"Daun berguguran,
merekam setiap jengkal keadaan,
berlalu jadi kenangan,
hingga aku tetap merasa
kesepian dalam bising yang
tak pernah redam."
____
"Pada babak ini akan diajukan 10 pertanyaan secara satu persatu kepada seluruh peserta secara serentak, kemudian akan diberikan waktu 25 detik untuk menjawab satu pertanyaan, setiap peserta menjawab pertanyaannya dengan media white-board yang sudah disediakan oleh panitia. Untuk setiap jawaban benar bernilai 10, salah bernilai 0 dan kosong bernilai 0. Nanti akan dipilih 20 peserta terbaik untuk melaju ke babak berikutnya. Semuanya siap?" Panitia melontarkan peraturan lomba cerdas cermat yang akan segera dilangsungkan. Qila meremas-remas jemarinya sambil menggigiti bibir bawah merasa deg-degan. Matanya mencari sosok Wirya yang turut ikut berpartisipasi dalam lomba ini. Apakah cowok itu merasa gugup seperti dirinya? Atau... biasa saja?
"SIAP!!!" jawab seluruh peserta.
"Sekali lagi, semuanya siap?" ulang panitia, merasa jawaban seluruh peserta kurang keras.
"SIAAAP!!!" Seluruh peserta langsung menjawab dengan lebih kompak. Qila merasa tersentak, badannya langsung ia tegakkan dengan kepala menengadah melihat kerumunan siswa yang ada di depannya—karena awalnya ia hanya menundukkan kepala. Entah kenapa tiba-tiba ia merasa lesu dengan pikiran yang melayang kemana-mana. Sebetulnya, ia hanya memikirkan kondisi kakek di rumah sakit. Apakah beliau baik-baik saja? Bagaimana kalau kondisinya semakin memburuk?
Qila menggeleng, ia segera melenyapkan pikirannya yang tak karuan. Tapi bagaimana ini? Uang yang digunakan untuk operasi kakek masih jauh dari kata cukup.
"Good. Oke, kita mulai. Pertanyaan pertama, siapakah penemu Benua Amerika?"
Setelah pertanyaan pertama diucapkan, Qila bergegas menuliskan jawabannya di papan tulis kecil yang sedari tadi sudah ia genggam. Ia harus konsentrasi, fokusnya tak boleh pecah. Inilah kesempatan yang harus ia gunakan sebaik-baiknya supaya kakek bisa dioperasi.
Fokus Qila! Ini demi Kakek, semangat! ujarnya dalam hati. Seusai menuliskan jawabannya, mata Qila melirik ke satu arah dan... damn! Waktu seperti diperlambat atau bisa dikatakan slow motion saat matanya bertubrukan dengan tatapan mata Wirya—yang secara tak sengaja menoleh ke arahnya.
"Gimana? Udah selesai? Pasti udah ya.... Pertanyaan pertama mudah kok, nggak tau kalau pertanyaan berikutnya. Satu, dua, tiga, yak, angkat white-boardnya! Sekarang! Jangan ada yang pegang spidol! Kakak-kakak yang ada di samping barisan tempat duduk kalian bakal meriksa jawaban kalian satu persatu biar nggak ada yang terlewat atau kesalahan saat koreksi," kata panitia dengan nyaring, menginterupsi Qila yang masih sibuk menatap Wirya. Cewek itu mengatupkan mulutnya yang secara tak sadar sedikit terbuka.
Qila mengerjapkan mata, ia segera melakukan apa yang diperintahkan oleh panitia. Qila mengangkat white-boardnya tinggi-tinggi. Seorang perempuan berbadan kurus tinggi yang sejak tadi berdiri di ujung barisan bergegas memeriksa jawaban para peserta. Sejauh ini belum ada peserta yang tersingkirkan. Maklum, lomba baru saja dimulai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Panggil Aku Goblok!
Teen Fiction[Completed] Dengan finansial seadanya, Qila adalah sosok yang menjunjung tinggi kesederhanaan dan mampu membuat orang-orang di sekelilingnya tertipu dengan topeng yang selalu ia pamerkan, layaknya remaja kebanyakan yang hanya akan senang dengan hal...