SEBASTIAN
Hidup harus terus berjalan walaupun terkadang kita tidak menginginkannya.
Seperti halnya sekarang, aku harus bangun dengan kepala nyeri serta mata pedih—dan sinar matahari pagi yang menerobos tirai tidak membuat semuanya lebih mudah.
Berjalan gontai ke dapur, aku mengeluarkan kopi instan dan menyeduhnya. Kemudian aku juga menyiapkan sereal. Ketika menikmati sarapan yang tidak istimewa ini, pandanganku berkeliling ke sepenjuru dapur. Sangat berantakan: handuk di konter; lebih dari lima piring kotor; botol alkohol kosong yang telah kubiarkan berhari-hari sehingga menguarkan aroma busuk; dan tidak lupa obat-obatan yang berceceran di hadapanku.
Merasa muak, kulempar mangkuk bekas sereal ke wastafel dan bergegas mandi. Paling tidak, aku memiliki pekerjaan—walaupun hanya sebagai pelayan di kedai kopi pinggir jalan.
Setelah bersiap, aku meraih kunci mobil dan keluar dari apartemen. Dari kejauhan aku mendengar langkah kaki, dan aku pun mendongak untuk melihat seorang perempuan muda yang mungkin seumuran denganku baru saja keluar dari lift sambil membawa dua kantung besar berisi bahan makanan—well, sepertinya.
Ia menatapku dengan mata abu-abunya yang penasaran. Senyum kecil tersungging pada bibirnya, namun aku tidak pernah mampu membalas setiap senyuman yang kuterima. Gadis tersebut berhenti di depan pintu apartemen yang berseberangan dengan milikku, senyumnya masih menempel.
"Hai," sapanya kalem. Aku hanya mengangguk. "Kau penghuni baru?"
"Ya," jawabku dingin. Aku merasa tidak ada gunanya berbasa-basi dengannya, jadi aku memilih untuk berjalan meninggalkannya.
Sesampainya di Chairs & Coffee, aku berganti atasan menjadi kaus Polo hitam dengan logo kedai kopi kami. Lalu aku mengambil notes serta buku menu, dan siap membuka kedai.
"Selamat datang," sapaku kaku ketika pelanggan pertama datang. Aku memberinya buku menu dan menunggunya dengan tidak sabar. Pekerjaan sebagai pelayan memang bukan kemampuanku.
Setelah waktu yang kupikir sangat lama, ia mendongak menatapku. "Double macchiato dan parma ham piadina, terima kasih."
Setelah mencatat pesanannya, aku berbalik menuju konter dan menempelnya di sana. Dan kira-kira begitulah sisa hari yang kuhabiskan di kedai hingga tiba waktu makan siang.
Aku berjalan menuju ruang ganti karyawan dan memakai jaket untuk menutupi seragamku, lalu berderap menikmati jalanan London.
Seperti biasa kota ini selalu penuh dengan turis, dan bisa dibilang aku membenci mereka semua. Mereka hanya orang-orang konyol yang terus-menerus tersenyum sambil berjalan, seolah tidak pernah melihat suasana di perkotaan.
Aku terus berjalan walaupun kurasakan kepalaku pening seperti ingin meledak. Inilah dampak negatif ketika aku berhenti mengonsumsi obat. Para bajingan itu merogoh kocek yang cukup dalam untuk sekantung kecil obat, dan aku belum bisa membayar mereka untuk transaksiku yang sebelumnya.
Aku berhenti ketika sampai pada stan shawarma kecil. Bisa dibilang aku selalu menghabiskan waktu siangku di sini. Dengan uang yang tidak begitu banyak, apa yang bisa kulakukan untuk makan siang?
Jonas, si pemilik stan, tersenyum saat melihatku. Aku tidak membalas senyumnya, tapi aku menepuk bahunya ringan sebagai balasan. Tersenyum benar-benar bukan keahlianku.
"Seperti biasa?" Tanyanya, dan aku hanya mengangguk. Selang beberapa menit, Jonas kembali sambil membawa pesananku. Lalu ia duduk di hadapanku, dan kami mengobrol seperti biasa. "Well, aku punya berita bagus."
Aku menggigit shawarma-ku sambil mengangguk. "Lanjutkan."
"Aku akan melamar Dakota!" Serunya antusias. Setetes saus shawarma jatuh dari mulutku. Mataku melebar karena terkejut dan senang.
"Kau bercanda!"
"Oh, Tuhan! Aku berharap bisa bercanda denganmu, Seb. Tapi bahkan kau tidak tahu bagaimana cara tersenyum."
Aku menyengir sedikit—yang menurutku sudah tersenyum setulus mungkin. "Selamat, Jo! Aku tahu kau akan mendapatkannya."
"Yeah, belum sepenuhnya. Aku akan melamarnya malam ini di depan seluruh keluarganya. Aku merasa seseorang meletakkan bom di tubuhku, dan bom itu bisa meledak sewaktu-waktu."
"Jangan berlebihan," sahutku dingin.
"Dan aku sudah memikirkan untuk menjadikanmu sebagai pendampingku. Kau harus mau!"
Mataku melebar sekali lagi, kali ini dengan ekspresi ngeri. Aku tidak bisa membayangkan diriku sebagai pendamping mempelai pria sambil menggunakan setelan jas putih bersih nan mahal.
"Aku tidak bisa tersenyum," candaku.
"Oh, Sebastian, apakah kau baru saja melontarkan gurauan?" Jonas tergelak ringan sebelum akhirnya bangkit untuk melayani beberapa orang yang baru datang.
Pada pukul satu lewat, aku telah kembali berjalan menuju kedai. Aku selalu menjadi orang pertama yang menyelesaikan waktu istirahat mengingat aku memang tidak punya banyak kegiatan. Dan terkadang bosku memberi bonus untuk itu.
Ketika memasuki kedai, aku melihat ada seorang gadis dan pria tua yang duduk berjauhan menunggu untuk dilayani. Aku segera mengambil perlengkapan dan berjalan ke arah mereka. Setelah mereka memesan, aku segera membuat pesanan minuman mereka karena si barista belum datang. Dan pada saat itulah aku mendengar jeritan.
Aku melongok untuk melihat apa yang terjadi, dan kulihat si pria tua sedang berusaha menyentuh si gadis. Sebut aku pemuda paling dingin karena tidak mampu tersenyum, tapi bukan berarti aku tidak punya hati.
Dalam sekali tarikan, aku berhasil menjauhkan pria tersebut dari si gadis. Pria itu menatapku tajam seolah tidak terima. Ia berjalan menghampiriku dan melayangkan tinjunya pada pelipisku. Rasa pusing yang kembali datang tidak membuatku lemah, justru aku membalasnya dengan cara memukul rahangnya serta menendang perutnya. Ia berlutut kesakitan dan tak mampu bergerak.
Lalu bosku datang.
Tatapannya tajam menusukku. Setelah memastikan bahwa pria itu telah pergi, ia menyuruhku untuk menghadapnya. Brengsek.
"Duduklah, Sebastian," perintahnya kasar. Aku menatapnya tanpa ekspresi. Wajahnya sendiri terlihat kaku. "Kau tahu bahwa perbuatanmu sangat tidak bisa diterima."
"Well," sahutku tajam. "Di satu sisi aku juga menyelamatkan pelanggan."
"Tapi di sisi yang lain kau merugikan pelanggan. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi dengan pria tadi—apakah dia akan selamat atau tidak?"
Aku mendengus kasar. "Dia bisa berjalan keluar dari pintu, Mr. Calder. Aku tidak akan menyebutnya mengalami luka parah."
"Jadi, kau sama sekali tidak menyesal?"
"Untuk menolong seseorang? Well, tidak." Tegasku.
"Baik. Kalau begitu aku juga akan mengatakan hal yang sama." Aku menatapnya heran, lalu Mr. Calder mengeluarkan amplop tebal dari salah satu lacinya. "Aku tidak akan menyesal karena memecatmu, Sebastian. Aku melakukan ini untuk menyelamatkan reputasi kedaiku."
Aku menatapnya untuk waktu yang lama. Tidak bisa dipercaya bahwa dia baru saja memecatku. Dunia sudah gila. Setelah menghelas napas panjang, aku meraih amplop berisi gaji terakhirku itu dengan kasar, lalu beranjak pergi.
Laki-laki keparat!
KAMU SEDANG MEMBACA
The Guardians
Fanfiction[BAHASA INDONESIA] - [SEBASTIAN STAN] • Di saat dunia fantasi pribadinya membungkusnya rapat dari dunia luar yang kurang ajar, Abigail harus menerima fakta bahwa dunia fantasi tersebut tidak selamanya dapat menjadi pelindungnya. Ia harus keluar, har...