Semalam Jinyoung sama sekali tidak turun untuk makan malam. Padahal Nayoung sudah berbaik hati memasakkan makan malam yang cukup banyak sebagai permintaan maafnya. Ya, walaupun kesal dengan perlakuan Jinyoung, ia harus ingat posisinya di sini sebagai pelayan Jinyoung.
Dan seperti pagi ini, bahkan ketika jam sudah menunjukkan waktu Jinyoung untuk pergi bekerja, ia sama sekali tak mendapati pria itu keluar dari kamarnya. Semarah itu kah Jinyoung hingga tak berniat untuk keluar dari kamar selama berjam-jam?
Setelah mengumpulkan keberanian, yang semalam sudah ditelan oleh emosi Jinyoung, Nayoung mengetuk pintu kamar Jinyoung perlahan. "Jinyoung, apa kau tidak berangkat kerja?"
Senyap. Tak ada jawaban sama sekali dari dalam kamar. Hal itu menggugah Nayoung untuk membuka pintu kamar tersebut. Persetan dengan Jinyoung yang mungkin akan kembali marah-marah karena dirinya masuk tanpa izin.
Tetapi, sepertinya memang dirinya tidak akan terkena marah kali ini. Kamar yang dominan dengan warna kayu itu begitu gelap dan sepi. Tak ada keberadaan Jinyoung di atas ranjang dan pintu kamar mandinya pun terbuka. Jinyoung seperti hilang begitu saja.
Belum sempat ia meredakan kecemasannya, tiba-tiba ponsel di saku celananya bergetar. Apa? Dia cemas?
Begitu melihat nama Jinyoung yang tertera di layar ponselnya membuatnya semakin terburu untuk mengangkatnya. "Halo?"
"Maafkan aku menelponmu pagi-pagi. Suamimu sedang mabuk berat saat ini. Dia tak mau didekati oleh siapa pun," ucap seorang pria yang tak ia kenal di seberang sana.
Kening Nayoung berkerut. Mencoba menebak siapa pemilik suara berat itu. Dan apakah pria ini menyebutkan tentang suami? Siapa suaminya? Mengapa pria ini memakai ponsel Jinyoung dan berkata omong kosong seperti ini? "Suami?" ulangnya.
"Aku sudah menghubungi Yugyeom tetapi sepertinya ia tengah sibuk malam ini. Dia yang biasanya selalu datang bersama Jinyoung sama sekali tidak terlihat malam ini." Pria itu nampaknya tak tertarik untuk menggubris pertanyaan singkat Nayoung.
Mendengar nama Yugyeom dari mulut sang pria menyadarkannya. "Park Jinyoung, astaga!" pekiknya. Astaga, bodohnya ia. "Aku akan segera ke sana."
Gadis itu segera berganti pakaian dan mencari taksi. Mengingat nada bicara pria tadi yang begitu terburu-buru tak membantu meredakan cemasnya. Pasti ada yang tidak beres.
***
Nayoung berlarian kecil memasuki klub yang telah sepi itu setelah melompat keluar dari taksi. Masa bodoh dengan makian sang supir yang khawatir dengan pintu mobilnya yang terbanting sangat keras olehnya.
Dengan terburu, ia membuka pintu kaca klub tersebut. Melihat sosok pria tegap dengan surai kecokelatan di depan meja bar, Nayoung segera menghampirinya. "Park Jinyoung. Di mana dia?" tanyanya tanpa memedulikan peluh yang membasahi keningnya.
Pria itu menatap sekilas Nayoung dari atas sampai bawah sebelum kemudian berjalan mendahuluinya. "Lewat sini," ujarnya dengan suara yang berat. Membuat Nayoung yakin bahwa pria ini lah yang tadi menelponnya.
Keduanya menyusuri lorong gelap. Nayoung sempat ragu ketika memasukinya. Pasalnya lorong tersebut adalah satu-satunya tempat yang tak terjamah oleh sinar matahari sehingga terlihat begitu gelap jika tidak ada lampu kecil yang meneranginya.
Di ujung lorong pria di depan Nayoung membukakan pintu sebuah ruangan remang dan mempersilakan gadis itu masuk. "Jika kau butuh bantuan, kau bisa memanggilku. Namaku Mark Tuan," ujar pria itu dengan senyuman tipis.
KAMU SEDANG MEMBACA
FOR GOOD - Park Jinyoung ✔
Fanfic[Finished-Bahasa Baku] Tiga tahun yang lalu, kita pernah menjalin hubungan pernikahan tanpa ada dasar cinta. Tidak ada hal manis yang pernah terjadi selama itu. Hanya kehidupan biasa seolah kita tidak pernah saling mengenal meskipun kita berada di...