Sejak beberapa jam yang lalu, awan mendung tampak menggantung di langit. Lama kelamaan, awan itu kian menebal dan menghitam. Kilat mulai menyambar sekilas membuat seberkas cahaya terpampang di langit. Terus begitu. Kilat menyambar, sesekali diiringi oleh suara petir yang mulai memekakkan telinga.
Seorang pria paruh baya yang berpakaian serba hitam terlihat santai membaca buku sejarah. Di samping sikunya, terdapat secangkir kopi yang masih tersisa setengah. Pria itu memang tengah berada di sebuah kedai kopi. Kedai yang ia pilih tampak sepi pengunjung karena lokasinya yang diapit oleh bangunan-bangunan lain. Selain itu, kedai kopinya pun tidak terlalu besar. Di dalamnya hanya ada delapan meja dan beberapa kursi. Jika tak diperhatikan secara saksama, orang-orang mungkin tidak akan menyadari kalau ada satu kedai kopi yang menyempil di sini.
Meskipun tergolong kecil, kedai kopi itu terasa nyaman. Dan satu alasan lagi mengapa pria paruh baya yang berpakaian serba hitam itu betah berlama-lama di sini adalah karena kedai kopi itu sepi. Bukan sekadar sepi pengunjung, namun juga sepi karena terhindar dari suara-suara yang mengganggu. Tidak seperti kedai kopi yang berada di pusat kota, kedai kopi ini bebas dari suara-suara bising kendaraan yang berlalu-lalang, bunyi klakson tak sabaran dari pengendara yang stress akan kemacetan, atau suara percakapan dan kekehan banyak orang, serta suara gelas, piring dan sendok yang beradu.
"Pak Pramono?"
Sapaan akrab yang berasal dari seseorang membuat kegiatan menyeruput kopinya terhenti. Sosok yang disebut 'Pak Pramono' itu mendongak dan mendapati barista sekaligus pemilik kedai kopi itu tengah bersedekap dada. Alih-alih tersenyum sumringah mengetahui pelanggan setianya mampir ke kedai kopinya, barista itu justru menyeringai.
"Ada masalah?" Sang barista bertanya, menyelidik.
Pramono menggeleng pelan seraya tersenyum. "Saya justru dalam keadaan yang baik sekali," tuturnya.
"Apapun itu yang membuat Pak Pramono senang, saya berterimakasih atas hal itu."
Kontan, salah satu alis Pramono terangkat. "Kenapa begitu?"
Sang barista menggaruk alisnya, bingung menjelaskan. "Ya karena hal itu sudah berhasil membuat Pak Pramono senang. Kalau Pak Pramono senang, berarti hari ini ada satu orang yang berhasil menikmati kopi buatan saya. Jadi kedai kopi ini nggak sia-sia udah buka dari tadi pagi."
Pramono manggut-manggut sambil mengulum bibirnya ke dalam satu garis lurus. "Hm ... iya, masuk akal juga."
"Tapi kalau seandainya Bapak memang ada masalah, cerita aja. Jangan sungkan, saya siap jadi pendengar yang baik," ujar Si barista itu seraya terkekeh.
Pramono menghela napas sejenak. "Saya mau jujur," gumam Pramono, pelan. Lantas ia mengalihkan pandangan ke kaca besar yang menjadi pembatas antara kedai dengan jalanan. Rupanya di luar, tetes-tetes air hujan mulai berjatuhan, menimpa tanah.
"Hm?" sahut pemuda di hadapan Pramono dengan kernyitan dalam di dahi, tampak heran.
Pramono masih setia memandang ke luar, tepatnya ke arah jalanan yang sekarang sudah basah tertimpa air hujan yang semakin menderas. "Saya sudah berhasil menemui mereka. Saya bukan pengecut lagi." Purnomo bergumam masih dengan nada pelan, malah terdengar semakin melirih.
"Mereka?" Alis sang barista kian menukik tajam, tambah tidak mengerti. Kebingungan. "Maksudnya apa Pak? Maaf, saya kurang paham. Bisa diperjelas?"
Kali ini, Pramono kembali menatap pemuda di hadapannya. "Saya sudah berhasil menemui kedua anak saya," tukas Pramono, cepat.
Sang barista melotot dengan mulut sedikit terbuka. "Dua-duanya?"
"Ya," jawab Pramono, pendek.
"Siapa tuh namanya? Saya rada lupa. Mm ... Mila sama Tutwuri? Eh." Si barista menepuk dahinya pelan, merasa salah menyebutkan nama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Panggil Aku Goblok!
Teen Fiction[Completed] Dengan finansial seadanya, Qila adalah sosok yang menjunjung tinggi kesederhanaan dan mampu membuat orang-orang di sekelilingnya tertipu dengan topeng yang selalu ia pamerkan, layaknya remaja kebanyakan yang hanya akan senang dengan hal...