//19//

85 14 15
                                    

2 × 16 = 32
8 × 4 = 32
Hidup terkadang seperti matematika. Hasilnya sama, tapi dengan jalan yang berbeda. Mungkin kamu benar, tapi mereka juga tidak salah. Cara melakukan sesuatu bukanlah satu-satunya cara. Jadi hargai cara pandang orang lain.

____

"J—jadi, Kakek sakit apa Dok? Cuma kecapekan sama kurang istirahat aja kan? tanya Qila, harap-harap cemas. Dilihatnya Aspuri yang masih setia menunduk lemah dengan bahu bergetar, sesekali ia terlihat menyeka pipi serta ujung mata. Sungguh, Qila tak pernah merasa sebingung ini sebelumnya. Terakhir kali ia merasa amat kebingungan adalah saat Rumi—teman semejanya memberi tebak-tebakan asal dengan pertanyaan semacam kucing kalo turun dari pohon apanya duluan yang nyentuh tanah?

"Berdasarkan hasil diagnosis saya, Kakek kalian menderita penyakit sirosis hati," tutur sang dokter, mau tak mau ia harus mengatakannya.

"Si—arghh, apa tadi namanya?" Aspuri yang nampak kurang puas akan jawaban dokter, segera mengangkat kepala tanpa perlu menghapus jejak air matanya.

"Sirosis hati," ujar dokter itu dengan lebih lambat agar Aspuri tidak perlu bertanya lagi. "Nah, kita sudah sampai." Sang dokter berkata sambil melongokkan kepalanya ke luar jendela. Sontak saja hal itu membuat Aspuri serta Qila melakukan hal yang sama.

"Beberapa jam lagi kita akan segera mengetahui apakah Kakek kalian memang benar-benar terserang penyakit sirosis hati atau tidak. Boleh jadi, diagnosis saya salah," lanjut dokter itu.

Aspuri dan Qila kompak menghela napas gusar.

***

Akhir pekan ini, Wirya akan menghabiskan waktunya di sekolah. Tidak seperti kebanyakan siswa lain yang lebih memilih menghabiskan waktu akhir pekannya untuk beristirahat di rumah atau refreshing otak dengan hangout, nongkrong di cafe, atau sekadar pergi ke mall. Tapi bukan tanpa alasan, Wirya datang ke sekolah adalah untuk latihan ekskul band-nya. Ia merelakan waktu tidurnya tersita hanya karena ingin ke sekolah untuk ekskul, karena biasanya jika hari libur Wirya pasti akan bangun siang.

Wirya tersenyum dan mengangguk singkat kala beberapa temannya menyapa. Pasalnya, Wirya baru saja turun dari motornya dan sekarang ia sedang berjalan menuju lapangan menemui Reka-teman yang paling sering membantunya, karena sebenarnya Wirya tak memiliki teman akrab. Lapangan sudah ramai kala Wirya menginjakkan kakinya di sana. Saat Wirya sudah tiba di dekat Aska, Wirya langsung menepuk bahu Aska dan sang empunya kontan menoleh.

"Eh, baru dateng lo, sob?" sapa Aska seraya tersenyum simpul.

"Yoai," balas Wirya pendek.

Lantas keduanya pun jalan beriringan menuju aula untuk mengambil alat-alat musik yang mereka butuhkan. Sesampainya di sana, Aska terlihat kebingungan, ia menggaruk pelipisnya yang tidak gatal sambil terus bergumam samar di mana sih? Wirya yang menangkap raut kebingungan temannya langsung mengerti kalau Aska tengah mencari stik drum-nya. Bohong besar kalau Aska bilang ia kebingungan mencari drum. Drum kan besar, tepat di hadapannya lagi, masa iya Aska masih pusing mencari. Masih berkutat mencari stik drum, Aska mengaduh saat kakinya tersandung stand keyboard.

"Pffttt." Wirya menahan tawanya ketika temannya itu hampir tersungkur. Kemudian ia mengangsurkan benda yang sedari tadi dicari-cari oleh Aska. "Nih, makan tuh stik. Nyari ginian aja ribet, gimana kalo nyari cewek," canda Wirya.

Aska melotot, bukan karena candaan Wirya, tapi terlebih karena mudahnya Wirya menemukan stik itu. "Kok bisa ketemu?!" Lalu Aska menatap stik yang sudah ia genggam dengan tatapan seolah-olah stik itu sudah berlaku kejam padanya, sungguh dramatis. "Lo jadi stik aja belagu, giliran sama gue lo nggak mau munculin batang idung, giliran sama dia," Aska melirik Wirya. "Langsung muncul." Kata-kata Aska diakhiri dengan dengusan sebal darinya.

Jangan Panggil Aku Goblok! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang