4

3.7K 302 3
                                    

Sementara tangannya menata barang-barang pribadinya di meja rias, Nayoung terus saja menghela napas panjang. Entah mengapa semenjak kejadian di meja makan tadi, ia semakin memikirkan adegan ciuman yang bisa dikategorikan kecelakaan itu.

Biar Nayoung ingat. Semalam adalah ciuman kedua Jinyoung padanya setelah pertama kali mereka berciuman di depan altar. Namun, kali ini Nayoung merasa lebih resah dari pengalaman mereka. Mungkin karena mereka sejatinya tidak lagi memiliki hubungan apapun selain majikan dan pelayan.

"Kau belum selesai berbenah?"

Alarm di tangannya hampir terjatuh dari pegangannya. Suara berat di belakangnya mau tak mau membuatnya memalingkan wajah ke belakang. Menatap wajah datar Jinyoung yang tengah memperhatikan kegiatannya membuat pipinya memanas.

Pada akhirnya, ia mengurungkan diri untuk kembali berbenah lantas bangkit berdiri, menghadap Jinyoung dengan mati-matian menahan diri untuk tidak bertingkah aneh di depan Jinyoung. Ya, walaupun ia mengerti pria yang tengah menyimpan kedua tangannya di saku itu dapat melihat rona merah di pipinya.

"Apa nanti kau akan ke klub lagi?"

Shit. Nayoung menyesalkan suaranya yang mendadak sumbang dan bergetar. Salahkan jantungnya yang tak berniat untuk berhenti berdegup.

Alis Jinyoung terangkat. "Aku pemilik klub tersebut. Aku harus selalu memantau dan sigap ketika ada komplain dari pelanggan," jawabnya tanpa mengganti sikapnya berdiri. "Kenapa?"

Nayoung mengerjapkan mata beberapa kali menyadari nada bicara Jinyoung yang sama datarnya dengan wajah–yang sialnya–tampan itu.

"Ah, Jeno memintaku untuk membantunya menata ruangan. Dia kesulitan menempatkan benda-bendanya di apartemen barunya," ujarnya lebih santai dari sebelumnya.

Mendengarnya, Jinyoung berdecih. Kardus-kardus berisi barang-barang Nayoung mendapat tatapan tajam darinya. Dagunya menunjuk kardus-kardus tersebut. "Kau saja belum selesai berbenah."

"Aku hanya perlu memindahkan beberapa potong pakaian ke lemari itu lalu selesai."

Tatapan tak suka menjadi variasi tatapan Jinyoung pagi ini. Melihat bagaimana Nayoung bersikukuh agar dirinya mengijinkannya membuat alisnya berkerut. "Apa dia tidak bisa melakukannya sendiri?" gumamnya.

"Tidak," sahut Nayoung cepat, membuat Jinyoung sempat tersentak karenanya. Namun, Jinyoung justru menggeleng tegas seraya mengalihkan pandangannya.

"Aku tidak akan pulang malam."

Lagi-lagi, Jinyoung menggeleng. Kali ini lebih tegas.

Nayoung mendesah panjang. "Aku akan ada di rumah sebelum kau pulang," pintanya.

Kali ini, Jinyoung menatap malas ke arah Nayoung yang kini terlihat mengemis itu. Matanya memicing beberapa lama sebelum akhirnya menghela napas berat. "Apa kau akan menurutiku jika aku bilang tidak?" Kini suaranya sedikit meninggi di antara geraman.

Shin Nayoung menunduk seraya mengeluh. Bagaimana bisa ia merasa Jinyoung sangat bersikeras melarang dirinya bertemu dengan pria padahal sendirinya Jinyoung bukan lah siapa-siapanya?

Jinyoung meninggalkan Nayoung yang masih merasa tak terima itu. "Aku tidak akan pernah mengampunimu jika kau benar-benar melanggarnya," ujarnya tanpa peduli gadis itu mungkin merasa marah padanya. "Jika kau merasa tak terima, kau boleh pergi dari rumahku."




















***





















Lee Jeno menatap ponselnya dengan senyum yang terukir lebar di wajahnya. Walau hanya menatap nama Nayoung yang tertera di layar ponselnya sudah membuatnya begitu bersemangat. Dengan gerakan cepat, ia menerima panggilan masuk dari Nayoung.

FOR GOOD - Park Jinyoung ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang