudah gila, ya."
"Aku memang sudah gila. Bagaimana kalau aku loncat saja dari gedung ini?" Aldevo mengambil posisi menaiki kakinya ke pagar pembatas.
"Shit, jangan bertindak bodoh! Mati tak akan menyelesaikan permasalahan. Lagi pula aku tak mau menjadi saksi kematianmu di gedung ini. Cepat turun!" seru Scott menarik kaki Aldevo untuk turun.
Perlahan Aldevo turun dari pagar pembatas, merebahkan tubuhnya di lantai meskipun itu kotor. Ia memejamkan matanya sejenak sembari sesekali menghirup udara kasar.
"Kau tahu, Scott. Hatiku sangat sakit. Bayangan Beby selalu menghantuiku di mana pun dan kapan saja. Aku masih mengingat betul, ketika tangannya terlepas dari genggamanku. Semuanya itu masih terekam jelas di otakku. Lalu aku harus bagaimana?"
Scott mengambil posisi duduk di samping Aldevo. "Kau butuh pengalihan, Dev. Kau tak bisa seperti ini. Kau harus menghilangkan rasa bersalahmu. Aku tak memintamu melupakannya, hanya saja kau butuh pengalihan dari rasa bersalahmu. Lihat dirimu sekarang, mirip sekali dengan mayat hidup. Memang aku tak pernah berada di posisimu. Tapi sebagai sahabat aku peduli padamu, Dev. Aku tak ingin melihat sahabatku ini terpuruk lebih dalam karena rasa bersalahnya. Ayo Dev, kau harus bangkit."
Mengatakan itu memang mudah, tapi yang menjalankannya itu sungguh sulit. mengomando otaknya untuk berputar haluan tak semudah membalikan telapak tangan.
Aldevo bangkit dari berbaringnya, lantas berjalan meninggalkan Scott.
"Kau mau kemana?" tanya Scott ikut bangkit.
"Ke tempat di mana aku bisa tenang."
Sesungguhnya Aldevo ingin cepat tertidur saja. Tapi ia tak akan bisa tidur nyenyak, jika rasa bersalah itu terus menghantui dirinya. Mungkin apa yang diucapkan Scott benar. Ia butuh pengalihan. Kenapa tak ia coba saja?
"Aku ikut denganmu!"
"Terserah kau saja."
°°°°°
170923 . . 200322
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.