Nayoung menatap kosong ke arah undangan pernikahan yang sudah siap untuk disebarkan. Ada sekitar seratus lembar undangan yang harus mereka sebar hari ini juga sebab hampir seminggu lagi mereka akan menikah.
Ya, benar-benar menikah. Nayoung saja masih tak menyangka jika sebentar lagi dirinya akan menjadi seorang istri bagi Jeno. Dirinya memang sudah berpengalaman menjadi seorang istri 3 tahun kebelakang. Namun, ia bahkan tak merasa bahwa ia benar-benar seorang istri pada waktu itu. Dan Nayoung mengkhawatirkan itu akan terjadi lagi padanya.
Kegagalan dalam rumah tangga.
Saat Nayoung sedang terlarut dalam pikirannya yang rumit itu, Jeno muncul dari kamar mandi. Sejak pagi-pagi buta, Jeno telah tiba di rumah Jaerin seraya membawa seluruh undangan yang telah tercetak itu. Mengajak gadis itu untuk turut ikut menyebar undangan pernikahan mereka.
Pria itu duduk di samping Nayoung yang masih tak menyadari kehadirannya. "Hey, kau sudah siap?" tanyanya seraya menepuk pundak Nayoung yang turun.
Gadis itu menoleh ke arah Jeno kemudian tersenyum kecil. Sosok di hadapannya memang selalu berhasil membuatnya merasa lebih tenang. Tetapi tidak begitu merasa lega.
"Akan membutuhkan waktu yang lama untuk menyebarkan undangan sebanyak ini. Jadi, hari ini aku membawa mobil agar kau tidak merasa kelelahan," ujar Jeno lagi seraya mengambil salah satu undangan berwarna merah muda di atas meja rendah itu dan menatapnya dengan mata berbinar.
Melihatnya, Nayoung menjadi semakin merasa bersalah. Ia merasa jika ia terus menyakiti Jeno tanpa pria itu sadari karena ia sama sekali tidak menaruh hatinya pada pria yang akan menikahinya itu.
Gadis itu menggigit bibirnya kuat sebelum kemudian menghambur ke pelukan Jeno. Hidungnya menghirup kuat-kuat aroma maskulin yang berbeda dari aroma milik Jinyoung. Berusaha untuk membiasakan diri menerima Jeno di sisinya, mungkin?
"Bantu aku untuk jatuh cinta padamu, Jeno," bisiknya dengan wajah yang sempurna terbenam di pundak milik Jeno.
Pria yang semula terkejut dengan perlakuan Nayoung lantas terkekeh. Ia meletakkan undangan di tangannya itu kembali ke tempatnya sebelum mengusap lembut kepala Nayoung. "Dengan senang hati, Nona."
Tangan Nayoung semakin erat memeluk pinggang Jeno. Persetan dengan hatinya yang terus menolak, ia akan keukeuh dengan pendiriannya saat ini, yakni berusaha untuk menerima Jeno.
Dehaman seorang pria berhasil membuat Nayoung segera melepaskan pelukannya. Taeyong–sang pelaku–hanya bisa menggelengkan kepala ketika melihat pemandangan mesra di pagi hari. Bukannya cemburu, toh, dirinya sudah memiliki Jaerin. Ia hanya merasa kesal karena mereka melakukannya di rumahnya.
"Banyak sekali. Mau kubantu?" tanyanya seraya menunjuk ke arah tumpukan undangan itu.
Jeno menggeleng. "Tak perlu, Hyung. Kau harus bekerja, 'kan?"
Jika kau bertanya mengapa Jeno sudah begitu santai menghadapi Taeyong, ya, karena mereka sudah berbaikan. Sejatinya mereka tak tahan jika harus bermusuhan dalam waktu sehari saja–walaupun memang terkadang mereka meributkan masalah kecil sebelum Taeyong menikah.
Taeyong melirik ke arah jam tangannya sekilas. "Hari ini jadwalku hanya berkunjung ke rumah Ryujin. Mungkin sekitar pukul 3 aku pulang," jelasnya.
Jika ingin tahu, Ryujin adalah seorang anak lelaki berusia 10 tahun yang mengidap penyakit anxiety disorder atau cemas berlebihan. Dan di sini, Taeyong adalah sebagai perantaranya dan harus mengontrol perkembangannya setiap minggu.
