§§§
Pagi ini, di pukul 6, Lisa keluar dari apartementnya. Mengenakan sebuah jeans biru panjang yang dipadukan dengan kaos putih polos. Rambut panjangnya di ikat ekor kuda, sebuah choker tali melilit leher indahnya, dan sepasang sepatu kets putih menghiasi kakinya.
Tidak seperti biasanya, tidak ada high heels mahal karya disainer terkenal, tidak ada pakaian karya disainer terkenal.
Namun bagi Jiyong tetap mempesona.
Semalaman, Jiyong tidak pergi dari mobilnya.
Semalaman, Jiyong tidak pergi dari depan apartement Lisa.
Lisa menghampiri mobil Jiyong, mengetuk kaca mobilnya dan mengejutkan Jiyong.
"Kenapa kau disini pagi pagi begini?" tanya Lisa setelah Jiyong menurunkan kaca mobilnya. "Eh? Kau masih memakai bajumu kemarin, belum pulang?"
"Ah... ya, belum sempat, semalam kita tidak jadi bertemu jadi-"
"Kau disini semalaman?" tanya Lisa sembari membuka pintu mobil Jiyong dan masuk kedalam mobil itu. Gadis itu terlihat sangat baik seperti biasanya.
"Tidak, aku baru saja sampai beberapa menit lalu,"
"Tsk... kenapa tidak masuk kalau sudah terlanjur disini? Hari ini aku cuti-"
"Kenapa kau cuti?" sela Jiyong membuat Lisa mengerjapkan matanya. Tidak biasanya Jiyong sangat penasaran seperti sekarang.
"Beberapa barangku dari rumah akan diantar kesini, mobilku juga akan diantar kesini sekitar pukul 10 nanti, sekarang aku ingin pergi sarapan dan membereskan rumah nanti,"
"Boleh aku ikut sarapan bersamamu?"
"Tentu, membayar sarapanku juga boleh," jawab Lisa sembari memasang seatbeltnya. Jiyong mengikuti gadis itu, mulai menyalakan gadis itu walaupun perasaannya masih campur aduk. Walaupun sisa luka semalam masih terasa. "Maaf soal yang semalam," ucap Lisa setelah lamborghini itu melesat ke jalanan pagi yang mulai ramai. "Kau marah setelah bicara denganku semalam?"
"Ne?"
"Semalam aku membatalkan janji kita, kau marah?" tanya Lisa, namun sama sekali tidak menoleh pada Jiyong, gadis itu sibuk mencari frekuensi di radio. "Aku tidak suka bersedih didepan orang lain. Aku tidak keberatan membagi kebahagiaanku dengan orang lain, tapi saat sedih, aku lebih suka sendirian. Semua orang punya masalahnya sendiri sendiri jadi ku pikir, aku tidak perlu menambah masalah orang lain dengan masalahku, maaf kalau kau marah karena aku membatalkan janji,"
"Kau baik baik saja?"
"Sekarang? Selain lapar, ya aku baik baik saja," jawab Lisa dengan sangat santai, seakan ia tidak baru saja menangis semalaman, seakan semalam tidak ada yang terjadi apapun, seakan semalam hanyalah sebuah mimpi buruk dan sekarang ia sudah bangun dari mimpinya. "Aku bukan orang yang akan bersedih terlalu lama, jadi semalam Jennie mabuk? Kalian minum bersama?"
"Tidak, dia minum sendirian lalu menelponku,"
"Ah... dia menelponmu saat mabuk? Dia pasti sangat menyukaimu..."
Jiyong terdiam untuk beberapa saat, membuat Lisa menoleh pada pria yang sekarang memarkir mobilnya didepan sebuah restoran sup.
"Darimana kau tau?" tanya Jiyong seusai memesan makanannya. Lisa duduk di hadapannya dan sedang menyiapkan sendok dan sumpit untuk mereka.
"Apa?"
"Kalau Jennie menyukaiku?"
"Bukankah sudah jelas? Dia selalu menatapmu, selalu memperhatikanmu, selalu ingin terlihat luar biasa didepanmu, walaupun sebenarnya dia memang sangat cantik dan sudah luar biasa,"
"Tapi aku tidak menyukainya,"
"Ya aku juga tau soal yang itu, kau hanya menganggapnya juniormu, seperti Jisoo eonni," makanan mereka datang dan Lisa mulai meraih sendoknya, ia sama sekali tidak menyentuh steaknya semalam dan sekarang kelaparan. "Kau memperhatikannya seperti memperhatikan adikmu sendiri, lalu dia salah paham, benar kan?"
