//30//

125 10 7
                                    

Waktu terus merangkak maju.

Kita tak pernah bisa mengalahkan waktu,

tapi bisa berjuang
di antara detik demi detik yang tersisa.

Berjuang?

Semua orang bisa mengatakan, tapi sulit melakukan.

Berjuang perlu ikhlas.

Berjuang punya rasa pedas.

Bukan sekadar bualan yang terkadang ampas.

~~~

"Yah... ck, kagak jadi nonton dong." Rafif berdecak kecewa.

Mama menoleh ke arah Rafif dengan matanya yang menyipit memberi tanda untuk menyuruhnya diam. "Nanti aja lah Fif, lain kali. Kan masih banyak waktu. Kamu kalau nggak mau ikut, yaudah. Nonton aja sendiri."

"Ih, Mama nih!"

"Apa?"

"Anak Mama kan aku, kenapa ngurusin dia?"

"Kamu tuh ngerti dikit lah. Sekarang yang terpenting itu urusannya Qila. Yang lain mah bisa nyusul, apalagi masalah nonton. Lagian ini udah malem, pasti Qila dicariin. Daripada bikin masalah lain yang nggak perlu, kita bantu Qila aja sekalian tengokin Kakek Qila."

"Bener tuh! Aku setuju sama Mama," sahut Melan menatap Mamanya dan kembali melanjutkan, "gue tau Qil lo nggak cepat nerima ini semua, harus secara perlahan memang, gue juga nggak yakin kalau gue di posisi lo apakah gue akan cepat nerima atau nggak, tapi dengan lo terus lari juga nggak akan membuat masalah cepat selesai."

"Widih mantap banget kata-kata lu," celetuk Rafif, yang langsung disambut oleh pelototan Melan.

"Iya, Om sebagai Papa juga merasa kalau kamu perlu menemui Ayah kamu, gimanapun juga Ayah kamu pasti kangen," sambung Papa Rafif, sebut saja Om Herman. "Dia itu Ayah kamu, sebrengsek apapun, dia tetap Ayah kamu. Peran kamu sebagai anak dibutuhin banget di sini, inilah saatnya kamu bisa nunjukin kalau kamu anak yang bertanggung jawab, meskipun mungkin kamu merasa kalau Ayah kamu itu Ayah yang nggak bertanggung jawab. Makanya jangan jadi seperti Ayah kamu, jadilah anak yang bertanggung jawab. Ambil yang baik-baik aja dari Ayah kamu, yang jelek-jeleknya buang aja. Intinya bales perbuatan Ayah kamu dengan tuntun dia ke arah yang lebih baik. Jangan dendam, dia orang tua kamu. Maafin dia, sampai dia sadar kalau ternyata perbuatannya selama ini tuh salah dan yang paling penting keluarga yang kamu punya sekarang cuma Kakek, Kakak dan Ayah kamu."

Qila hanya bisa menggigit bibir bawahnya dan mulai menyadari bahwa apa yang dikatakan oleh Om Herman itu benar. Dia tidak bisa mengelak lagi. Dia tidak seharusnya terus-terusan begini. Ini salah. Dia harus bisa belajar menerima dan memaafkan. Butuh waktu memang, tapi harus.

***

Mobil Toyota Calya berwarna silver itu membelah jalanan Ibukota. Qila merenung, kepalanya diisi oleh berbagai macam pertanyaan random. Penuh sekali. Rasanya kepala Qila penuh sekali dengan tanda tanya. Ingin sekali ia tumpahkan. Tapi kepada siapa? Siapa yang mau dengar ceritanya? Siapa yang mau dengar keluh kesahnya? Selama ini memang Qila selalu berdiri tegak. Berdiri melawan segalanya sendiri. Berdiri di kakinya sendiri, tidak bertumpu pada orang lain. Karena siapa lagi yang patut diandalkan selain diri sendiri? Siapa yang lebih baik dari diri sendiri? Pada akhirnya yang kita punya cuma diri kita sendiri. Mustahil kalau kita tidak memahami diri sendiri.

Jangan Panggil Aku Goblok! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang