BAB 11

23.3K 1.3K 201
                                    

WARN: NO DRAMA.

NEXT PART? VOTE & COMMENT UP YA 😋

"Bagaimana, Dokter?"  Samar-samar, Putri Harmony mendengar suara seseorang yang belakangan tidak ingin didengarnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Bagaimana, Dokter?"

Samar-samar, Putri Harmony mendengar suara seseorang yang belakangan tidak ingin didengarnya. Ia pun mendengar suara asing seorang pria serta bunyi benturan benda yang bertemu dengan meja. Putri Harmony mengerjapkan matanya, bertemu pandang dengan langit-langit kamar, lalu memejamkan matanya kembali ketika merasakan pusing yang tiba-tiba menyerangnya.

Ia ingat terakhir kali meminum susu buatan Bibi Latifa sebelum kemudian jatuh tertidur tanpa mengonsumsi makanan apapun.

"Harmony, buka matamu. Aku tahu kau sudah bangun," ujar Pangeran Silas dingin yang berhasil membuat Sang Putri langsung membuka matanya.

"Berikan nasehat itu padanya, Dokter," perintah Pangeran Silas.

"Bagaimana perasaan Anda, My Lady?" Dokter Murray—salah seorang dokter terbaik di Beverly Hills membuka percakapan dengan bertanya sopan sembari tersenyum ramah.

Putri Harmony menatap dokter tua tersebut dengan dahi berkerut.

"Jawab, Harmony," desak Pangeran Silas.

"Perutku sakit," keluh Putri Harmony.

Pangeran Silas tersenyum mencemooh, sebaliknya Dokter Murray mengangguk paham.

"Itu adalah efek dari maag, My Lady. Anda seharusnya tidak melewatkan jam makan Anda," jelas Dokter Murray singkat.

Putri Harmony mencuri pandang ke arah Pangeran Silas yang berdiri di samping tempat tidurnya dengan tatapan mata penuh peringatan padanya. Pria itu berdiri seperti biasa—melipat kedua tangan di depan dada, tampak gelap dan berkuasa secara bersamaan.

"Tetapi Anda tidak perlu khawatir. Saya akan meresepkan obat maag untuk Anda. Saya juga mau mengingatkan agar Anda mengisi perut Anda segera sebab obat yang akan saya berikan sangat keras. Anda harus meminumnya setelah anda makan sesuatu," lanjut Dokter Murray, menyadari atmosfer suasana yang terasa aneh baginya.

"Saya membawa buah apel merah segar dan sup ayam. Saya sangat khawatir menemukan Anda demam, My Lady. Syukurlah sekarang Anda baik-baik saja." Bibi Latifa  memasuki kamar dengan nampan berisi semangkuk sup, sebutir apel juga segelas air putih hangat.

Melihat Bibi Latifa melangkah menghampiri Putri Harmony dengan senyum cerahnya, Dokter Murray memilih untuk mundur, berbicara pada Pangeran Silas sebentar untuk kemudian kedua pria tersebut berjalan keluar kamar setelah sebelumnya Pangeran Silas melempar tatapan penuh peringatan sekali lagi agar Putri Harmony tidak menolak makan.

"Nah, My Lady, mana yang akan Anda makan terlebih dahulu? Apakah itu sup? Supnya masih hangat, baru saya masak dengan kaldu ayam. Saya akan menyuapkannya untuk Anda." Bibi Latifa merayu lembut dengan senyum ceria.

Sup ayam tersebut tampak lezat di mata Putri Harmony, apalagi perut kosongnya meminta untuk diisi. Belum lagi kaldu ayam merupakan salah satu jenis penyedap rasa yang tidak bisa ia hindari. Akan tetapi, Putri Harmony tetap menolak suapan Bibi Latifa.

Pangeran sialan itu tidak bisa mendapatkan apa yang dia inginkan hanya dengan tatapan penuh peringatan itu.

"My Lady?" Senyum Bibi Latifa yang lebar seketika memudar.

"Tidak, Bibi. Aku tidak mau makan," tolak Putri Harmony halus.

Bibi Latifa menarik napasnya pelan, tidak menyerah untuk membuat nyonyanya mengonsumsi sesuatu.

"Anda harus makan demi kesehatan Anda, My Lady. Apapun masalah yang sedang Anda hadapi saat ini, bukan berarti Anda harus menyiksa diri Anda dengan menyakiti diri sendiri. Anda harus menghadapinya, Putri, tidak lari dengan cara seperti ini," nasehat Bibi Latifa halus.

"Saya mohon, My Lady, makanlah demi kesehatan Anda." Bibi Latifa pantang menyerah untuk menyodorkan suapan pada Putri Harmony.

