"Shin Nayoung?"
Kepala Nayoung bergerak cepat mencari asal suara yang memanggilnya. Kedua sudut bibirnya lantas terangkat dengan kedua matanya yang membulat tak percaya. Lee Jeno, teman SMA-nya, kini tengah melambaikan tangan padanya.
Pria dengan celana jeans dan jaket jeans itu mendekati Nayoung yang masih terdiam menyimpan kebahagiaannya. "Hey, lama tidak bertemu, Kawan!" ucapnya seraya menepuk pundak Nayoung.
Gadis itu hanya tertawa seraya menutupi wajahnya yang terlihat begitu bahagia. Setelah sekian lama Jeno meninggalkan Korea untuk melanjutkan studi di Hongkong, pria itu kembali masih dengan gayanya yang tak pernah berubah. Setelan jeans dan mata yang menyipit sempurna kala tersenyum.
"Kenapa kau begitu kaget? Apa aku semakin tampan?" tanya Jeno masih dengan senyum lebarnya. Lantas pria itu mengambil alih trolley milik Nayoung ke antrian kasir.
Bibir Nayoung menjebik. Hanya sesaat sebelum kembali tergantikan dengan senyum sumringahnya. "Aku hanya tak percaya kau masih terlihat sama seperti terakhir kita bertemu. Seperti bocah," guraunya.
Jeno memicingkan mata kecilnya mendengar tawa lebar Nayoung. "Kau bilang apa barusan? Apa ini caramu menyambut sahabatmu yang baru pulang dari luar negeri? Tanpa menjemput, tanpa menyambut, kau justru mengataiku," keluhnya dengan wajah kesalnya. Namun, sama sekali tak menyembunyikan wajah bahagianya.
"Hey! Itu bukan salahku. Kau tak memberiku kabar apapun tentang kepulanganmu. Aku bahkan sempat yakin kau sudah memiliki 13 anak saat ini." Seraya tertawa, Nayoung mendorong punggung Jeno ketika antrian di depan mereka telah selesai melakukan pembayaran.
"Aku seketika menyesal bertemu lagi dengamu."
Setelah menyingkirkan tubuh jangkung Jeno dari hadapannya, Nayoung bergerak untuk mengeluarkan barang belanjaannya. "Lalu, untuk apa kau ke supermarket tanpa membeli apapun?" Ia menatap sekilas Jeno yang tampak tak membawa apapun.
Pundak Jeno terangkat kemudian turut membantu Nayoung mengeluarkan barang belanjaan. "Aku lihat lokasimu di akun sns-mu. Ya, setidaknya aku masih ingat mempunyai teman bodoh sepertimu," ucapnya disertai tawa.
Sebuah pukulan ringan mendarat di punggung lebar Jeno. "Jangan bilang aku bodoh!" Hampir saja daging kaleng di tangannya melayang ke kepala Jeno jika pria itu tidak segera mengantisipasinya dengan menutupi kepalanya.
"Buktinya kau tidak lulus tes masuk perguruan tinggi yang sama denganku." Pria itu menjulurkan lidahnya.
Nampaknya Nayoung telah malas menanggapi pria tersebut sehingga memutar bola matanya asal. "Itu karena aku ingin kuliah di Seoul."
Jeno menangguk. Tak ingin berdebat lebih lanjut dengan Nayoung yang membuat pengunjung supermarket menatap keduanya. Ia meneruskan mengeluarkan sayuran dari trolley.
"Lantas, kau sendiri mengapa membeli barang-barang sebanyak ini? Jangan-jangan kau sudah berkeluarga? Ini untuk keperluan bulanan?" Jeno mendorong trolley kosong ke sampingnya agar Nayoung dapat tempat untuk membayar belanjaannya.
Seketika Nayoung merasakan tubuhnya menegang mendengar pertanyaan Jeno barusan. Ia berdeham sekali sebelum kemudian menjawab, "Tidak. Aku belum berkeluarga." Dengan gerakan kaku, ia menyerahkan beberapa lembar uang sebelum kemudian menghela napas panjang. "Ya, jujur saja aku sempat berkeluarga dengan pria yang lebih tua 7 tahun dariku."
"7 tahun? Woah, kau menikahi paman-paman?" Kedua mata Jeno membulat mendengar penjelasan Nayoung. Tanpa disuruh, pria itu dengan senang hati mengangkat dua kantung belanjaan yang cukup berat itu.
Setelah menyelesaikan pembayaran, Nayoung mengikuti langkah lebar Jeno. "Ini perjodohan," ujarnya, membuat Jeno menoleh penasaran kepadanya. Jeno adalah sahabatnya. Ia pikir, tak apa membagi cerita tersebut pada Lee Jeno.
"Perusahaannya hampir bangkrut dan pernikahan kami atas dasar perjodohan. Ayah ingin membantu finansial perusahaan mantan suamiku. Dan setelah perusahaannya telah kembali stabil, kami memutuskan untuk berpisah. Untuk apa melanjutkan pernikahan yang bahkan tak kami inginkan?"
Keduanya kini telah menembus hawa dingin di luar supermarket. Membuat rambut terurai Nayoung berkibar bebas. Semakin menampilkan raut sesalnya.
Melihat itu, Jeno tersenyum lebar seraya merunduk menyamai tinggi badan Nayoung. "Hey, pendek, kau mau brownies? Aku yang traktir," ucapnya dengan nada cerianya dan diakhiri dengan kedua matanya yang menyipit.
Nayoung tertawa kecil kemudian mengangguk kencang. Sudah lama ia tak merasakan sosok Lee Jeno yang selalu menenangkannya ketika ia berada dalam masalah. Dengan mantap, ia merangkul lengan Jeno dan berjalan beriringan.
***
Jinyoung berlalu lalang di depan pintu rumah dengan perasaan kesal. Kedua tangannya mengepal kuat-kuat. Bahkan ponsel yang berada di tangan kanannya bisa saja remuk jika ia menguatkan kepalannya sedikit lagi.
Nayoung, gadis yang sudah berjanji akan segera pulang setelah berbelanja tak ada di rumah. Gadis itu justru tengah menikmati pertemuannya dengan teman SMA-nya. Dengan alasan lupa, gadis itu berusaha menenangkan amarahnya di sambungan telepon. Namun, entah apa yang membuat emosinya tak mau mereda dan semakin memuncak saat gadis itu tak kunjung tiba di rumah.
Suara motor yang berhenti di depan pagar rumahnya membuat Jinyoung menghentikan langkahnya. Ia menaruh perhatian penuh pada gadis yang kini tengah membuka gerbang serta mempersilahkan seorang pria asing masuk dengan kantung belanjaan di kedua tangannya.
Jinyoung melipat tangannya di depan dada dengan mata penuh intimidasi. "Sudah jam berapa sekarang?" tanyanya dengan nada dingin ketika Nayoung dan Jeno sudah berada di hadapannya.
"Ah, maafkan aku, Jinyoung. Sudah aku katakan aku lupa-"
"Sudahlah," potongnya kemudian mengalihkan pandangannya pada Jeno yang juga menatapnya datar. Dari wajah dan gaya berpakaiannya, Jinyoung sudah dapat menebak Jeno berusia jauh di bawahnya. "Jadi kau teman SMA Nayoung?"
Jeno yang sudah tahu tentang bagaimana Nayoung dapat berhubungan lagi dengan mantan suaminya itu hanya tersenyum kecut pada Jinyoung. "Ya, namaku Lee Jeno. Kau mantan suami Nayoung, 'kan?" Dengan cepat ia mempermanis senyumnya saat Nayoung tiba-tiba meliriknya.
Tanpa menjawab, Jinyoung mengambil alih kantung belanjaan dari tangan Jeno dengan paksa. Lantas, ia masuk seraya berkata ketus, "Cepat bersiap. Hari sudah mulai gelap."
Gadis itu mendengus kemudian beralih pada Jeno yang sedari tadi memperhatikannya. "Maafkan dia, ya. Dia memang sedikit dingin. Tidak, dia sangat dingin dan pemarah," jelasnya dengan wajah menyesal.
Dengan senyuman yang masih terukir di wajahnya, Jeno menggeleng kuat. "Tak apa. Masuk lah. Aku harus membereskan barang-barangku di apartemen. Jangan lupa mampir ke apartemenku jika kau ada waktu." Pria itu mengacak puncak kepala Nayoung dengan gemas.
Melihat kerutan di hidung Jeno ketika pria itu tertawa membuat Nayoung ikut tertawa. Sungguh, ia merindukan sosok Jeno yang begitu membuatnya nyaman. Membuatnya juga semakin rindu pada ayahnya.
"Kalau begitu, aku masuk," ucapnya dengan nada riangnya seraya berlari masuk. Tak lupa, ketika hendak menutup pintu, ia melambaikan tangannya pada Jeno yang masih menunggunya.
Jeno membalas lambaian Nayoung dengan senang hati. Bagaimana bisa di usia Nayoung yang sudah dewasa itu ia masih menganggap Nayoung tidak berubah. Masih menggemaskan dan membuatnya selalu tertawa bahagia?
Setelah pintu tersebut tertutup, tangannya terjatuh ke samping tubuhnya. Senyumnya juga seketika luntur. "Kau terlihat tak bahagia ketika bercerita tentangnya. Andai aku lebih cepat menyelesaikan studiku, mungkin kau sudah bahagia bersamaku, Shin Nayoung."
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
FOR GOOD - Park Jinyoung ✔
Fanfiction[Finished-Bahasa Baku] Tiga tahun yang lalu, kita pernah menjalin hubungan pernikahan tanpa ada dasar cinta. Tidak ada hal manis yang pernah terjadi selama itu. Hanya kehidupan biasa seolah kita tidak pernah saling mengenal meskipun kita berada di...