"Astaga, Jinyoung. Kau pucat sekali."
Suara melengking milik Nayoung membuat Jinyoung yang baru saja mendudukkan diri di depan meja makan terhenyak. Baru pukul 7, tetapi ia rasa mood-nya sudah dirusak oleh suara panik Nayoung. Bisakah Nayoung membiarkan Jinyoung diam sebentar untuk memulihkan rasa pening yang sejak kemarin belum sembuh juga?
Meninggalkan kompor listrik yang telah ia matikan, Nayoung mendekat ke arah Jinyoung yang tengah menatapnya jengah. Tanpa memedulikan ekspresi yang mungkin akan dapat membunuhnya kapan saja itu, ia menempelkan punggung tangannya ke kening dan pipi sang pria.
Dengan cepat, Jinyoung menepis tangan yang ia rasa lebih dingin dari kulitnya itu ketika menyadari hal itu membuat jantungnya berhenti untuk sesaat. "Jangan sentuh aku." Bisa-bisa kulit pucatnya tergantikan warna merah di sekitar pipi karena terlalu lama bersentuhan dengan tangan Nayoung.
Nayoung menggigit bibirnya setelah dirasanya panas tubuh Jinyoung tidak terasa normal. "Tunggu sebentar." Ia segera berlari masuk ke kamarnya dan mengambil parasetamol persediaannya. Setelah menuangkan air putih di gelas Jinyoung, ia menyerahkan sebutir pil tersebut. "Minum ini."
Jinyoung menggeleng lemah. "Aku tidak suka obat." Pria itu menghela napas panjang. "Bisa tidak kau mengambilkan sarapan untukku saja? Aku harus bergegas," desaknya tanpa bisa meninggikan suaranya lagi. Ia sangat lemas.
Seraya menaruh pil tersebut di atas piring kecil, gadis dengan rambut terikat satu itu berujar, "Ini akan meringankan demammu. Atau kau ingin tidak masuk saja hari ini?" Dengan gerakan yang cekatan, ia menaruh roti panggang di piring Jinyoung dan telur setengah matang di atasnya.
Kedua mata Jinyoung membulat. "Tidak bisa. Hari ini ada pertemuan dengan perusahaan dari Hongkong." Ia menatap tangan Nayoung yang kini menaruh sebuah sosis di atas piringnya tak sabaran.
Tak disangka, Nayoung justru balik melempar pandangan kesal pada Jinyoung. Seolah-olah pria itu tak akan pernah bisa lolos jika tak menuruti perkataannya. Bahkan ia hampir menarik kembali piring Jinyoung.
"Hey!" Dengan gerakan lemah, Jinyoung kembali menarik piringnya mendekat ke arahnya sebelum kemudian mendesah panjang. "Baiklah, aku akan meminumnya." Baiklah, ia terlihat manis kali ini.
Untuk sesaat, Nayoung merasa lega dan memutuskan untuk duduk di hadapan Jinyoung. Ia menatap datar pria yang tengah fokus memakan sarapannya. Mengapa pria ini tidak mau meminum obat sedangkan ia sangat tahu pria itu merasa lemas sekarang? "Apa kau tidak bisa menelannya?" tebaknya.
Gerakan memotong sosis Jinyoung berhenti untuk sesaat. Ia malu mengakuinya, tapi memang benar dirinya tak dapat menelan obat. Bodoh, Park Jinyoung! Bodoh!
Nayoung kemudian mengambil parasetamol tersebut dan menaruhnya di sebuah sendok. Setelah menambahkan beberapa tetes air ke atasnya, ia mulai menggerusnya dengan tenang.
Berulang kali, Jinyoung mengumpat dalam hati. Betapa memalukannya dia saat ini. Pasti di pandangan Nayoung dirinya begitu payah karena tak dapat menelan obat. Masa bodoh. Dirinya kembali menyuap rotinya dengan terburu-buru.
Tak berapa lama, Jinyoung menghabiskan porsi sarapannya hingga piring terlihat bersih. Melihatnya, Nayoung segera menyodorkan sendok berisi obat yang telah menjadi cairan itu ke depan mulut Jinyoung.
"Ini, minum lah," ucap Nayoung tanpa memedulikan pandangan terkejut Jinyoung. Yang benar saja, seorang Park Jinyoung disuapi obat oleh seorang wanita.
Namun, dengan berat hati, Jinyoung pun membuka mulutnya. Ya, tentu saja setelah Nayoung memberi tatapan tajam padanya. Woah, kini Jinyoung tunduk pada Shin Nayoung?
KAMU SEDANG MEMBACA
FOR GOOD - Park Jinyoung ✔
Fiksi Penggemar[Finished-Bahasa Baku] Tiga tahun yang lalu, kita pernah menjalin hubungan pernikahan tanpa ada dasar cinta. Tidak ada hal manis yang pernah terjadi selama itu. Hanya kehidupan biasa seolah kita tidak pernah saling mengenal meskipun kita berada di...