[Completed]
Dengan finansial seadanya, Qila adalah sosok yang menjunjung tinggi kesederhanaan dan mampu membuat orang-orang di sekelilingnya tertipu dengan topeng yang selalu ia pamerkan, layaknya remaja kebanyakan yang hanya akan senang dengan hal...
Hari ini, kedai kopi—yang terhimpit bangunan-bangunan di sebelahnya—cukup ramai. Pramono rela repot-repot datang ke sini hanya untuk duduk di meja dekat dinding-baris ketiga dari pintu kedai-sambil menatap jalanan aspal yang tidak begitu ramai.
Asal kalian tahu, sebelum Pramono tiba di sini, dia harus rela naik bus yang penuh dengan penumpang berbau badan. Maklum, jam pulang kerja. Belum lagi macet yang melanda. Saat dia naik, dia terpaksa berdiri karena semua bangku sudah terisi. Pramono berdiri sambil memegang tsurikawa kuat-kuat karena sopirnya yang sering ngerem mendadak. Badannya terhimpit oleh orang-orang di depan, belakang, samping kanan, dan samping kirinya. Tidak menyisakan celah untuknya menghirup oksigen dalam-dalam.
"Ada kabar baru? Tentang apa?" Pramono bertanya tanpa menolehkan kepalanya barang sedikit.
"Keluarga Bapak."
"Siapa?" Pramono belum terusik, dia masih sibuk menatap jalanan.
Barista bernama Damar itu berdeham pelan agar suaranya kali ini terdengar lebih jelas di telinga Pramono. "Keluarga Bapak. Kakek Aspuri dan Qila."
Barulah setelah mendengar kalimat itu, Pramono menoleh seraya menaikkan kedua alis. "Ada sesuatu yang terjadi sama mereka?"
Damar mengambil posisi dengan duduk di hadapan Pramono. Berusaha tenang, ingin menjelaskan. "Beliau sakit, sekarang dirawat di Rumah Sakit Sumber Waras setelah apa yang terjadi tempo hari."
"Kejadian tem—"
"Oh, Bapak pasti sibuk banget sampai nggak tau berita yang sempat viral." Damar berucap sarkas. Namun nada bicaranya tidak menunjukkan hal demikian. Barista berkulit sawo matang itu merogoh saku celananya dan mengambil sepotong koran dari sana.
Pramono mengernyit, tapi Damar tidak membiarkan hal itu berlangsung lama karena dia buru-buru menjelaskan, "Bapak lihat ini, bukan yang itu, yang ini." Damar menunjukkan berita yang seharusnya diketahui oleh Pramono. "Bapak sudah tau kan kalau ini rumah sakit tempat Aspuri dirawat waktu dia pingsan karena maag-nya kambuh?" lanjutnya.
Pramono kontan mengangguk.
"Nah, beberapa hari yang lalu rumah sakitnya kebakaran."
Pramono melotot. "Yang bener kamu!"
Damar menghela napas. "Saya sudah menebak reaksi Bapak bakal begini."
Damar menyisir rambutnya yang sudah memanjang menggunakan jari tangan. "Tenang, Pak. Ini juga mau saya lanjutin. Tapi jangan dipotong-potong pas saya ngomong."
"Iya, saya siap jadi pendengar yang baik, kok."
"Intinya aja deh, gigi saya kering soalnya kalo ngomong panjang lebar. Jadi pas kejadian, Aspuri sama Kakek bisa keluar dari rumah sakit itu dengan selamat, nggak ada luka berat, cuma lengan Aspuri aja yang luka, mungkin ketiban kayu atau plafon. Nah kalo Kakek, katanya sih sempat pingsan, tapi langsung dibawa ke rumah sakit lain. Rumah Sakit Sumber Waras lebih tepatnya." Cukup sampai di situ penjelasan dari Damar. Bunyi lembut yang berasal dari lonceng pintu masuk kedai membuat Damar beranjak menuju meja pembuat kopi.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.