38. Problems

1.6K 140 0
                                    

Jaerin menyambut kedatangan Jeno dan Nayoung di rumah tokonya dengan sumringah sekaligus kebingungan. Semalam Jeno menelpon Taeyong untuk menyiapkan satu pasang pakaian formal untuk Nayoung tanpa menjelaskan alasan di baliknya.

Gadis dengan celemek yang masih melekat di pinggangnya itu memeluk Nayoung sesaat. "Aku sudah menyiapkan bajunya di atas. Di atas sofa ruang televisi," ujarnya setelah melepaskan pelukannya pada Nayoung yang menurutnya lebih terlihat kurus dari yang pertama ia lihat.

Jeno tersenyum hangat pada Nayoung yang menatapnya. Ia menepuk punggung sang gadis pelan seraya menunjuk tangga naik di belakang etalase roti. "Nayoung, sebaiknya kau berganti pakaian dulu."

Yang disuruh itu hanya mengangguk kecil. "Baiklah."

Baik Jaerin maupun Jeno menatap kepergian Nayoung. Seolah gadis itu bisa saja pingsan sewaktu-waktu.

"Ada apa, Jeno?" tanya Jaerin kemudian setelah Nayoung menghilang ke lantai atas. Ia menuntun adik iparnya itu duduk di meja kecil di antara pengunjung toko rotinya.

Jeno meringis seraya menggaruk tengkuknya. "Aku dan Nayoung akan ke rumah Ayah siang ini," jawabnya dengan sedikit kikuk.

Tawa Jaerin tak dapat terbendung mendapati wajah Jeno yang mulai memerah. Hey, kapan lagi ia bisa melihat sosok Jeno yang sedikit cuek padanya itu memerah hanya karena seorang gadis? "Kalian berpacaran?"

Wajah Jeno berubah secara drastis. Ia tersenyum patetik kemudian menatap ke arah tangga, tempat di mana ia terakhir melihat Nayoung. "Kami akan menikah, Noona. Secepatnya," ucapnya pelan.

Jaerin menepuk lengan Jeno yang menjadi diam saja. "Kenapa buru-buru? Maksudku, bukan kah dia dulu bersama pria beralis tebal itu?"

"Nayoung hamil, Noona."

"Apa?" Ia menutup mulutnya yang baru saja mengundang perhatian pengunjung tokonya. Matanya membulat menatap wajah Jeno yang kelewat serius itu. "Apa kau bilang? J-jeno," cicitnya.

Jeno menunduk dalam menyembunyikan wajahnya dari tatapan Jaerin yang penuh rasa kecewa itu. "Maafkan aku, Noona. Ini di luar kendaliku. Oleh karena itu, aku harus secepatnya menikahinya, 'kan?"

Entah mengapa, ia merasa jika ia berbohong semuanya ini akan berjalan lebih mudah.

Sekarang Jaerin mengerti alasan Nayoung menjadi begitu kaku hari ini. Ia mengurut pangkal hidungnya. "Aku sangat senang dengan rasa tanggung jawabmu. Namun, aku juga kecewa, Jeno. Kenapa kau membuat Nayoung seperti ini?"

Pria bermata sayu itu menatap tegas Jaerin yang sudah kelewat kecewa itu. "Ini salahku, Noona. Aku akan mempertanggungjawabkannya," ujarnya dengan penuh keyakinan.

"Apa Taeyong tahu?"

Pertanyaan itu membuat Jeno terdiam sesaat. Benar, ia sama sekali tidak berpikir untuk memberitahu masalah ini terlebih dahulu pada Taeyong. Ia menggaruk belakang telinganya sedikit gusar. "Aku akan memberitahunya di pertemuan keluarga nanti. Noona pergi juga, 'kan?"

Masalahnya, sesabar-sabarnya Taeyong, pria itu adalah tipikal orang yang akan melampiaskan amarahnya dengan kekerasan.

Jaerin meringis. Tentu saja ia tahu apa yang membuat Jeno semakin terlihat gusar itu. "Tentu saja. Jika nanti ada kesulitan, aku akan membantumu," ucapnya seraya menggenggam tangan kanan Jeno yang tergeletak lemah di atas meja.

"Terima kasih, Noona."



































***





























Langkah Jinyoung sedikit terseret ketika pria itu berjalan ke ruangannya setelah menghabiskan waktu jam makan siangnya di kantin kantor. Semenjak Nayoung pergi dari rumah, ia tidak pernah lagi membawa bekal makan siang. Jujur, ia sangat merindukan bekal buatan Nayoung.

