//10//

128 28 4
                                    

Kendaraan roda dua itu melaju dengan kecepatan sedang, angin malam membelai kulit mereka. Hening mengisi selama perjalanan menuju rumah Qila. Jalanan tidak begitu padat, cenderung ramai lancar. Dua puluh menit berikutnya, Rafif sudah memberhentikan vespa biru langitnya di halaman depan rumah Qila.

"Mau gue anter sampe depan pintu nggak?" tawar Rafif setelah Qila berhasil turun dari atas boncengan. Qila belum juga menjawab, karena sibuk merapikan rambutnya yang berantakan terkena angin. Tak pelak membuat Rafif turut serta mengulurkan tangannya, bukan untuk ikut merapikan, yang ada malah mengacak rambut Qila dengan gemas. Hal tersebut membuat Qila mencak-mencak di tempatnya.

"Ih, apasih Fif?! Tambah kusut nih! Messy hair udah nggak kekontrol gini, malah makin dibikin berantakan. Jadi makin kucel aja deh." Qila memanyunkan bibir, sebal.

Rafif menyeringai, ia merasa puas telah membuat Qila kesal. "Bah, pake istilah messy hair messy hair. Elo mah messy hair-nya tiap hari keleussss," balas Rafif dengan 's' pada kata keleus yang sengaja dipanjangkan berniat membuat Qila semakin jengkel sekaligus untuk menggoda Qila.

Dengan tampang tengilnya seperti itu dan ucapannya barusan, Rafif berhasil mengundang emosi Qila. Ia melotot tajam pada Rafif seakan ingin menelan cowok itu hidup-hidup. "Ah, kamu mah nggak asik! Dasar cowok! Kamu iri kan nggak bisa punya rambut panjang kayak aku? Makanya kamu nggak setuju. Heh," ucap Qila seraya mengibaskan rambutnya ke belakang dengan maksud pamer ke Rafif.

"Sorry aja nih ya, gue nggak melambai, rambut ini udah jadi yang paling macho." Rafif bergidik ngeri membayangkan dirinya bila seandainya memiliki rambut yang panjang. "Lo belum jawab pertanyaan gue tadi, mau dianter sampe dep-"

"Woi, motor siapa sih?! Elah, berisik banget dah ah dari tadi. Kalo mau berhenti di depan rumah gue, matiin dulu kek mesinnya! Yang denger pusing tau! Bikin polusi suara aja!" itu suara Aspuri, ia protes terhadap orang yang sampai sekarang belum mematikan mesin vespanya, tentu saja orang itu adalah Rafif.

Aspuri muncul di ambang pintu depan rumah, dari tempatnya berdiri, Qila bisa melihat Aspuri berkacak pinggang. Oh, jangan lupakan Rafif yang sudah pasti bisa juga melihat hal tersebut. Sontak saja, dengan cekatan Rafif mematikan mesin vespanya. Rafif memutuskan turun dari kendaraannya dan mengambil pergelangan tangan Qila untuk ia genggam. Bukan apa-apa, Rafif hanya tak mau dirinya kena semprot sendirian oleh Aspuri.

Rafif mendekati Aspuri sembari masih menggenggam pergelangan tangan Qila. Memang ini tujuannya; menggenggam tangan Qila agar Qila juga ikut kena semprot. Tanpa tedeng aling, begitu kaki mereka berdua menapak di teras rumah, suara Aspuri otomatis menyambut kedatangan mereka.

"Wah." Aspuri mengangkat dagu, songong. "Parah lo berdua, pulang sekolah langsung jalan. Nggak ngajak gue lagi."

Siapa elo mau gue ajak? itu hanya sekadar suara hati Rafif yang tak mampu ia utarakan terang-terangan.

Entah mengapa, Qila jadi merasa canggung. Ia garuk-garuk kepala, bingung mau jawab apa. Seolah paham dengan gerak-gerik Qila, refleks Rafif menyahut.

"Enak aja jalan! Kita nggak jalan, keleus. Asal lo tau ya, adik lo ini udah ca-" kalimat Rafif terputus, karena Qila sudah terlebih dulu menginjak kakinya. Salah besar ia sudah memercayai Rafif mengetahui rahasianya yang selama ini selalu berusaha ia simpan rapat-rapat.

"Adadaw! Sakit Qila!" Rafif meringis kesakitan, Qila balas dengan menjulurkan lidah, mengejek.

Dasar ember bocor! Huh! keluh Qila hanya dalam hati saja. Untung Qila sudah melakukan sesuatu disaat yang tepat. Coba kalau tidak? Wah, entah bagaimana nasibnya malam ini.

Jangan Panggil Aku Goblok! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang