"Hambatan itu sering menjadi batu pijakan."
<Prescott>
_____
Senja menyapa tatkala Wirya memasuki area rumahnya. Seperti biasa, sunyi menyambut saat kakinya menapak pada ubin putih ruang tengah. Orang tuanya selalu sibuk bergelut di dunia pekerjaan. Walau bias jingga telah menyambut menandakan petang akan segera tiba, tidak ada tanda-tanda orang tuanya akan segera pulang menyudahi segala aktivitas pekerjaan apapun itu. Everybody needs rest, itulah kalimat yang tercantum di benak Wirya setiap kali orang tuanya merasa tak kenal lelah atas pekerjaan.
Orang tuanya baru akan pulang bila petang telah usai digantikan dengan gelapnya malam. Wirya tersenyum pahit, menyadari betapa ia juga butuh perhatian. Persetan dengan kalimat yang sering dilontarkan oleh kedua orang tuanya bahwa mereka bekerja keras siang malam demi Wirya. Setiap anak pasti membutuhkan perhatian, bukan hanya sekadar pemberian materi dari para orang tua. Wirya terkadang merasa iri pada anak-anak yang disambut oleh orang tuanya dengan khawatir bila mereka pulang terlambat. Atau disambut dengan senyum hangat kala mendapati anaknya dalam keadaan baik-baik saja sepulang sekolah.
Wirya sampai lupa kapan terakhir kali ia disambut seperti itu oleh orang tuanya. Wirya juga lupa kapan terakhir kali ia makan malam bersama kedua orang tuanya. Terlepas dari itu semua, Wirya juga merindukan rentetan ocehan dari mama ataupun papanya. Wirya anak tunggal, tak pelak membuat dirinya merasa semakin kesepian dalam kesendirian di dalam rumah seluas ini.
Kedua orang tuanya hanya menjadikan rumah ini sebagai tempat untuk numpang tidur. Hanya itu. Tak lebih bagi Wirya. Pagi, siang, sore rumah ini hampir tidak diisi oleh kegiatan. Layaknya rumah kosong tak berpenghuni.
Wirya menghela napas dalam sebelum mengembuskannya dengan perlahan. Seharusnya ia tak lagi begini, toh sudah biasa baginya menghadapi kesunyian yang menyelimuti. Lantas, apa yang perlu diresahkan? Tinggal bagaimana cara Wirya dalam mengatasi kesunyian itu.
Sekarang, Wirya tak lagi bergelut dengan pikirannya. Ia beranjak ke lantai atas menuju kamarnya. Menurut Wirya, kamar adalah ruangan ternyaman dari seluruh ruangan yang tersedia di rumah. Andai saja badannya tak bau dan lengket karena keringat, pasti ia akan langsung terjun ke kasur empuknya dan merengkuh bantal guling kesayangannya. Maka dari itu, ia bergegas melepas segala benda yang melekat di tubuhnya dan pergi ke kamar mandi.
Sehabis mandi, Wirya ingin cepat-cepat tidur untuk melepas penat sekaligus menenangkan pikirannya yang sempat semrawut.
***
Angin mengusap lembut permukaan wajahnya, menyapu helai rambutnya. Angin seperti berbisik di telinga supaya lelaki itu segera masuk ke dalam kamar sebelum sang angin berhembus lebih kencang. Namun lelaki itu tak menggubris, tetap tenang memandang langit malam bertabur bintang dari balkon kamar.
Entah karena apa, langit tak seperti biasanya. Dengan elok, langit membiarkan gemintang menghiasinya. Yang mana itu merupakan peristiwa yang jarang terlihat di daerah Ibu Kota. Membuat siapa saja yang berada di luar mau tak mau memandang ke atas, memandang langit. Kecuali orang itu dalam keadaan genting, memerhatikan sekitar saja tidak apalagi melihat ke atas, ke arah langit berada.
Saat kecil, Rafif memang sering melihat bintang yang bertaburan di langit bersama papanya. Pada mulanya Rafif tak begitu peduli dengan omongan papa yang mengatakan, "Langit memiliki beberapa lembaran, tidak semua lembaran itu kosong. Beberapa bagian diisi dengan titik-titik kecil yang memancarkan cahaya." Jujur, Rafif tidak peduli dengan itu. Selain ia masih terlalu kecil untuk memahami kalimat papanya, ia juga tak berminat menjadi astronot yang mempelajari tentang bintang dan segala benda luar angkasa lainnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Panggil Aku Goblok!
Fiksi Remaja[Completed] Dengan finansial seadanya, Qila adalah sosok yang menjunjung tinggi kesederhanaan dan mampu membuat orang-orang di sekelilingnya tertipu dengan topeng yang selalu ia pamerkan, layaknya remaja kebanyakan yang hanya akan senang dengan hal...