Setelah dirasanya Nayoung sudah cukup tenang dan bisa mengendalikan diri, Jeno beranjak melepas pelukannya. Dengan lembut, kedua ibu jarinya menghapus air mata yang membasahi wajah Nayoung.
"Kenapa?" tanyanya pelan seraya menatap lurus ke arah mata sembab Nayoung.
Gadis itu menunduk dalam. Enggan berbicara karena memang tenggorokannya sedang tidak enak pasca menangis. Tangannya mengusap keningnya yang dipenuhi oleh keringat seraya mendesis kecil.
Jeno menuntun Nayoung menuju karang-karang di tepi pantai dan duduk di sana. Keduanya lantas terdiam menatap cakrawala sembari menikmati deburan ombak yang menabrak kaki mereka.
"Jeno, maaf," cicit gadis itu dengan suara yang sepenuhnya serak.
Kepala Nayoung masih senantiasa tertunduk menatap kakinya yang sudah basah diterpa ombak kecil. Tak berani menampakkan wajah kusutnya di hadapan Jeno.
Jeno melirik sekilas ke arah Nayoung sebelum berdecak kesal. "Setidaknya katakan padaku apa yang terjadi padamu. Kau sakit?" tanyanya seraya menempelkan telapak tangannya ke kening Nayoung.
Gadis itu menggeleng pelan seraya menyingkirkan telapak tangan Jeno dari keningnya. Kepalanya sedikit berat pasca menangis sehingga ia menjatuhkannya ke pundak kokoh Jeno.
Pria itu sedikit kaget dengan tindakan Nayoung. Namun, pria itu segera meninggikan pundaknya serta membenahi posisi gadis itu agar lebih nyaman. "Kau suka sekali, ya, membuat orang lain khawatir?" cibirnya kembali menatap lurus.
Nayoung terdiam. Masih sibuk menata napasnya yang masih sesekali tersendat.
Tangan Jeno terulur untuk menepuk kepala Nayoung pelan. Mendesah pelan sebelum mulai membuka suara. "Semalam kau pulang dengan Jinyoung?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari perpotongan dua warna biru yang berbeda antara langit dan laut.
Kepala Nayoung membuat gerakan mengangguk pelan.
"Kau selamat sampai rumah?" tanya Jeno lagi, kini seraya menyingkirkan rambut Nayoung yang terjatuh menutupi wajah ke belakang telinga sang gadis. Tanpa suara, ia dapat melihat gadis itu mengiyakan pertanyaannya.
Lagi, desahan napas berat keluar dari mulut Jeno. "Lalu, mengapa kau ada di sini? Kau kabur?" Walaupun sedang kesal, pria itu tetap menjaga nada suaranya selembut mungkin agar mood gadis itu tidak semakin buruk.
Nayoung berdehem melonggarkan tenggorokannya sebelum menjawab, "Dia yang membawaku." Gadis itu meluruskan kakinya hingga air bisa menyentuhnya hingga lutut.
"Semalam dia memarahiku karena bertemu dengan direktur–siapa namanya?" Kepala Nayoung mendongak menatap Jeno yang masih setia mendengarkannya.
"Direktur Im Jaebum?"
Kepala Nayoung kembali mendarat di pundak Jeno. "Ah, ya. Whoever he is," ucapnya dengan malas.
Alis Jeno bertaut. "Untuk alasan apa?" tanyanya lagi. Ya, tidak ada hal lain yang dapat ia lakukan selain mendengarkan dan bertanya. Memangnya apa lagi?
Gadis itu tertawa kecil seraya mencelupkan tangannya ke air. "Apa Jinyoung membutuhkan alasan untuk marah?" kelakarnya di sela-sela tawa kecilnya yang lebih bisa dikategorikan sebagai dengusan.
Mata pria itu menatap gadis di sampingnya dengan tatapan tak percaya. "Kau bercanda setelah menangis? Astaga!" serunya seraya mengacak rambut Nayoung yang sepenuhnya telah berantakan itu. "Apakah itu alasan kenapa kau menangis? Karena kau dimarahi Jinyoung?" Ia memastikan.
"Bukan hanya itu." Gadis itu kini menegakkan tubuhnya. Terlihat bersemangat menceritakan ini semua. "Jinyoung. Kurasa dia sejenis bangsat. Maksudku, apa kau pernah menemui seseorang yang membuatmu bingung dengan perubahan mood-nya yang begitu cepat?"
KAMU SEDANG MEMBACA
FOR GOOD - Park Jinyoung ✔
Fiksi Penggemar[Finished-Bahasa Baku] Tiga tahun yang lalu, kita pernah menjalin hubungan pernikahan tanpa ada dasar cinta. Tidak ada hal manis yang pernah terjadi selama itu. Hanya kehidupan biasa seolah kita tidak pernah saling mengenal meskipun kita berada di...