//28//

80 11 11
                                    

Jangan merasa sementara,

karena hidup punya cita.

Jangan merasa selamanya,

karena hidup punya masa.

___

Di sinilah mereka sekarang. Duduk bertiga dengan kepala dipenuhi oleh pikiran berkecamuk yang tak henti-hentinya menertawakan takdir dan semesta. Tak ada yang berani mengeluarkan suara di ruangan sepetak itu. Bahkan rasanya jam dinding pun enggan berdenting mengalahkan bising yang terasa mencekik. Hanya suara helaan napas yang tersisa agar sesak tak menguasai.

Aspuri mengulum bibir beberapa kali, melihat ke arah pria paruh baya yang duduk di samping Damar dengan wajah datar. Ia mendesah pelan, sudah tidak sabar. Akhirnya ia memutuskan bertanya, "Jadi kenapa harus di sini, Pak? Kenapa Bapak nggak pulang?"

"Bapak takut, Nak. Bapak tau ini salah, tapi maaf.... maafin Bapak." Aspuri tidak menyangka suara lelaki itu akan bergetar dan melirih, seperti sedang menahan tangis.

Semua di luar kendali Aspuri ketika dirinya berdiri maju dan langsung memeluk tubuh yang sudah lama dirindukannya itu. Ada banyak yang ingin ia tanyakan, tapi semua kosakata seperti tertelan kembali kala tangan besar yang dulu pernah mengusap kepalanya dengan sayang itu ikut membalas pelukannya. Aspuri tersentak merasakan tubuh yang mulai menua itu bergetar dan seperti terisak.

"Maafin Bapak.... tolong maafin....," ujar Pramono menyesal. Dia menceracau tak jelas, mengucapkan sederetan kalimat lain yang tak bisa Aspuri tangkap sepenuhnya. Tapi intinya pasti sama. Sang bapak telah menyesal atas perbuatan yang dilakukannya selama ini.

Aspuri mengurai pelukan, kemudian berkata, "Aku udah maafin sebelum Bapak minta maaf. Sekarang ada yang lebih penting dari ini, Bapak harus ikut aku."

***

Qila menghela napas panjang dan mengembuskannya dengan kasar. Hari ini begitu melelahkan untuknya. Ia berjalan lunglai melintasi koridor rumah sakit yang tidak terlalu ramai. Mengingat lomba cerdas cermatnya tadi membuat bahu Qila semakin merosot, pandangannya kosong dengan kelopak mata yang menyayu. Pasalnya ia hanya berhasil meraih juara 2, padahal ia sudah berusaha semaksimal mungkin dan menggantungkan seluruh harapan yang tersisa di lomba ini.

Berbeda dengan Wirya yang mengungguli Qila, cowok itu berhasil meraih juara 1. Qila sudah was-was hal ini akan terjadi, tapi tetap saja kenyataan menghantamnya telak dan itu lebih membuatnya sakit. Memang segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik, terbukti sekarang Qila merasa kecewa pada dirinya sendiri karena terlalu berharap pada apa yang belum terjadi. Tapi ..... yang namanya berharap tuh, tidak salah kan?

Qila hampir saja menangis, namun ia kembali menguatkan dirinya. Lagipula hanya masalah sepele. Juara 2 tidak akan membuatnya dipandang rendah dan yang terpenting hadiah yang ia dapat juga tidak main-main. Hadiahnya berupa uang. Masih cukup membantu biaya operasi kakek.

Qila kembali melangkah karena sebelumnya ia sempat terhenti untuk menguatkan diri. Cewek berkuncir kuda itu sudah merasa tenang dan lebih baik, namun hal itu tidak berlangsung lama karena baru beberapa langkah ia merasa dunia akan segera runtuh. Kakinya serasa tidak menapak lagi pada tanah. Apakah nyawanya sudah dicabut oleh malaikat?

Sudah mengerjapkan mata beberapa kali tapi tetap saja sosok di depannya tidak menghilang. Qila membeku, ia kira orang di depannya ini adalah bayangan. Tapi semakin dilihat bukannya menghilang malah semakin jelas. Semuanya bergerak lamban seperti film dalam mode slow motion. Qila tidak tahu apa yang menyumbat tenggorokannya sampai rasa-rasanya tenggorokannya begitu kering, bahkan hanya untuk menelan ludah pun rasanya susah sekali.

Jangan Panggil Aku Goblok! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang