Perjalanan pulang begitu sunyi. Hanya suara deru kecil mobil dan lantunan lagu acak yang diputar oleh Jinyoung. Jalanan yang masih gelap juga begitu sunyi. Seolah mendukung aksi diam mereka.
Setelah membereskan kekacauan yang dibuat oleh Suah, mereka akhirnya check out dari hotel. Seperti biasa Jinyoung marah-marah. Namun, melihat Suah terus menangis dan ketakutan membuat pria itu tak dapat melakukan apapun selain bersabar membereskan kamar mereka.
Ya, lagipula salahnya juga mengajak Nayoung pergi dan meninggalkan Suah sendirian di kamar. Gadis kecil itu takut gelap.
Kini Suah kembali tidur di pangkuan Nayoung. Gadis itu kembali mengantuk pasca aksi menangis dan mengamuknya tadi.
Jinyoung melirik sekilas ke arah Suah yang sesekali masih sesenggukan. Dan jika itu terjadi, Nayoung akan segera mengusap punggung gadis itu dengan lembut seraya mengecup puncak kepalanya.
Melihatnya, Jinyoung tak tahan untuk tersenyum. Jika Nayoung bilang bahwa ia sudah sangat pantas untuk menjadi ayah, maka ia akan berkata bahwa Nayoung sangat layak menjadi ibu.
Bukan kah cocok? Mungkin.
Mobil Jinyoung berhenti di alamat yang kemarin diberikan oleh Jeno. Dengan sigap, pria itu menyahut tas kecil milik Suah dari kursi belakang. "Biar aku yang mengantarnya. Kau di sini saja," ujarnya seraya mengambil Suah dari pelukan Nayoung.
Gadis itu mengangguk membiarkan Jinyoung menggendong Suah. Ia menatap Jinyoung yang sudah hilang di balik pagar rendah rumah Suah. Tersenyum kecil tanpa alasan.
Tak lama, Jinyoung keluar dari halaman rumah itu dan kembali masuk ke dalam mobil. Melemparkan senyuman simpul ke arah Nayoung yang menatapnya sebelum kembali menginjak pedal gasnya.
Nayoung masih tersenyum menatap Jinyoung yang sepertinya mulai salah tingkah. "Jika dipikir-pikir, tadi kita terlihat seperti keluarga, ya?" ujar Nayoung seraya kembali menatap jalanan di depannya.
Mendengarnya, wajah Jinyoung menjadi sumringah. Bisa dilihat pula jika pria itu semakin salah tingkah. "Benarkah?"
Kepala Nayoung mengangguk pasti. Kembali melirik Jinyoung tanpa tahu pria itu begitu senang mendengar pendapatnya. "Kau ayahnya, Suah anaknya, dan aku kakaknya," jelasnya tanpa mengendurkan senyumnya.
Namun, kini giliran senyum Jinyoung yang hilang. Mendadak ia merasa sangat kesal dan mempercepat laju mobilnya.
Sial. Memangnya aku mengharapkan apa?
***
Semenjak pulang dari pantai, sisi tempramental Jinyoung benar-benar berkurang. Sosok Jinyoung kini jauh lebih lembut memperlakukan Nayoung. Bahkan tak jarang membuat gadis itu merasa gugup berhadapan dengannya.
Seperti pada hari ini, ketika Nayoung tengah berkutat dengan masakannya, tiba-tiba Jinyoung menaruh dagunya di pundak Nayoung. Memperhatikan bagaimana tangan gadis itu gemetaran ketika meracik kimchi dengan nasi.
"Apa yang kau masak hari ini?" tanya Jinyoung dengan kedua tangan tersaku. Tanpa sekalipun memperhatikan Nayoung tengah mati-matian meredam rasa gugupnya dengan mencengkeram tepi mangkuk.
"Bisakah kau menunggu saja di sana?" Tangan Nayoung akhirnya mendapat kekuatannya kembali dan segera mendorong kening Jinyoung menjauh dengan punggung tangannyan. Bisa-bisa ia jatuh terduduk karena tak kuat menahan rasa malunya.
Sang pelaku hanya tertawa dan meniruti perkataan Nayoung tanpa protes. Ia duduk di meja makan tanpa mengalihkan pandangannya pada Nayoung. Menatap punggung mungil gadis yang sepertinya mulai tak fokus dengan pekerjaannya. "Mau kubantu?" tawarnya.
Gadis itu menggeleng kuat. "Jangan mengganggu," gertaknya.
Semangkuk bibimbap terhidang di tengah meja makan. Tanpa mengindahkan piring yang sudah disediakan oleh Nayoung sebelumnya, Jinyoung langsung menyantap bibimbap tersebut dari mangkuk.
"Hey, itu menjijikkan!" seru Nayoung seraya memukul telapak tangan Jinyoung yang hendak mengambil suapan keduanya. Gadis itu seketika kehilangan napsunya untuk makan.
"Justru jika kau memakannya langsung akan terasa kebersamaannya," jawab Jinyoung asal seraya menyuapkan bibimbap keduanya ke dalam mulut dan mengunyahnya cepat.
Nayoung mengernyit sesaat seraya memperhatikan cara makan Jinyoung yang tak seperti biasanya. Pria itu akan lebih memperhatikan keanggunan ketika makan dan tidak mengeluarkan bunyi apapun dulu. Tetapi lihat sekarang. Bahkan Jinyoung tak malu ketika bumbu kimchi melekat di kedua ujung bibirnya.
Dengan ragu, Nayoung ikut menyuap dari mangkuk. Alisnya terangkat ketika mengunyahnya. Tidak buruk juga makan di satu tempat makan yang sama.
Jinyoung menelan suapan kesekiannya kemudian meneguk air putih. "Apa kau mau membunuhku?" tanyanya setelah menghabiskan satu gelas air putih.
Nayoung berjenggit kaget. Menatap nasi campurnya dengan pandangan ragu. "Tidak enak, ya?" Padahal menurutnya rasanya baik-baik saja.
Tangan Jinyoung kembali mengambil sendoknya dan memukul tepi mangkuk pelan. "Rasa asam dan pedas untuk sarapan. Bagaimana jika aku sakit perut?" Matanya memicing menatap Nayoung yang masih khawatir.
Wajah Nayoung seketika berubah datar. "Di kantor ada toilet, 'kan?" ujarnya tak acuh seraya kembali menyuap nasinya.
Jinyoung tergelak. Meletakkan kembali sendoknya di atas meja sambil bangkit dari duduknya. "Aku berangkat," pamitnya kemudian menyambar kunci mobilnya.
"Heum," sahut Nayoung yang masih fokus dengan sarapannya. Lebih tepatnya menghindari kontak mata dengan Jinyoung yang ia tebak sedang menunggu tatapan darinya.
Percaya diri sekali.
Tetapi, memang benar itu lah yang dilakukan oleh Jinyoung. Yang dilakukan seminggu terakhir ini. Seperti menganggap Nayoung benar-benar bagian darinya.
Bodoh? Entahlah, tetapi Jinyoung rasa ini cukup menyenangkan.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
FOR GOOD - Park Jinyoung ✔
Hayran Kurgu[Finished-Bahasa Baku] Tiga tahun yang lalu, kita pernah menjalin hubungan pernikahan tanpa ada dasar cinta. Tidak ada hal manis yang pernah terjadi selama itu. Hanya kehidupan biasa seolah kita tidak pernah saling mengenal meskipun kita berada di...