//25//

80 15 3
                                    

"Pak."

Tok...

Tok...

Tok...

Damar sudah beberapa kali memanggil Pramono seraya mengetuk pintu kamarnya. Namun Pramono sama sekali tidak bereaksi. Damar jadi penasaran, apa yang sedang dilakukan Pramono di dalam sana? Ini sudah siang, bahkan sudah menjelang sore. Biasanya pagi-pagi buta Pramono sudah nongkrong di kedainya. Tapi sekarang apa? Apa yang terjadi? Sedikit informasi, Pramono tinggal di sebuah ruko yang sudah tidak berpenghuni.

Layaknya ruko kebanyakan, ruko ini mempunyai dua lantai. Lantai satu dibiarkan tak terurus, menjadikannya tempat bagi sarang laba-laba, debu tebal melekat pada benda-benda rongsokan yang sebenernya masih bisa digunakan dan dimanfaatkan fungsinya, ada satu sofa yang bulan lalu baru dipindahkan dari lantai dua dan sekarang lihatlah, sofa itu pun sudah dilapisi debu, tetapi tidak cukup tebal. Sedangkan lantai dua dialihfungsikan menjadi tempat tinggal oleh Pramono.

Di lantai dua hanya ada satu kamar yang sekarang menjadi kamar Pramono. Keadaan di lantai dua berbanding terbalik dengan keadaan di lantai satu. Lantai satu berantakan, sementara lantai dua rapi dan bersih. Yah, seperti tempat tinggal orang-orang beradab lainnya.

Semenjak dirinya bebas, Pramono bingung harus tinggal dimana. Mustahil baginya untuk kembali ke rumah itu. Ke rumah yang sebenarnya, dimana keluarganya berada. Pramono yakin mereka akan selalu berkenan menerimanya, membukakan pintu rumah lebar-lebar baginya dan otomatis hal itu akan membuatnya semakin merasa bersalah. Setelah sekian tahun terkurung di dalam jeruji besi, Pramono tak cukup yakin akan kembali menjadi ayah yang baik bagi anak-anaknya atau menjadi anak yang baik bagi orangtuanya.

Untunglah Pramono bertemu dengan Damar secara tidak sengaja ketika dirinya sedang mencari tempat tinggal yang layak. Namun waktu itu keadaannya sangat berantakan, belum makan selama dua hari dan ia harus menghadapi tatapan orang-orang yang melihatnya seperti orang gila. Pramono dibawa oleh Damar ke kedainya dan selama beberapa hari ia dirawat di sana. Damar memberinya makan, tempat tidur dan kebutuhan lain yang Pramono perlukan hingga ia merasa lebih baik.

Mulanya Damar menawarkan Pramono untuk tinggal di rumahnya saja. Tapi Pramono menolak secara halus. Selain karena takut merepotkan Damar beserta keluarganya, Damar juga sudah terlalu baik buatnya. Lagipula siapa lagi yang akan menolongnya jika dia saja tidak berharap akan ditolong? Berarti Damar adalah orang yang benar-benar tulus.

Damar menghela napas dalam melihat pintu yang terbuat dari triplek itu masih tertutup rapat. Sekali lagi, ia mencoba mengetuk pintu dengan agak sedikit keras, mungkin saja Pramono sedang tidur siang atau sedang berada di kamar mandi. Opsi kedua mungkin benar karena Damar tahu, Pramono bukanlah tipe orang yang suka tidur siang. Ya, Damar sudah tahu sejauh itu. "Pak... bisa buka pintunya? Pak Pramono???"

Nihil, belum ada sahutan. Tidak ada tanda-tanda pintu ini akan dibuka. Damar menyabarkan diri, dia mencoba mengetuk pintu sekali la-

"Iya, ada apa Dam?" Pramono baru nongol dan dengan santainya dia hanya bertanya 'iya, ada apa Dam?'. What? Sesederhana itu? Apakah orang yang sudah Damar anggap sebagai orangtuanya ini tidak dengar sedari tadi dia koar-koar sampai tenggorokannya terasa kering?

Namun Damar menahan segala cibirannya itu dan refleks menarik tangannya yang ingin mengetuk pintu.

"Ckck! Bapak dari mana aja sih?" Damar menyambut kemunculan Pramono dengan wajah masam yang tak perlu ia tutup-tutupi. Kemudian ia melirik arloji yang melingkari pergelangan tangannya. "Saya udah stand di sini dari setengah jam yang lalu. Kram nih," keluhnya sambil mencebikkan bibir.

"Halah, setengah jam mah belum apa-apa. Cuma tiga puluh menit, huh!" Pramono menimpali seraya berkacak pinggang dan mengibaskan tangan, oh tak lupa raut wajahnya yang seolah meremehkan Damar.

Jangan Panggil Aku Goblok! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang