ABIGAIL
Napasku memburu setelah menutup pintu apartemen. Sial, sial, sial. Mengapa Sebastian harus membahas ciuman kami pagi ini?
Aku tidak menyesal, justru sebaliknya. Aku sangat menikmatinya. Aku selalu membayangkan bagaimana bibir Sebastian melekat pada bibirku, dan akhirnya itu terjadi. Hanya saja untuk mengakui perasaanku terhadapnya—well, ini terlalu cepat dan kompleks. Aku menyayangi Sebastian dengan seluruh hatiku, aku bahkan yakin telah mencintainya.
Namun mengakuinya, membiarkan Sebastian tahu—aku menggelengkan kepala. Aku tidak ingin merusak apa yang kami miliki saat ini. Kami begitu dekat dan terbuka. Aku tidak ingin perasaan tolol ini membuatnya menjauh dariku.
Sebastian merupakan sosok yang keras kepala, ia tidak akan percaya dengan yang namanya cinta. Mendorongnya untuk memercayaiku akan semakin mempersulit keadaannya.
Aku merosot ke lantai, merasakan air mata yang merebak.
Aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak akan meninggalkannya. Aku pun berjanji padanya untuk selalu menolongnya. Dan menghadapinya di saat perasaanku kacau akan berujung negatif. Apa yang harus kulakukan? Sebastian akan menyadari perubahan suasana hatiku, dan ia tidak akan meloloskanku.
Apakah kau selalu mencium laki-laki seperti tadi, Abigail?
Pertanyaannya bagai belati. Aku mengerti maksudnya. Ia berniat merendahkanku. Tapi aku tidak peduli—tidak saat satu-satunya orang yang menjadi pusat kehidupanku adalah dirinya sendiri.
Mengenal Sebastian merupakan hal paling indah yang pernah kualami. Ia bagai tantangan yang harus kuambil; bagai teka-teki yang harus kupecahkan; bagai permata berharga yang harus kujaga. Sosoknya begitu kuat nan rapuh pada waktu bersamaan.
Isakan lembut lolos dari bibirku.
Kemudian aku bangkit.
Aku tahu ini pikiran gila. Aku tahu ini merupakan kebiasaan yang telah lama hilang. Tapi aku membutuhkannya. Mengambil kunci serta tas, aku bergegas pergi.
Jika di situasi normal aku akan melirik ke apartemen Sebastian, kali ini tidak. Aku pun sengaja mengambil rute melewati tangga daripada lift karena tidak ingin mengambil risiko bertemu dengan siapa pun. Aku tidak butuh pengganggu untuk saat ini.
Setelah mengemudi beberapa saat, aku berhenti di sebuah klub kecil tua. Papan namanya sudah sedikit berkarat dan menggantung rendah yang sewaktu-waktu bisa jatuh.
Ketika melangkah ke dalam, mataku menangkap sosok Gia. Bisa dibilang kami bersahabat baik, hanya saja lingkungan bersih yang berusaha kubangun membuat kami jarang bertemu.
Matanya seperti hampir lepas dari kelopaknya ketika melihatku.
"Abigail!" Serunya. Beberapa orang menatap ke arah kami, terganggu.
"Hai, G," balasku kalem. Ia berlari memutari bar-nya untuk memelukku. Gia merupakan seorang bartender.
"Apa yang kau lakukan di sini?" Tangan kasarnya menangkup bahuku kuat seolah tidak ingin aku menghilang. "Ya Tuhan. Sudah berapa lama kita tidak bertemu, huh? Satu tahun?"
Aku tergelak lemah. "Mungkin."
Ia menggelengkan kepala tidak percaya. "Apa yang membawamu ke sini?"
"Oh, aku tidak boleh mengunjungi sahabatku?"
Ia memutar bola mata. "Abigail, aku sangat menghargai keputusanmu untuk menjauh dari hal-hal... ini. Dan aku tahu kau adalah orang yang gigih mempertahankan—"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Guardians
Fanfiction[BAHASA INDONESIA] - [SEBASTIAN STAN] • Di saat dunia fantasi pribadinya membungkusnya rapat dari dunia luar yang kurang ajar, Abigail harus menerima fakta bahwa dunia fantasi tersebut tidak selamanya dapat menjadi pelindungnya. Ia harus keluar, har...