Seperti biasa, Qila berangkat ke sekolah naik angkot. Ia menunggu di trotoar yang malah digunakan oleh para pengendara motor. Kebanyakan dari mereka adalah orang yang tidak sabaran karena macet. Sudah menjadi makanan sehari-hari di Ibu Kota. Sedangkan Aspuri? Entahlah, kakaknya itu selalu pergi terlambat. Tapi Aspuri juga pasti naik angkot atau ojek. Dalam keadaan terpaksa, dia pasti naik metromini.
"Mang, stop Mang!" seru Qila saat angkot sudah terlihat.
Sopir angkot mengerem angkotnya. Menciptakan bunyi decitan ban. "Duh, maap Neng. Ini bangkunya udah penuh semua. Pas-pasan banget. Tumben, padahal masih jam enam kurang," ujar Mamang angkot itu sambil mengelap keringatnya dengan kaus putih kumal yang ia kenakan.
Qila mengangguk terpatah. "Oh yaudah deh Mang. Lanjut aja, nggak apa-apa."
"Maap ya Neng...," kata sopir angkot itu sambil kembali melajukan mobilnya.
Qila mengembuskan napas lega-malah hampir terpekik lima menit kemudian karena angkot lain yang ia tunggu-tunggu akhirnya muncul dari ujung jalan. Saat angkot itu melipir ke pinggir jalan, tanpa buang-buang waktu Qila segera naik.
"Oi!" seru seseorang kala dirinya sudah duduk manis di dalam angkot.
Seruan itu bukanlah jenis seruan yang keras. Namun cukup membuat penumpang yang lain menoleh, tapi sedetik kemudian mereka kembali sibuk dengan aktivitas masing-masing.
"Eh, rupanya lo. Ketemu lagi," gumam Qila kepada cowok yang duduk di depannya.
"Lo tuh emang biasa naik angkot tiap hari, ya?" tanya cowok itu, yang ternyata adalah Wirya.
"Iya. Kalau lo sendiri?"
"Gue sih random. Kalau ada angkot gue naik angkot."
Qila manggut-manggut sebagai respon. Selebihnya, keheningan menyergap mereka. Walaupun tak sepenuhnya hening karena bunyi ajep-ajep yang timbul dari pemutar musik dalam angkot. Suasana malah jadi canggung. Lama sekali mereka saling diam seperti itu, sekitar lima belas menit.
Mendadak, Wirya mengeluarkan suara. Pasti ingin memecah keheningan. "Eh iya, gue baru ingat, waktu itu lo beneran simpan nomor gue di hape lo?"
Kening Qila berkerut. Lalu menjawab pendek, "Iya."
"Oke, bagus deh. Gue nggak nyangka bakal lo simpan beneran. Kalo gue chat, bakal lo bales nggak?" Wirya nyengir.
"Hah? Eum-"
"Kiri, Bang!" Ucapannya belum terselesaikan saat Wirya malah meminta sang sopir memberhentikan angkotnya dan Wirya pun beranjak turun.
Qila melihat keluar jendela untuk sedetik kemudian merutuki dirinya sendiri. Kok nyampenya cepet banget ya? Perasaan baru aja duduk.
Usai turun dan membayar ongkos kepada sang sopir. Qila menyusul Wirya yang tahu-tahu sudah menyeberang jalan.
"E-eh, tunggu dong! Wirya!" pekik Qila sambil melangkah tergesa. Ia sampai tidak lihat kanan-kiri saat menyeberang. Dirinya hampir terserempet motor kalau sang pengendara tidak membunyikan klakson terlebih dahulu.
Selanjutnya, seperti yang sudah kalian pikirkan, Qila mendapat omelan dari pengendara motor itu. "Kalo nyeberang jangan ngelamun, dek! Liat kanan kiri dulu lah! Buru-buru sih boleh, tapi harus tetap jaga keselamatan. Keselamatan itu penting, nomor satu."
Aduh si Bapak malah ngomel lagi! Keburu telat nih, lagian siapa juga yang ngelamun. Ini tuh gara-gara si cunguk itu...
"Duh, iya Pak, iya. Saya minta maaf banget karena udah mengganggu ketenangan Bapak dalam berkendara. Saya mau lanjut jalan lagi karena saya udah telat. Oke?" Diakhir kalimatnya, Qila menyunggingkan senyum yang jelas dipaksakan. Bunyi klakson dari pengendara lain mulai bersahutan. Mencipta paduan suara yang membuat telinga berdengung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Panggil Aku Goblok!
Teen Fiction[Completed] Dengan finansial seadanya, Qila adalah sosok yang menjunjung tinggi kesederhanaan dan mampu membuat orang-orang di sekelilingnya tertipu dengan topeng yang selalu ia pamerkan, layaknya remaja kebanyakan yang hanya akan senang dengan hal...