Kelas X IPA 4 pagi ini hening. Pasalnya, hari ini diadakan ulangan harian fisika. Tamatlah riwayat para siswa-siswi yang semalam tidak membaca buku sama sekali.
Bisikan-bisikan terdengar, bukan bisikan gaib, melainkan bisikan dari mulut para murid yang ingin mendapat jawaban karena semalam mereka tidak membaca buku.
"Sst, woi Rafif! Nomor tiga dong, cara jawabnya gimana?" bisik Taufik yang tempat duduknya tepat berada di belakang Rafif.
"Cara jawabnya, gini nih. Siapin kertas, siapin pena, kalo udah, buka tutup penanya. Abis itu, tinggal tulis deh. Muehehe," jawab Rafif dengan enteng, saking entengnya ia tidak lagi berbisik. Volume suaranya cukup keras sampai-sampai Pak Pahan melotot dari tempat duduknya.
"Rafif! Cepat kerjakan! Berisik kali kau ini! Apa kau sudah menyelesaikan ulanganmu? So ma babamu ni!" gumam Pak Pahan menggunakan logat batak sambil berdiri dan berkacak pinggang.
"Iya, Pak Pahan yang amat tampaaan. Saya bakal diem," sahut Rafif selanjutnya.
Setelah Pak Pahan duduk kembali, suara Taufik kembali mengusik Rafif.
"Hehehe," cengir Taufik seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Apaan lo! Cengar-cengir, seneng lo ngeliat gue kena omel Pak Pahan? Padahal kan gara-gara lo nih." Rafif mengerucutkan bibir dan memutar kedua bola matanya.
"Kok gue, sih. Ya lo lah. Ngapain coba ngomong kelewat keras? Seharusnya alon-alon wae cuyy." Taufik melanjutkan seraya mengerling jenaka.
"Yeu, bodo amat," sahut Rafif jengkel, kembali memutar tubuhnya menghadap ke depan dan mencoba fokus terhadap soal fisika yang tertera di kertas. Semalam Rafif sudah belajar. Tapi mengapa soal fisika selalu rumit menurutnya? Padahal, soal ulangannya berbentuk pilihan ganda. Mencoba menerka-nerka jawaban, membuat Rafif mengacak rambutnya frustrasi. Ah sudahlah, jawab yang menurutnya masuk akal saja.
Hingga sesosok makhluk muncul dari ambang pintu, disusul suara napas yang terputus-putus memecahkan kegaduhan bisikan-bisikan yang berada di kelas.
"Assalamualaikum. Ma-maaf, Pak. Tadi saya salah masuk kelas, jadinya telat deh," itu suara Qila masih dengan napas tersengal. Keringat mengucur dari dahinya, menandakan ia sedang panik.
"Waalaikumsalam. Wah wah wah kau ini bagaimana bisa salah masuk kelas? Sudah telat lima belas menit ini, hadeh. Ya sudah duduk lah. Ini soal ulangan buat kau." Pak Pahan mengibaskan kertas ulangan di tangannya, supaya Qila mengambil kertas ulangan tersebut.
"Makasih, Pak." Qila mendekat dan mengangguk sopan pada Pak Pahan sedetik setelah ia mengambil alih kertas ulangan dari tangan gurunya itu.
Qila mendekati bangkunya yang terletak di seberang depan bangku Rafif. Hanya terpisah oleh meja saja.
"Dari mana aja, lo?" Rafif menoleh ke arah Qila yang baru meletakkan tasnya.
"Nggak denger aku tadi bilang apa sama Pak Pahan?" jawab Qila yang cenderung seperti sebuah pertanyaan.
"Denger sih, eumm ya udah lupain," ujar Rafif tengsin.
"Kamu udah nomor berapa?" Qila berbisik dan menyerong menghadap ke belakang agar suaranya tak mencapai gendang telinga Pak Pahan sembari mengeluarkan alat tulis dari dalam pencil case-nya.
"Hah?"
"Itu, kamu ngerjain soal udah sampe nomor berapa?" lanjut Qila yang sudah mulai menulis.
"E-ohh, baru sampe nomor empat." Rafif meringis menyadari betapa lambannya ia mengerjakan soal. Total ada sepuluh soal yang harus dikerjakan. Namun, setengah dari jumlah soal saja belum ia selesaikan. Salahkan saja soalnya yang terlalu rumit dipahami, jangan salahkan kapasitas otak Rafif dalam mencerna soal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Panggil Aku Goblok!
Teen Fiction[Completed] Dengan finansial seadanya, Qila adalah sosok yang menjunjung tinggi kesederhanaan dan mampu membuat orang-orang di sekelilingnya tertipu dengan topeng yang selalu ia pamerkan, layaknya remaja kebanyakan yang hanya akan senang dengan hal...