Sial, ia kembali teringat tentang Jeno. Apa yang pria itu lakukan dengan Nayoung? Maksudnya, tidak mungkin, 'kan, Nayoung yang terbuka dengan sahabatnya itu tidak memberitahukan Jeno masalah kehamilannya? Mungkin saja Jeno akan menolak Nayoung begitu saja sepertinya?

Bagaimana jika Jeno membuat Nayoung kembali teringat akan keinginannya bunuh diri? Membayangkannya saja ia sudah berang.

Matanya lantas bersinar ketika di hadapannya Yugyeom terlihat baru saja keluar dari ruang fotokopi. "Sekretaris Kim!" serunya tanpa menghiraukan lagi pegawainya yang terkejut karena suaranya yang menggelegar.

Dan tentu saja hal itu beraku bagi Yugyeom. Pria itu hampir saja melemparkan tumpukan kertas di tangannya jika saja ia tak buru buru mendekapnya erat. Dengan sedikit kesal, ia berbalik menghadap Jinyoung yang terburu-buru mendekatinya. "Ya, Direktur Park?"

"Apa kau masih memiliki salinan berkas Lee Jeno?"

Hampir saja rahang Yugyeom jatuh begitu saja. Hal sesepele itu, mengapa Jinyoung terlihat begitu bersemangat? "Tidak. Editor Lee membawa semua berkasnya kembali termasuk salinannya setelah proyeknya bersama Profesor Yuan selesai," jawabnya dengan menahan seluruh emosi yang sudah naik ke ubun-ubunnya.

Lagi pula Jinyoung kini adalah atasannya. Tak mungkin ia memukul keras belakang kepala Jinyoung untuk membalas tindakan semena-menanya. Atau mungkin Jinyoung akan–

"Sial!"

–mengumpat.

Yugyeom menghela napas panjang. Jika sudah seperti ini, satu-satunya yang bisa ia lakukan adalah bertanya, "Ada yang bisa kulakukan, Direktur?"

Kepala Jinyoung mengangguk samar di balik wajahnya yang semakin tegang. "Aku butuh alamat Lee Jeno secepatnya," titahnya dengan nada otoriternya sebelum meninggalkan Yugyeom menuju ruangannya.

"Baiklah, Direktur Park." Yugyeom tersenyum kecut mengiringi kepergian Jinyoung. Selalu seperti itu. Tetapi, menurutnya aura Jinyoung begitu berbeda kali ini. Entah lah, yang ia tahu pasti, ia membenci ketika Jinyoung memerintahnya seperti ini.

Jinyoung menutup ruangannya dengan begitu kasar. Tak memedulikan lagi kemungkinan pintu kayu tersebut akan terlepas dari engselnya. Dengan cepat menghempaskan tubuhnya ke singgasananya dan menumpukan kakinya di atas meja.

Benar-benar. Pikirannya tidak bisa jernih. Ia terus memikirkan kemungkinan Jeno akan menyakiti Nayoungnya.

Nayoungnya? Euh, sejak kapan ia mengklaim gadis yang ia campakkan itu miliknya.

Matanya terpaku pada pigura foto yang menampilkan pernikahannya dengan Nayoung 3 tahun yang lalu. Hatinya tiba-tiba merasa kosong ketika melihat senyum Nayoung di sana. Yeah, walaupun ia tahu senyum itu bukan lah senyum tulus, itu tetap mengingatkannya tentang kenangan indahnya selama ini bersama Nayoung.

Ia baru sadar jika selama ini semua kejadian yang diukir bersama Nayoung begitu berharga walaupun tak jarang membuatnya harus mengeluarkan amarahnya. Sial, mengapa ia tidak bisa menjadi egois atas Nayoung? Ia bisa saja menikahi Nayoung lagi saat ini juga jika Nayoung mau.

Sayangnya, ia tak bisa melakukannya hanya karena Nayoung pernah mengatakan jika gadis itu membencinya. Astaga, dimana sisi egoisnya kala itu? Baru sekarang ia menyesali semuanya.

Tak ada yang bisa membuat hatinya menjadi lebih tenang saat ini. Yang ia inginkan hanyalah Nayoung. Tapi, mana mungkin gadis itu mau menerima permintaan maaf dan penyesalannya?































TBC

FOR GOOD - Park Jinyoung ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang