The Guardians - #17

323 54 1
                                    

"Jadi, malam ini kita akan pergi ke Mayfair? Bukannya daerah itu merupakan kawasan perumahan elit? Mengapa ada orang yang mau membangun sebuah klub di sana? Jika temanmu itu ingin membangun klub mewah, mengapa ia tidak membangunnya di Knightsbridge saja? Daerah itu kan—"

"Abigail," selaku seraya memundurkan mobil. "Bisakah kau tidak bertanya terlalu banyak pertanyaan?"

"Well, aku penasaran," balasnya sambil cemberut.

Aku menghela napas. "Aku tidak tahu, oke? Sudah kubilang dia bukan benar-benar temanku. Dia adalah teman bosku. Aku bahkan tidak tahu namanya."

Abigail hanya memandang ke depan, tidak menjawab. Rintik hujan menghujam mobil, dan aku bisa merasakan mata berbinar Abigail menikmatinya.

"Aku merindukan aroma tanah basah."

"Kau menakjubkan." Aku meliriknya sekilas. Ia hanya tertawa tidak menanggapi.

"Aku gugup." Suaranya bergetar, namun ekspresinya masih mengagumi hujan.

"Ada apa, baby?"

"Selalu ada serangan rasa panik—selalu." Abigail terus meracau, dan aku tidak paham. "Seb, bagaimana kalau aku merusak? Orang-orang yang datang pasti dari kalangan atas, bukan?"

Oh, sekarang aku mengerti. Menggapai tangannya, aku mengelusnya lembut. "Aku tidak pernah tahu kau punya kebiasaan seperti itu. Well, maksudku, panik berlebihan. Semuanya akan baik-baik saja. Ada aku."

Abigail menghela napas panjang, belum merasa baikan. "Dan aku tidak punya pakaian yang pantas!"

"Abigail, sayang," ucapku. "Semuanya akan baik-baik saja. Kau pikir laki-laki sepertiku punya pakaian yang pantas?"

"Well, kau sudah sempurna!" Serunya.

Aku tertawa sinis mendengar pernyataannya. "Maaf?"

"Intinya, aku harus berpenampilan bagus."

"Abigail, kau sudah sempurna!" Tiruku diiringi pekik antusias yang menyindir. Tinju ringannya menghantam bahuku.

"Maukah kau mengantarku belanja? Bisakah kau minta izin ke bosmu?" Tangannya mengatup berharap, dan ia sengaja membuat ekspresi sedih. Oh, persetan dengan Valerie. Apa pun yang Abigail minta akan kuturuti.

Jadi, kami mengemudi selama sekitar 30 menit untuk mencapai Harrods. Aku sudah mengatakan kepada Abigail untuk tidak menghamburkan uangnya di sana, namun ia masih panik dengan penampilannya malam ini. Mengapa perempuan begitu susah dimengerti?

Selagi kami di perjalanan, pandangannya terus mengarah ke luar, serta jari-jarinya terjalin satu sama lain. Kedua kakinya pun tidak bisa diam. Oh, astaga. Aku tidak pernah tahu Abigail sering mengalami serangan panik seperti ini. Dan dia tidak pernah bilang.

"Abigail," panggilku suatu waktu saat lampu lalu lintas berwarna merah, namun Abigail tidak merespon. Dan kira-kira begitulah yang terjadi selama sisa perjalanan.

Saat kami sampai, aku begitu marah karena ia mengabaikanku sepanjang perjalanan sehingga aku tidak ingin membuang waktu untuk menunggunya. Aku langsung keluar dari mobil, dan menunggunya di luar.

"Seb," gumamnya lembut sambil menyentuh lenganku. Tatapannya terlihat menyesal, dan secara tiba-tiba amarahku menguap. Abigail menyatukan tangan kami, menggiringku untuk berjalan menuju pintu masuk, lalu bersuara, "Aku minta maaf. Aku panik."

Aku berhenti untuk menghadapnya. "Abigail, kau tidak perlu panik. Apa yang membuatmu panik?"

"Oh, aku tidak tahu!" Sergahnya seraya mengacak rambutnya sendiri—dan menurutku itu sangat manis. "Aku selalu seperti ini sejak kecil. Selalu terkena serangan panik, kau tahu. Bahkan untuk hal-hal kecil."

The GuardiansTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang