//13//

87 18 7
                                    

Qila tak henti-hentinya merasa cemas, ia sampai menggigiti ujung jarinya. Sejak setengah jam yang lalu, Aspuri belum juga membuka mata. Saat Qila melihat kerumunan di depan gerbang sekolah, ia sudah berfirasat bahwa hal itu bukanlah sesuatu yang baik. Dan ternyata dugaannya benar, Qila membelah kerumunan itu kemudian terbelalak kaget. Qila kalang kabut, meminta bantuan pada siapa saja yang ada di sana untuk membantu membopong Aspuri.

Pertama-tama ia memeriksa kondisi Aspuri, lantas sedikit bernapas lega saat mengetahui Aspuri hanya pingsan. Tetapi tak lama kemudian, guru-guru langsung berdatangan. Bahkan tukang kebun dan Pak Satpam ikut memeriksa apa yang terjadi. Akhirnya Aspuri dibawa menggunakan kendaraan roda empat milik Pak Juned.

"Duh, gimana Kek? Masih belum sadar juga?" Qila bertanya ketika kakek menegakkan punggungnya setelah selesai mengolesi leher dan lubang hidung Aspuri dengan minyak kayu putih.

Kakek menghela napas panjang, lalu menggeleng.

"Kak Aspuri pasti telat makan, terus maag-nya kambuh, jadinya gini deh."

Qila mengecek suhu tubuh Aspuri dengan menempelkan telapak tangannya ke kening Aspuri, lantas berjengit.

"Badannya panas banget Kek. Udah kayak air mendidih." Qila membekap mulutnya dengan tangan, saking terkejutnya.

"Ah, yang bener kamu Qil. Coba Kakek cek. Tadi nggak panas kok."

Qila memiringkan tubuhnya, memberi ruang pada kakek. Kemudian mundur selangkah.

"Astaghfirullah. Iya, panas banget. Ini mah bukan sekadar maag kambuh, tapi demam juga Qil. Soalnya tadi nggak sepanas ini." Kakek mengusap kepala Aspuri berulang kali, suaranya serak seperti tengah menahan tangis. Lantas senyum getir tercetak di bibirnya.

"Kalo sepanas ini, apalagi Kak Aspuri masih pingsan. Kondisinya pasti bakal lebih parah. Terus kita harus gimana, Kek?" Qila panik, lalu memutuskan untuk duduk di bibir ranjang samping kakek. Ia menatap gamang ke arah Aspuri yang masih enggan membuka mata.

Qila beralih menatap kakek tepat di manik mata. Ia menangkap ribuan gejolak emosi di dalam sana. Marah, sedih, takut, khawatir, kesal, dan tidak berdaya yang berbaur menjadi satu. Namun Qila tak mampu menjabarkan.

Senyap, sunyi, hening dan apapun itu yang menggambarkan keadaan saat ini. Kepala kakek tertunduk ke bawah memandangi ubin putih yang terasa dingin di kakinya, tetapi pandangannya lurus dan kosong. Kakek hanya bergeming. Qila membagi tatapannya antara Aspuri dan kakek, ia mengusap wajahnya frustrasi, setetes bulir bening berhasil lolos ke pipinya. Sungguh kalaupun bisa, ia sudi menggantikan posisi Aspuri yang dengan tenangnya terus memejamkan mata tak peduli adik dan kakeknya yang khawatir setengah mati.

Setelah berdetik-detik diam, Qila mengguncangkan bahu kakek tanpa mengusap air matanya dan membiarkan air mata itu kian menderas. "Sekarang jawab aku, Kek. Kita harus gimana? Ah atau nggak, apa yang harus Qila lakuin?"

Kakek tak kunjung menjawab, beliau tetap bergeming dengan kepala yang juga masih tertunduk. Hening kembali menguasai.

Qila sudah tak tahan, hingga sesuatu yang tak ia duga keluar dari mulutnya. "Jawab aku Kek! Qila harus ngapain?!" Qila berteriak histeris, cengkeramannya pada bahu kakek kian menguat. Ia membekap mulutnya sendiri dengan kedua telapak tangan dan mengucapkan kata maaf berulang kali dengan lirih. Seumur hidupnya, baru kali inilah ia membentak kakek. Meski dalam keadaan seperti ini, tidak sepatutnya ia membentak kakek. Entah setan dari mana yang tiba-tiba merasukinya.

Kakek akhirnya menoleh, beliau memandang Qila dengan tatapan yang sulit didefinisikan. Beliau melepas cengkeraman tangan Qila yang perlahan mengendur di bahunya. Beliau berdeham, sedikit menetralkan rasa sesaknya.

Jangan Panggil Aku Goblok! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang