"Jangan jadikan nafsumu sebagai majikan.
Jadikanlah ia sebagai
pembantumu."____
Siang bolong begini bukannya nongkrong di warnet atau main game seperti biasanya, Rafif justru pergi menelusuri alamat yang diberikan oleh kakaknya kemarin. Sudah satu jam lebih dia berkeliling mencari alamat itu. Namun lama sekali, tak kunjung dia temukan. Rafif seperti melewati tempat yang sama, itu-itu saja. Dia hampir menyerah, kalau saja matanya tidak menangkap seseorang yang masuk ke dalam bangunan itu. Tunggu, jadi itu adalah sebuah bangunan? Kenapa seolah bukan? Padahal dari tadi dia selalu berhenti tepat di depan situ.
Sontak saja, Rafif segera mematikan mesin dan bergegas memarkirkan vespanya di depan bangunan itu secara sembarangan arah. Rafif tampak meneliti bangunan itu terlebih dulu sebelum masuk. Dia mendongak ke atas dan menemukan tulisan yang tidak terlalu besar terukir di sana. Kedai kopi 'Lembayung', itulah tulisan yang tercetak jelas di sana.
Rafif membagi pandangannya dari tulisan di atas bangunan itu ke kertas yang ia pegang. Dia mengamati bentuk bangunan itu dari luar sekali lagi, ada juga nomor yang tertera di samping kanan tulisan tadi. Nomor 391. Rafif menurunkan pandangannya ke kertas yang ia bawa. Aha! Akhirnya setelah satu jam lebih berkutat mencari alamat yang harus ia tuju, di sinilah tempatnya.
Rafif beranjak masuk ke dalam bangunan—yang ternyata adalah kedai—itu. Begitu dia masuk, suara lembut menyapanya. Suara itu timbul dari lonceng kecil di atas pintu kedai, yang mana bila didorong dari luar akan menimbulkan suara dentingan pelan. Selain itu, sedetik kemudian, aroma semerbak harum khas kopi menggelitik indera penciumannya. Kedai ini tidak begitu besar, hanya lumayan luas jika sudah masuk ke dalamnya. Namun jika dilihat dari luar hanya tampak seperti sebidang kamar.
"Mau pesan apa, Mas?"
Satu suara berhasil membuat Rafif tersentak. Jelas bukan suara yang timbul dari lonceng, melainkan suara sesosok manusia. Rafif menoleh, mendapati barista yang sedang menatapnya hangat dan tersenyum ramah.
"Eum... maaf sebelumnya, sebenarnya saya nggak mau pesan apa-apa." Rafif berdeham, menetralkan rasa gugup ketika ingin mengutarakan niatnya. "Saya ke sini mau ketemu pemilik kedai ini." Rafif menggigit bibir, merasa bodoh.
Barista itu terkekeh melihat gerakan Rafif yang kikuk. "Hahaha... santai aja, saya nggak gigit, kok. Sini," ujar barista itu seraya melambaikan tangannya, mengisyaratkan Rafif untuk mendekat.
Rafif mendudukkan bokongnya di kursi yang tersedia di depan meja barista. Sedangkan barista itu masih setia berdiri di balik meja. Barista ini rapi. Dia memakai seragam kerja. Setelan kemeja putih panjang dan... tunggu, dia mengenakan celana jeans bukan celana hitam dasar layaknya karyawan kebanyakan. Gaya barista ini terkesan santai. Rafif bingung, dia kan mau ketemu pemilik kedai ini, kenapa malah disuruh duduk di sini? Rafif memicingkan mata kala matanya menangkap tulisan yang tertera di papan kecil yang terletak di atas meja.
"Damar Radfakhi?" Rafif mengeja huruf-huruf yang terpampang di sana.
"Ya, saya orangnya." Barista yang baru Rafif ketahui namanya itu tersenyum sembari mengulurkan tangan. "Kenalin, saya Damar Radfakhi. Biasa dipanggil Damar dan kamu harus panggil Damar."
Oh, ini yang namanya Damar. Jadi dia pemilik kedainya.
Rafif menyambut uluran tangan itu. Dia berdeham, lagi-lagi bingung harus bagaimana. "Oh oke. Saya Rafif, adiknya Kak Iqyan. Kak Iqyan bilang, Kak—ehm—Damar temannya sekaligus pemilik kedai ini. Maaf, saya baru tau kalau Kakak orangnya. Kak Iqyan cuma bilang pemilik kedai ini namanya Damar."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Panggil Aku Goblok!
Ficção Adolescente[Completed] Dengan finansial seadanya, Qila adalah sosok yang menjunjung tinggi kesederhanaan dan mampu membuat orang-orang di sekelilingnya tertipu dengan topeng yang selalu ia pamerkan, layaknya remaja kebanyakan yang hanya akan senang dengan hal...