"Tinggalkan saja beberapa di sini. Nanti akan ku bantu antarkan," ujarnya seraya membetulkan kancing lengan kemejanya.
Baik Jeno maupun Nayoung tersenyum kapada Taeyong. Setidaknya beban mereka hari ini tidak terlalu berat. "Terima kasih, Hyung."
Pundak Taeyong terangkat menanggapi ucapan Jeno. Ia sudah tak ada waktu lagi dan harus segera menuju ke rumah Ryujin. Dengan segera, ia menuruni tangga dan menemui istrinya yang sedang memanggang roti.
Pria itu tersenyum simpul ketika melihat Jaerin melirik sekilas ke arahnya di sela-sela kegiatannya menata roti di etalase. "Hari ini aku ke rumah Ryujin, Sayang," ujarnya seraya memeluk Jaerin dari belakang.
Gadis yang dipeluk itu menoleh ke arah pria yang tengah menaruh dagunya di pundaknya kemudian tersenyum lebar. "Benarkah? Kalau begitu, aku harus membawakannya roti kenari."
Bibir Taeyong mengerucut ketika Jaerin melepaskan pelukannya untuk menyiapkan roti kenari yang baru saja keluar dari oven. Percayalah, sedingin-dinginnya pria, ia akan bertingkah seperti anak kecil ketika bersama dengan wanita yang ia cintai. Dan Taeyong adalah contohnya.
"Sampaikan salamku juga padanya, ya." Jaerin menyodorkan satu kantung roti kenari pada Taeyong.
Pria itu hanya bisa menghela napas seraya menerima uluran kantung dari Jaerin. Ia tidak boleh cemburu pada seorang anak kecil, 'kan? "Baiklah." Ia mengecup bibir Jaerin cepat sebelum kemudian meninggalkan sang istri. Kebiasaan yang selalu ia lakukan sebelum berangkat kerja.
Ketika Taeyong hendak membuka pintu, sebuah catatan kecil membuatnya terhenti. Catatan berwarna kuning itu tertempel dari luar. Seingatnya, ia tak pernah melihat ada catatan ketika ia berangkat kerja.
Setelah membuka pintu kaca tersebut, ia kemudian mencabut catatan itu. Membacanya dengan kening berkerut sebelum kemudian berseru memanggil istrinya. "Jaerin, kemari lah."
Sembari menunggu kedatangan Jaerin, ia membolak-balik catatan tersebut. Berharap jika ia mendapat sebuah clue tentang identitas sang pengirim. Namun, ia hanya melihat satu baris kalimat di permukaan depannya saja. Aneh menurutnya.
"Ada apa?"
Taeyong menoleh ke arah Jaerin kemudian menyerahkan catatan itu padanya. "Kau tahu siapa yang menempel ini?" tanyanya pada Jaerin yang justru ikut mengerutkan kening bersamanya.
Jaerin menggeleng kecil setelah membaca tulisan di permukaan kertas kecil itu. "Biasanya Nayoung yang sering mendapatkan catatan seperti ini beberapa hari terakhir. Namun, isinya sama sekali tidak pernah bermutu," jelasnya kemudian menatap wajah serius suaminya.
Taeyong nampak menerawang sebentar sebelum kemudian memutuskan, "Simpan catatan ini. Jika ini berlangsung selama seminggu ke depan, kita akan lapor polisi."
"Aku mengumpulkannya di bawah meja kasir," sahut Jaerin.
Tanpa bisa ditahan lagi, Taeyong tersenyum lebar. "Pintar sekali istriku," pujinya seraya mengacak puncak kepala Jaerin. Terkekeh pelan ketika sang gadis menggerutu karena rambutnya berantakan. "Aku pergi."
Jaerin mengangguk kecil seraya menatap lamat ke arah catatan yang ditemukan oleh Taeyong. Mencoba menghubungkan catatan demi catatan yang didapatkan, namun tak menemukan apapun yang berkaitan. Sepertinya memang itu hanya lah ulah orang-orang iseng yang ingin mencari perhatian.
loohcs tra nihsoej
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
FOR GOOD - Park Jinyoung ✔
Fiksi Penggemar[Finished-Bahasa Baku] Tiga tahun yang lalu, kita pernah menjalin hubungan pernikahan tanpa ada dasar cinta. Tidak ada hal manis yang pernah terjadi selama itu. Hanya kehidupan biasa seolah kita tidak pernah saling mengenal meskipun kita berada di...