The Guardians - #27

221 47 4
                                    

ABIGAIL

Sekembalinya dari acara makan malam kami, Mason mengantarku untuk membeli beberapa keperluan apartemen.

Dan dari sanalah semuanya bermula.

Kami sedang berjalan mengelilingi puluhan sofa cantik ketika Mason menarik lenganku menuju ke salah satu vas porselen besar yang berisi bunga-bunga plastik. Ia menarik salah satu bunga plastik mungil lalu menyelipkannya ke telingaku.

Wajahku praktis memanas.

"Mason—"

"Abigail," selanya. "Kau berhak memiliki sejuta alasan untuk tidak memercayaiku, tapi aku telah berkata jujur. Dan aku tahu kau masih... memikirkan Sebastian. Tapi apa salahnya jika aku mencoba?"

Tanpa pikir panjang, aku pun melepas bunga yang Mason selipkan pada telingaku. Aku masih sangat mencintai Sebastian, dan tidak mungkin aku membuka diri untuk orang lain.

Mason tidak merespon ketika aku meletakkan bunga plastik tersebut kembali ke dalam vas porselen. Ia hanya melihat pergerakanku, dan aku dapat melihat rasa sakit di matanya.

"Mason," aku berhenti sesaat. "Aku tidak ingin menyakitimu jika aku menerimamu. Aku... eh—aku memang belum memercayaimu, tapi kita bisa mencoba berteman saja. Jangan buru-buru."

Lagi-lagi Mason tidak merespon, dan aku menghela napas panjang karenanya. Aku tidak pernah menendang seorang laki-laki, biasanya aku akan mencoba untuk memberi mereka kesempatan. Namun tidak kali ini—tidak ketika Sebastian masih dengan segala kekurangannya membuatku lemah.

Kami kembali berjalan menyusuri deretan cantik perabotan rumah, namun minatku telah hilang bersamaan dengan perasaan canggung yang mulai naik ke permukaan.

Mason sendiri berubah sangat diam. Sesekali ia tetap menunjuk ke arah benda cantik yang mungkin akan kusukai, namun setelah itu ia kembali terdiam.

Memangnya aku salah? Apa yang harus kulakukan? Aku tidak bisa menerimanya begitu saja kemudian menyakitinya. Cinta tidak bisa dipaksa—itu merupakan kalimat paling basi yang selalu diucapkan semua orang, namun aku tahu itu benar adanya.

"Kau akan membeli sesuatu atau hanya mengelilingi toko ini?" Nada dalam suara Mason terdengar menyebalkan, dan otomatis aku menghadapnya. Matanya memancarkan rasa bosan yang kentara. Ada apa dengannya?

"Kau baik-baik saja?" Tanyaku malas-malasan.

Mason mengedikkan bahunya, matanya menghindari mataku. "Aku hanya lelah."

"Kau bisa jujur saja dari tadi, tidak perlu bersikap kasar," celetukku seraya kembali berjalan, namun kali ini menuju ke pintu keluar.

Kudengar langkah kaki Mason mencoba menyusulku. "Abigail—"

"Dengar," sahutku, tiba-tiba berhenti berjalan dan itu menyebabkan tubuh tinggi Mason hampir menabrak punggungku. Aku berbalik ke arahnya. "Aku tidak tahu apa masalahmu, tapi kau tidak bisa bersikap seperti ini, oke? Kau bersikap baik seolah kau memang baik, dan kau bersikap seperti itu untuk menunjukkan bahwa kau tidak seperti kakakmu yang merupakan seorang idiot. Tapi pada kenyataannya kau hanya berpura-pura untuk mendapatkan perhatianku."

"Berpura-pura?" Serunya dengan nada pahit. "Aku memang tidak seperti Quincy, Abigail. Well, tidak lagi. Aku memang ingin mendapatkan perhatianmu karena aku bermaksud baik, karena aku tulus. Aku memang pernah melakukan hal-hal buruk yang diperintahkan Quincy kepadaku—tapi sekali lagi, itu dulu."

"Lantas mengapa kau tidak mampu menerima fakta sederhana bahwa aku belum bisa melepaskan Sebastian?" Semburku. "Aku berusaha untuk memercayaimu, Mason. Oh Tuhan, aku bahkan tidak mengenalmu! Apakah itu tidak cukup?"

"Tapi—"

"Bagus! Bagus sekali!" Terdengar suara nyaring yang berseru semangat diiringi tepuk tangan yang menyela apa pun yang hendak diucapkan Mason.

Kami menoleh, dan mendapati Quincy.

Batinku menyeru agar aku berlari, agar aku menjauhi segala bentuk calon masalah yang akan timbul dari kehadiran Quincy.

"Halo, adik!" Quincy tersenyum lebar sambil berjalan mendekat. Ketika ia telah berjarak satu langkah dari Mason, tangan besarnya menepuk punggung adiknya tersebut. "Kau menghilang beberapa hari. Apa yang kau lakukan, huh?"

Wajah Mason memucat, tangannya mengepal tanpa Quincy sadari. Jantungku sendiri berdegup kencang. Aku tidak percaya bisa berdiri begitu dekat dengan bajingan itu.

"Oh, dan kau, kekasih Sebby!" Serunya antusias seraya meremas bahuku ringan. Seperti ada listrik yang menjalari tubuhku ketika tangan kasarnya menyentuhku. Namun anehnya, aku tetap bergeming seolah tubuhku tidak mampu melawan kehendak Quincy. Dan aku benci memiliki perasaan semacam itu. "Apa yang kau lakukan bersama adikku yang tampan ini, huh? Tidakkah Sebby akan marah?"

Aku tidak tahan lagi. Aku tidak tahan melihat senyuman tolol itu terpatri pada bibirnya di saat sosok busuknya telah begitu banyak menghadirkan kesengsaraan bagi orang lain.

Dalam sekejap, tanganku melayang ke arah pipinya.

Terdengar suara yang memekakkan ketika telapak tanganku berhasil meninggalkan bekas merah pada pipi Quincy. Aku tersenyum dalam hati.

"Dasar perempuan—" kalimat serta tinju Quincy yang hanya berjarak beberapa senti dari wajahku disela oleh tangan adiknya sendiri.

"Apa yang kau inginkan, Quincy?" Tanya Mason kalem.

Untuk beberapa detik yang lama, tatapan penuh amarah Quincy mengunci mataku. Namun akhirnya ia melengos untuk menghadapi adiknya.

"Aku ingin kau pulang dan menyelesaikan apa yang seharusnya kau selesaikan." Pungkasnya tanpa basa-basi. "Aku hanya tidak mengerti mengapa kau mau repot-repot kabur dariku ketika hidupmu sendiri bergantung kepadaku."

Kening Mason berkerut tidak setuju. "Maaf? Bergantung padamu? Aku mempunyai karir cemerlang dan kau merusaknya!"

"Aku membantumu keluar dari perusahaan yang hampir bangkrut dan tidak tahu bagaimana memberi upah pegawainya itu, bajingan!" Suara Quincy menggema di sepenjuru toko, dan aku heran mengapa tidak ada orang yang mencoba untuk melerai kami. Lalu Quincy melakukan hal yang tidak kuduga—menjabak adiknya. Suaranya dingin ketika berkata, "Ikutlah denganku, dan aku mungkin akan berbaik hati untuk tidak merusak wajah tampanmu itu."

Kepala Mason mendongak dengan cara yang aneh akibat jambakan Quincy. Tatapannya tajam menusuk ke manik mata kakaknya tersebut. "Dan jika aku tidak mau?"

"Oh, mudah saja." Quincy pun melepaskan Mason, dan seketika segerombol anak buahnya menyerbu kami. Tanpa repot sedikit pun, salah satu dari mereka berhasil memukul tengkorak Mason dari belakang—yang lalu menyebabkan tubuhnya lemas dan terjatuh ke lantai.

"Mason..." lirihku panik. Suaraku sendiri terdengar bergetar. Aku terlalu takut untuk mengetahui hal selanjutnya.

"Dan kau, cantik—" Quincy mendekat ke arahku, mencengkeram rahangku, "—akan ikut pula bersamaku."

Akal sehatku terlalu tekejut dengan fakta bahwa Quincy secara mengejutkan mengangkat tubuhku, dan membawaku entah ke mana.

Aku tahu apa yang akan terjadi.

Dan bukannya melawan, tubuhku terlalu kaku bahkan untuk berteriak.

Mataku membelalak dengan tatapan kosong, seolah aku sedang melihat hari-hari buruk yang telah menanti.

Sebastian, aku membutuhkanmu.

The GuardiansTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang