32

1.9K 189 8
                                    

Kepala Nayoung menunduk dalam dan tangannya saling bertaut satu sama lain. "Jangan menyukaiku," tuturnya ragu kemudian menghela napas panjang.

Jeno tersentak di tempatnya. Bibirnya bergetar saat hendak menarik senyum untuk Nayoung. "Apa maksudmu? Bukan kah itu hakku untuk menyukai siapa pun?" tanyanya seraya tertawa kecut. Barusan ia ditolak?

Lagi-lagi Nayoung menggigit bibirnya kuat saat desakan emosional kembali menguasai dirinya. "Kumohon, jangan." Ia menggeleng kuat dan menatap nanar Jeno.

Jeno tersenyum pahit. "Kenapa? Apa kau menyukai Jinyoung?" tanyanya dengan suara kecil.

Tak ada jawaban dari Nayoung. Gadis itu hanya terdiam, berusaha meredam keinginannya untuk menangis dengan menutup matanya erat-erat. Membuat Jeno tak tahan untuk tidak merengkuh tubuh lemah Nayoung. "Tak apa, Nayoung. Kau tidak salah mencintai Jinyoung," ujarnya seraya mengusap kepala belakang sang gadis.

Tidak, Jeno salah. Bukan itu yang menjadi alasan Nayoung. Nayoung tak dapat menahan tangisnya lagi. Tangis yang selama ia hidup tidak pernah ia lakukan selain ketika ia kehilangan orang tuanya.

"Walaupun begitu, ingatlah masih ada Lee Jeno yang selalu menghibur Shin Nayoung jika gadis itu disakiti oleh Park Jinyoung." Jeno melepas pelukannya dan menatap Nayoung lamat-lamat.

Jujur saja Jeno merasa sedih dan sakit hati ketika mendapat penolakan dari Nayoung. Tetapi, melihat Nayoung menghujani pipinya sendiri dengan air mata bahkan berjuta kali lipat lebih menyakitkan baginya.

Lihat? Lee Jeno terlalu baik untuk Nayoung. Dia bahkan terlalu sempurna untuk Nayoung yang sekarang sudah menganggap dirinya begitu kotor.

Nayoung mengangguk kecil dan tersenyum ketika jemari Jeno bergerak menghapus jejak air matanya di pipi. "Terima kasih, Jeno."

Decakan terdengar dari mulut Jeno. "Berhenti menangis atau aku akan marah." Keningnya berkerut menampilkan wajah seramnya. Membuat Nayoung tersenyum kecil karenanya. "Seperti itu. Kau terlihat lebih cantik jika tersenyum."

Seraya menyerahkan helm pada Nayoung yang masih meredakan sisa tangisnya, Jeno tersenyum lebar. "Mau pancake?"

Nayoung tertawa hambar seraya menerima uluran helm dari Jeno. Seperti biasa pria itu selalu tahu cara menghiburnya.

Bohong jika Jeno sungguh baik-baik saja saat ini. Ia bahkan merasa jauh lebih buruk daripada saat ia tak mendapat kepastian dari Nayoung.

Diam-diam ia menertawakan ucapan Taeyong waktu itu tentang memperjuangkan wanita. Jadi, ini lah ternyata akhir perjuanganku, Hyung.
































***
































Ketika Jinyoung memasuki rumahnya, hanya kegelapan yang menyapanya. Membuatnya hanya bisa mengerutkan keningnya. Tak biasanya Nayoung lupa menyalakan lampu seperti ini.

Jarum jam tangannya menunjukkan pukul 7 malam. Terlalu awal bagi Nayoung untuk tidur. Biasanya di jam segini gadis itu menonton televisi atau memasak untuk makan malam.

Ya, kemana gadis itu?

Langkahnya terhenti di depan dapur dan kepalanya melongok ke sana. Tak ada tanda-tanda keberadaan Nayoung. Hanya ada hidangan makan malam di atas meja makan.

"Nayoung?" serunya seraya menaiki tangga menuju kamar Nayoung. Perubahan sikap Nayoung tadi pagi membuatnya cemas. Walaupun ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, ia takut akan kemungkinan terburuk menimpa Nayoung. Kabur atau mungkin bunuh diri?

FOR GOOD - Park Jinyoung ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang