Chapter 31

1.8K 173 6
                                    

Masih menggunakan pakaian semalam, Nayeon terbangun karena pintu kamarnya yang terayun terbuka oleh appa-nya.

"Nayeon-ah kau tidak kerja?" Ucap Tuan Im saat memasuki kamar Nayeon.

Nayeon mengerjapkan netranya sesaat, berusaha untuk menyadarkan diri.

Nayeon melihat jam tangan yang masih melingkar di tangannya sejak kemarin. Ia terlonjak untuk bangun karena sudah telat untuk masuk kerja.

"Appa, semalam Nayeon pulang jam berapa? Kenapa sampai tak sempat ganti pakaian?" tanya Nayeon.

Tuan Im mengendus, menatap datar wajah putrinya. "Kau tak ingat? Kau mabuk semalam."

"Benarkah?! Lalu bagaimana Nayeon bisa sampai ke rumah?"

"Kau juga tak ingat? Jungkook yang mengantarmu pulang."

"APA?! Jung-Jungkook?!" ucap Nayeon tergagap.

"Jungkook tak sengaja berada disana saat kau mulai mabuk. Kau berada di restoran yang sering kau datangi bersama Jungkook, kau tak ingat?" jelas appa-nya.

Oh shit.

Apa yang akan dikatakannya pada Yoongi jika ia mabuk? Bukan lebih parahnya lagi bagaimana ia mengatakan kepada Yoongi jika ia mabuk dan Jungkook mengantarnya pulang?

"Kau sedang ada masalah? Karena sangat jarang kau mabuk seperti semalam, bahkan tak ingat apapun."

Nayeon menggelengkan kepalanya. "Tidak ada masalah. Nayeon baik-baik saja appa."

"Baiklah. Kau harus siap-siap sekarang juga kalau tak mau Yoongi memecatmu."

Nayeon masih berusaha mengingat kejadian semalam, namun hasilnya nihil. Bahkan kejadian sebelum ia mabuk pun ia tak bisa mengingatnya.

Kepalanya sangat pusing saat mencoba mengingatnya.

.

.

.

Nayeon datang terlambat ke kantor. Dan tanpa ia sadari ponselnya tak berhenti mendapatkan panggilan masuk dari Yoongi. Ia baru menyadarinya saat ia akan memasuki kantor dan melihat 54 panggilan tak terjawab dari Yoongi sejak semalam.

Langkah Nayeon semakin berat saat memasuki kantornya. Ia hanya takut saat bertemu Yoongi, bagaimana ia menjelaskannya, bahkan ia belum ingat apapun semalam.

Ia ingin cepat sampai di mejanya dan berharap seharian ini ia tidak bertemu Yoongi. Tapi sungguh hal yang tidak mungkin.

"Apa PD-nim sudah datang?" tanya Nayeon pada Mina, teman kantornya yang berada di seberang mejanya.

Mina mengangguk. "Mereka sedang meeting di ruang pertemuan."

"Mereka?" tanya Nayeon.

"Para petinggi."

Nayeon menghela napas lega. Setidaknya ia tak akan bertemu dengan Yoongi beberapa jam kedepan selagi ia berusaha mengingat kejadian semalam.

"Im Nayeon ke ruanganku sekarang." tubuh Nayeon membeku seketika mendengar suara rendah yang sudah sangat familiar di telingnya. Yoongi.

Ia dapat melihat Yoongi yang mulai berjalan menjauh dari mejanya. Tubuhnya tegap dan ia bisa merasakan betapa dinginnya dia melalui ucapannya tadi.

Mau tidak mau Nayeon harus menurutinya.

Nayeon sudah berada di pelukan Yoongi sesaat setelah ia menutup pintu di belakangnya.

"Ku kira kau akan memarahiku." ucap Nayeon saat wajahnya masih menempel pada Yoongi.

"Kau tak membalas telponku. Tak memberiku kabar. Dan bahkan semalam kau tak memberitahuku untuk menjemputmu. Ku kira kau yang marah."

Nayeon menarik tubuhnya dari pelukan Yoongi.

"Kau mengira aku marah padamu?"

Yoongi mengangguk.

"Kenapa?"

"Karena ku kira kau tak akan setuju."

"Yoongi apa yang kau bicarakan?"

Yoongi manarik tubuh Nayeon memuju sofa untuk duduk di pangkuannya. Ia menyandarkan keningnya di lengan Nayeon.

Nayeon menunggu Yoongi untuk menjelaskan. "Yoongi..."

Nayeon bisa mendengar tarikan nafas Yoongi yang berat. "Eomma meberitahuku jika semalam kalian membicarakan tentang peetunangan."

Nayeon mengerutkan keningnya dan ia akhirnya mengingatnya. Seketika Nayeon bangkit dari pangkuan Yoongi namun Yoongi menariknya kembali.

Yoongi bisa melihat perubahan wajah Nayeon yang memerah. Bukan karena tersipu. Tapi karena marah.

"Dengar aku melakukannya untuk mempertahankan hubungan kita."

Nayeon berusaha berdiri dari duduknya dan ia berhasil. Yoongi melepaskannya.

"Kau tak tahu betapa bodohnya aku saat di depan ibu mu? Saat ia mulai berbicara tentang pertunangan? Aku tak menyangka kau tak meberitahuku!"

"Karena aku tahu kau tak akan setuju. Dan aku tak tahu jika semalam eomma sudah mulai merencanakannya."

"Kau benar aku tak akan setuju. Tapi aku punya alasan. Aku baru saja lulus, bahkan belum sebulan. Aku sudah memiliki rencana Yoongi. Apa kata teman-temanmu jika kau menikahi wanita muda yang baru saja lulus kuliah dan tidak memiliki background."

"Aku tak peduli dengan ucapan orang lain."

"Tapi aku peduli Yoongi."

Nayeon manangis dan itulah yang bisa membuat Yoongi amat sakit. Melihat Nayeon menangis. Dan lebih buruk lagi, Nayeon menangis karenannya.

Yoongi berdiri dan segera membawa tubuh Nayeon ke dekapannya. "Please. Jangan menangis." Yoongi mengecup puncak kepala Nayeon.

"Jika memang kau tetap memaksaku untuk menuruti kemauanmu. Mungkin kau bisa meminta Irene." Nayeon menarik tubuhnya, namun Yoongi menahannya.

"Itu kemauan eomma. Kemauanku hanya dirimu. Aku mencintaimu."

Nayeon mencoba untuk menatap wajah Yoongi. Kedua tangannya berada di pundak pria itu dan mencium bibirnya.

"Aku mencintaimu." ucapnya di sela-sela ciumannya.

"Benarkah?" tanya Yoongi.

"Kau meragukanku?"

"Kau baru saja menyebutkan nama Irene jika aku tetap memaksamu untuk menikah denganku."

"Aku tahu kau tak mungkin melakukannya." Nayeon terkekeh pelan.

"Dan bukannya aku tidak mau menjadi istrimu tapi aku masih butuh  waktu."

"Aku mengerti. Aku akan menunggumu."

Kali ini Yoongi mengeratkan tangannya di pinggang Nayeon dan mencium Nayeon lebih dalam.

***

Melody✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang