Aspuri tergugu di tempatnya. Ia tak salah dengar kan? Aspuri menggelengkan kepalanya kuat-kuat, mencoba mengusir suara itu, suara yang bergema di tempurung kepalanya. Namun usahanya gagal, sia-sia saja ia melakukan itu.
Orang asing berpakaian serba hitam itu meneliti Aspuri cukup lama. Tak pelak membuat bulu kuduk Aspuri meremang. Ditatap dengan pandangan menyelidik dari orang asing, apalagi berpakaian serba hitam. Ditambah lagi hanya matanya serta punggung tangannya saja yang terlihat, wajar membuatnya takut dan cemas. Bila dipandang dari tatapan matanya, orang ini bukanlah orang yang berkepribadian ramah. Tetapi bila ditilik dari sikapnya, orang ini jelas memenuhi kriteria sebagai orang yang memiliki kepribadian ramah.
"Sudah lama sekali kita tidak bertemu," gumam orang itu dengan mata menyipit, yang Aspuri duga kuat berasal dari lengkungan bibirnya.
"Ka-kamu siapa?" Aspuri menelan ludahnya susah payah. Sulit sekali rasanya menuturkan pertanyaan itu. Lantas, Aspuri bangun dari posisi berbaring. Ia duduk, meringis pelan. Bukan karena kepalanya pusing, namun karena dirinya perlu merasa waspada terhadap orang serba hitam itu.
Orang itu tak menjawab, ia malah berjalan perlahan mendekati brankar Aspuri. Kontan, Aspuri melotot. Matanya seperti ingin keluar dari tempatnya. "Ke-kenapa? Ma-mau ngapain?!" Aspuri mulai histeris, ia mencengkeram selimutnya erat-erat.
"Kamu beneran nggak ingat sama saya?" Orang itu terkekeh pelan. "Padahal saya adalah orang yang bertanggung jawab atas hidup kamu."
Kening Aspuri berlipat dalam, ia berpikir keras mencoba mengorek kembali ingatannya tentang orang serba hitam ini. Namun nihil, tak ada sebersit pun kenangan melintas di ingatannya akan orang serba hitam ini.
Orang itu melangkah lebih dekat. Refleks, Aspuri memundurkan tubuhnya ke belakang. Lantas, orang serba hitam itu mensejajarkan wajahnya dengan wajah Aspuri. Kemudian berkata,
"Sekali lagi, saya adalah orang yang paling bertanggung jawab atas hidup kamu."
***
"Iya, nanti saya omongin. Makasih, Pak!" seru Qila bersemangat. Ia melapor kepada kepala sekolah bahwa kakaknya masih butuh istirahat di rumah sakit, sehingga hukuman membersihkan perpustakaan yang diberikan oleh kepala sekolah ditunda sejenak. Kepala sekolah tidak merasa keberatan, begitupun dengan guru-guru lain.
"Oke, bagus kalo gitu." Kepala sekolah mengangguk, lalu tersenyum. Beliau sempat menanyakan kabar Aspuri, yang dijawab Qila dengan mengatakan bahwa keadaan Aspuri sudah jauh lebih baik dari keadaan sebelumnya yang terakhir kali beliau lihat. Namun masih tetap membutuhkan waktu untuk pemulihan. Tentu saja kepala sekolah memakluminya. Hal itu sudah lazim dilakukan apabila kesehatan seseorang terganggu.
"Yaudah, itu aja Pak yang mau saya sampein. Saya permisi, Pak. Mau balik ke kelas," tutur Qila seraya menyunggingkan senyum, disambut dengan anggukan oleh kepala sekolah. Lantas balik kanan, beranjak pergi meninggalkan ruang kepala sekolah.
Koridor lengang karena sebagian besar siswa maupun siswi sedang berada di kelas, mengikuti kegiatan belajar mengajar. Hanya segelintir siswa-siswi yang berlalu-lalang, entah karena apa. Mungkin mereka ingin mengambil alat-alat kebersihan, alat tulis, membeli sesuatu, atau ingin buang hajat.
Koridor sepi, namun berbeda dengan lapangan. Siang ini lapangan digunakan oleh anak-anak kelas X IPS 3 yang memang memiliki jadwal pelajaran pendidikan jasmani atau yang sering kita sebut olahraga pada siang hari ini. Padahal olahraga di siang hari tidak menghasilkan apa-apa. Yang ada tubuh malah menjadi kurang fit dan risiko kulit menghitam terbakar sinar matahari siap diterima. Apalagi untuk anak-anak cewek, kulit menghitam itu sudah menjadi sebuah momok terbesar yang harus mereka hadapi, selain masalah kulit lainnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Panggil Aku Goblok!
Teen Fiction[Completed] Dengan finansial seadanya, Qila adalah sosok yang menjunjung tinggi kesederhanaan dan mampu membuat orang-orang di sekelilingnya tertipu dengan topeng yang selalu ia pamerkan, layaknya remaja kebanyakan yang hanya akan senang dengan hal...