"Kenapa kau tidak pernah mengatakan apapun padaku? Kalau kau tau sebanyak itu,"
"Kwon Jiyong-ssii... ada banyak hal yang tidak perlu dibicarakan dan kurasa aku tidak perlu tiba tiba datang padamu lalu bilang 'hai, kau tau? Jennie menyukaimu' tidak perlu kan? Aku tidak perlu mengatakan semua yang ku lihat,"
"Kalau kau memang tau segalanya, apa kau tau kalau aku menyukaimu?"
Jiyong mengerahkan seluruh harga diri dan keberaniannya untuk mengatakan itu. Namun reaksi yang diberikan Lisa membuatnya tidak berkutik. Jiyong berharap Lisa terkejut, atau setidaknya menoleh padanya.
"Hm... aku tau," jawab gadis itu, menganggukan kepalanya tanpa berpaling dari makannya. "Dan ku rasa aku juga tidak perlu datang padamu lalu bilang 'hai, kau menyukaiku ya? Aku juga' tidak perlu kan? Kita bukan anak sekolah yang perasannya perlu diakui orang lain,"
"Kau menyukaiku?"
"Aku tidak membencimu," kali ini Lisa menoleh, mengelap bibirnya dengan selembar tissue kemudian menatap Jiyong. "Kau tidak mau makan?"
"Kau tidak membenciku? Hanya itu?"
"Hm... aku tidak membencimu. Kurasa itu sudah lebih dari cukup?"
"Bagini caramu menolak 100 pria dari kencan butamu?"
"Anniyo, aku akan bilang kalau aku senang bertemu dengan mereka, tapi berharap kami tidak perlu bertemu lagi. Dan aku sedang tidak menolakmu sekarang,"
Lisa menghembuskan nafasnya dengan tenang. Mengulurkan tangannya untuk meraih sendok Jiyong kemudian bergerak untuk mengarahkan tangan Jiyong agar memegang sendok itu.
"Pengacara Kwon, kau pernah menangani kasus perceraian kan? Kau pasti tau alasan pasangan pasangan itu bercerai, karena mereka tidak bisa lagi saling memuaskan. Sebelum berkencan mereka gila untuk satu sama lain, memberi segalanya tanpa menuntut apapun. Kemudian mereka berkencan, jadi mereka memberi sebanyak yang ingin mereka terima. Kita berkencan sekarang, jadi kau tidak boleh mengantar gadis lain pulang, atau kita berkencan sekarang, jadi kau harus membagi waktumu untukku. Sedikit demi sedikit mulai ada tuntutan dan rasa senang yang sebelumnya membuatmu hampir gila mulai terasa biasa saja. Dia mengingat hari ulangtahunku karena itu memang kewajibannya sebagai kekasihku, rasanya tidak lagi spesial. Setelah berkencan akhirnya menikah. Dan kau hanya harus terus memberi dan memberi. Suami berkewajiban memberi makan istrinya dan istri harus memuaskan suaminya. Kebahagiaan kecil yang dulu membuatmu hampir gila lama kelaman jadi terasa hambar,"
"Dan intinya? Kau tidak ingin berkencan denganku?"
"Ya,"
"Tapi aku bisa membuatmu terus bahagia, anniyo, aku akan berusaha kalau memang itu alasanmu menolakku,"
"Aku tidak menolakmu, aku hanya tidak ingin terikat apapun denganmu, untuk sekarang, aku yakin kau juga tidak ingin terikat pada gadis yang masih menangisi mantan kekasihnya kan?"
"Ah... kau menolakku karena belum bisa melupakan mantanmu,"
Jiyong pengacara, Jiyong pandai berbicara dan sekarang ia kalah telak. Sekarang semua ucapannya akan terdengar seperti alasan.
Lisa terdiam.
Mengigit bibirnya sendiri, mencoba memutar otaknya agar Jiyong bisa menerima semua ucapannya, semua keputusannya, tanpa meninggalkannya.
"Jadi, kau tau aku menyukaimu, dan kau juga menyukaiku— kau bisa menyebutnya sebagai tidak membenciku kalau tidak ingin mengakui perasaanmu— tapi kau tidak ingin kita berkencan, kau hanya ingin menghabiskan waktu senggangmu bersamaku, kau hanya ingin bermain, bercinta dan bersenang senang denganku, tapi tidak ingin berkencan denganku. Kenapa? Karena kau masih mencintai mantan kekasihmu, aku benar?"
"Bukankah itu terdengar seperti kisah cinta anak sekolah? Boleh ku luruskan alasanku tidak ingin berkencan denganmu? Aku tidak ingin berkencan denganmu, karena aku tidak ingin kau menuntutku untuk segera melupakannya. Karena aku juga tidak ingin menuntutmu agar kau bersabar setiap kali melihat kekasihmu menangisi pria lain,"
§§§

KAMU SEDANG MEMBACA
Belladonna
FanfictionBelladonna Berarti wanita cantik dalam bahasa Italia. Belladonna Juga mengartikan sebuah Berry beracun. Belladonna Wanita cantik dan racun.