Putri Harmony tentu merasa tersentuh sekaligus bersalah dengan permohonan Bibi Latifa tersebut. Bibi Latifa baru mengenalnya beberapa hari, tetapi perempuan tua ini sangat peduli padanya. Ia ingin menurut, namun egonya untuk melawan Pangeran Silas lebih besar.

"Tidak, Bibi," tolak Putri Harmony lagi, mendorong menjauh sendok yang disodorkan padanya.

"Apakah kau menolak makan lagi, Harmony?" Suara tajam penuh intimidasi itu muncul dari ambang pintu.

Putri Harmony dan Bibi Latifa seketika menolehkan kepala mereka pada pintu. Menemukan Pangeran Silas dengan ekspresi wajah yang siap mengeluarkan amarah.

Menyadari suasana yang tegang, Bibi Latifa berusaha untuk mengambil alih. "Yang Mulia...."

"Aku ingin berbicara dengan istriku." Pangeran Silas membuat Bibi Latifa tidak dapat melanjutkan ucapannya. Ia tidak menatap Bibi Latifa sedikit pun. Tatapannya lurus ke arah Putri Harmony yang kini sedang membuang wajahnya.

"Apa Bibi bisa meninggalkan kami?" pinta Pangeran Silas tegas, kali ini dengan menatap Bibi Latifa.

Pada awalnya, Bibi Latifa enggan untuk meninggalkan ruangan tersebut, apalagi menyadari situasi yang tidak baik di sana. Ia sepenuhnya paham ada yang tidak beres antara Pangeran Silas dengan Putri Harmony. Akan tetapi, mendapatkan tatapan menunggu dari Pangeran Silas, Bibi Latifa akhirnya memilih untuk membiarkan pasangan suami-istri tersebut berdiskusi dengan pamit undur diri.

"Aku masih punya sedikit kesabaran untukmu." Pangeran Silas berseru tajam setelah Bibi Latifa meninggalkan kamar. Ia tetap berdiri tenang di tempatnya, menyelipkan kedua tangan ke dalam saku tanpa berniat mendekati Putri Harmony.

"Harmony, lihat aku," perintah Pangeran Silas.

Putri Harmony menoleh, mengangkat dagunya dan bersikap menantang Pangeran Silas.

"Aku hanya punya dua pilihan untukmu; makan makananmu sekarang atau aku yang akan bergerak dan memaksamu makan dengan cara yang tentunya tidak akan kau suka," ancam Pangeran Silas.

Putri Harmony tetap bersikap keras kepala.

"Aku tidak mau makan!" serunya keras.

Mata Pangeran Silas menggelap. Tidak senang mendengar teriakan itu.

"Katakan padaku apa yang kau mau?" ujar Pangeran Silas dingin.

"Apakah kau mau aku mengembalikan keperawananmu, Tuan Putri Yang Terhormat?" Senyum ironi tercetak di bibir Pangeran Silas.

Siapa yang menyangka jika putri dari Kerajaan Florentine ini benar-benar mematuhi aturan kuno kerajaan? Pangeran Silas bahkan tahu jika sepupunya—Putri Harvey—yang menjabat sebagai pewaris takhta urutan keenam Kerajaan Wealthbridge telah melepas keperawanannya secara diam-diam untuk kekasihnya tanpa diketahui pihak kerajaan.

Oh, jangan lupakan jika Pangeran Silas bahkan sudah melepas keperjakaannya di usia enam belas tahun tanpa peduli aturan kuno sialan tersebut.

Dan apakah kalian pikir Pangeran Magnus seorang perjaka? Pangeran Silas akan tertawa terbahak-bahak jika kakaknya yang sok menjunjung martabat itu memang benar adalah perjaka.

Mendengar pertanyaan vulgar Pangeran Silas, kedua pipi Putri Harmony memerah, entah karena malu atau marah. Yang jelas Putri Harmony sangat bernapsu untuk melempar semua isi makanan di atas nampan ke wajah pangeran sialan itu.

"Pergi, Silas," ucap Putri Harmony sambil membuang wajahnya lagi.

"Aku akan pergi." Pangeran Silas mengangguk patuh. "Setelah kau makan makananmu tentu saja," sambungnya ringan.

Putri Harmony menghela napasnya, terpaksa menuruti keinginan pangeran itu demi kenyamanan dan ketenangan hidupnya.

"Aku akan memakan makananku," ujarnya melunak. "Kau boleh pergi dari sini," lanjutnya, menolehkan kepalanya pada Pangeran Silas.

"Alright." Pangeran Silas mengangkat kedua bahunya acuh. "Sepuluh menit, Harmony. Ketika aku kembali, aku harus melihat makanan itu habis atau kau tahu sendiri akibatnya."

"Satu lagi...." Pangeran Silas masih bertahan di tempat dengan menampilkan senyum miring. "Aku tidak akan keberatan untuk menyuapkanmu dengan mulutku."

The Secrets of Prince Silas (WealthBridge Kingdom Series #1) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang