SEBASTIAN
Aku mengutuk diri sendiri karena bertindak bodoh.
Melirik ke arah sofa, aku melihat seorang gadis tanpa sehelai kain pun sedang terlelap. Aku mengusap wajah karena frustasi. Astaga. Abigail benar-benar menyaksikan kegiatan kami.
Dan lagi, ia masih sudi mencegahku agar tidak pergi meninggalkannya.
Penyesalan pasti ada. Namun aku bersungguh-sungguh tidak ingin menyakiti Abigail, dan meninggalkannya merupakan pilihan terbaik yang kupunya saat ini. Ia terlalu baik—terlalu sempurna. Aku tidak ingin memberinya harapan bahwa aku bisa berubah suatu saat nanti—tidak di saat aku masih belum yakin dengan diriku sendiri.
Ya Tuhan. Aku tidak menyangka. Aku, Sebastian, pemuda paling hancur, mampu merasakan cinta serta penyesalan. Aku, pemuda paling tidak tahu diri, memiliki keinginan untuk melindungi seorang wanita.
Sekali lagi aku mengusap wajah, serta menarik rambut sangking frustasinya. Apa yang akan kulakukan tanpa Abigail? Apa yang akan menjadi pacuanku untuk berubah? Apa yang akan mencegahku melakukan hal-hal bodoh lagi? Apa—
"Seb," erang sebuah suara kekanakan diiringi jari-jari yang menyentuh punggung telanjangku. "Hey."
Aku melirik ke arah si gadis yang aku tidak ingat namanya. Ia menatapku penuh harap seolah tidak puas dengan apa yang baru saja kuberikan padanya. Dan sekarang aku lebih membenci diriku sendiri.
"Keluar." Semburku tajam. Matanya melebar terkejut. "Aku bilang keluar!"
Dengan panik, ia mengenakan sisa-sisa pakaiannya lalu mengemasi barang-barangnya, kemudian menyelinap keluar dari pintu apartemenku yang masih terbuka lebar.
Untuk waktu yang lama, aku hanya duduk dengan kepala terkubur di dalam kedua tanganku. Tanpa kusadari mataku telah kembali basah. Aku benar-benar dibuat lemah oleh Abigail.
Lama menangis, dering ponsel mengejutkanku. Aku melirik jam dinding dan terkejut mengetahui sekarang sudah pukul satu dini hari.
"Halo?" Sambutku malas-malasan.
"Bung!" Suara ceria Jonas menembus gendang telingaku. Well, pertama, ini pukul satu pagi. Kedua, bagaimana bisa Jonas terdengar ceria seperti biasanya pada pukul satu pagi?
"Jo? Ada apa?"
"Aku tidak bisa tidur. Aku terlalu gugup." Ocehnya.
"Rileks," gumamku sementara diriku sendiri tidak bisa rileks. "Ada apa?"
"Pertama, aku harus mengingatkanmu bahwa kau akan menjadi pendamping pengantin pria pada saat pernikahanku. Kau tidak boleh menolak. Untukku, Sebastian!" Aku memutar bola mata. Bagaimana aku bisa melupakan permintaan tolol Jonas itu? Jika bukan karena Jonas adalah temanku yang paling tulus, aku tidak akan mau.
"Yeah, terserah katamu."
"Kedua, well—kau tahu... aku tidak ingin membuatmu terkejut lalu kau kabur begitu saja—"
"Katakan, Jo." Sergahku.
"Pernikahanku dilaksanakan lusa!" Semburnya.
Mau tidak mau mataku melotot lebar. Walaupun aku tidak menanggapi permintaan Jonas dengan serius, namun mengetahui teman terdekatku akan menikah lusa serta aku akan menjadi pendampingnya—Tuhan... itu terlalu sulit untuk dicerna.
"Kau bercanda!" Pekikku. "Kau jelas tidak ingin bermain-main denganku, Jo!"
"Aku tahu! Aku tahu!" Balasnya. "Tapi aku benar-benar tidak ingin membebankan segalanya kepadamu, lalu kau kabur begitu saja."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Guardians
Fanfiction[BAHASA INDONESIA] - [SEBASTIAN STAN] • Di saat dunia fantasi pribadinya membungkusnya rapat dari dunia luar yang kurang ajar, Abigail harus menerima fakta bahwa dunia fantasi tersebut tidak selamanya dapat menjadi pelindungnya. Ia harus keluar, har...