//11//

117 25 8
                                    

Jangan merubah keputusan terbaik hanya untuk sebuah penyesalan. Karena yang telah lalu tak bisa merubah sesuatu yang akan datang.

¶¶¶

"Oke anak-anak, jadi sekian untuk hari ini. Materi berikutnya kita lanjutkan ... ehm ... hari apa, ya? Bapak lupa." Pak Haidar-nama kependekan dari Suhaidar Marwan Aditoro-tampak berpikir sembari mengusap kumisnya yang lebih tebal dari kumis Pak Raden.

Guru sejarah itu memang masih terlihat gagah, kulit eksotisnya masih kencang, rambutnya pun masih berwarna hitam, hanya saja ... cenderung kusam. Harap maklum mungkin kurang keramas, tapi yah setidaknya rambutnya belum memutih karena usia. Namun sayang seribu sayang kapasitas ingatannya sudah berkurang, bisa dikatakan pikun. Entah disebabkan oleh faktor apa.

Mungkin karena beliau seorang guru sejarah? Yang mana harus banyak mengingat peristiwa penting di masa lampau. Di luar profesinya sebagai guru sejarah perlu ditegaskan bahwa usianya kurang dari empat puluh lima tahun. Pertanda seharusnya hingga kini ingatannya masih berjalan normal.

Para siswa-siswi kompak menampilkan ekspresi yang berbeda. Ada yang biasa-biasa saja alias datar karena sudah terbiasa dengan kepikunan yang melanda Pak Haidar sebelum waktunya, ada yang menatap malas, ada yang sibuk berdecak, ada yang saling berpandangan dengan kawan semeja, ada yang mengusap dagu ikut berpikir, ada yang mendengus, menghela napas jengah, dan beragam ekspresi lainnya yang masih tersisa.

Pandangan Wirya menyapu sepenjuru kelas. Teman-temannya tak kunjung memberi jawaban atas pertanyaan Pak Haidar yang telah beliau lontarkan dua menit lalu. Wirya berdecak keras, semakin lama guru itu berada di sini, semakin lama pula jam pelajaran berakhir. Akhirnya Wirya memutuskan untuk menjawab, hanya karena ingin menyudahi jam pelajaran. "Hari kamis, Pak!"

Kemudian senyum licik tercetak di bibir Wirya, tentu saja pelajaran sejarah tidak benar-benar berlangsung pada hari kamis, Wirya tidak bisa memastikan karena ia juga lupa. Namun apa yang dikatakan Pak Haidar berikutnya membuat Wirya tercengang.

"Ah ya! Hari kamis! Wah, dari tiga puluh dua siswa ternyata cuma Wirya yang masih waras otaknya," kata beliau hampir bersamaan dengan bel tanda istirahat yang berbunyi.

Haha dasar pikun, bagus deh. Surganya sekolah aku datang! Wirya bergumam riang dalam hati.

Seluruh penghuni kelas langsung berhambur keluar, kecuali Pak Haidar yang tidak diizinkan keluar terlebih dahulu, beliau melotot geram menyaksikan betapa kurang ajar murid-muridnya. Wirya juga ikut mengabaikan Pak Haidar dan langsung melesat pergi menuju kantin. Cacing di perutnya sudah meronta menagih jatah makan.

***

Aspuri terlihat gelisah di tempatnya sekarang. Kini ia berada di depan ruang kepala sekolah, mondar-mandir layaknya setrika. Koridor ramai karena ini sudah memasuki jam istirahat. Beberapa siswa yang lalu-lalang memandanginya heran. Namun hal itu hanya Aspuri balas dengan lirikan tajam.

Sesuai dengan apa yang tertera dalam surat undangan panggilan orang tua atau wali murid yang diberikan oleh kepala sekolah kemarin, hari ini kakek diwajibkan datang ke sekolahnya. Itulah penyebab mengapa Aspuri menjadi gelisah seperti sekarang. Aspuri takut kakeknya tidak akan hadir menyanggupi undangan itu.

Kegelisahannya akan semakin bertambah kalau saja Aspuri tidak menangkap seraut wajah yang sangat ia kenali. Di ujung koridor kakek tampak bingung mencari keberadaan ruang kepala sekolah dan juga Aspuri tentunya. Kala kepala kakek memutar ke satu arah tepatnya ke arah Aspuri, dengan gerakan refleks Aspuri melambaikan tangan supaya kakek melihatnya. Dan benar saja, kakek langsung sumringah di tempatnya berdiri. Lalu kakek segera menghampiri Aspuri.

Jangan Panggil Aku Goblok! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang