The Guardians - #3

522 82 0
                                    

ABIGAIL

Aku menatap pintu di hadapanku yang baru saja dibanting tertutup.

Rasa sakit menjalar pada punggung serta rahangku. Aku yakin Sebastian memiliki alasan mengapa dirinya begitu kasar. Memutuskan untuk bangkit, aku berjalan kembali ke apartemenku.

Sejak hari pertama Sebastian pindah ke gedung ini, aku melihat tatapan matanya yang terus murung. Aku tahu bahwa akan sulit mengenal dirinya, maka dari itu aku mencari tahu tentangnya di gedung bagian pemasaran apartemen. Rasanya tidak bisa dipercaya bahwa aku mau repot-repot mengenal tetangga baru yang begitu kejam. Ya, kejam merupakan kata yang pas untuk dirinya.

Walau begitu, aku merasa harus menolongnya. Ada sesuatu pada diri Sebastian yang membuatku tertarik. Oh, tapi tentu saja. Rahang perseginya, mata birunya, rambut cokelatnya yang berantakan. Aku bahkan bisa merasakan dadanya yang bidang saat ia menghimpitku pada dinding. Dan fakta bahwa ia begitu rusak dan rapuh membuatku menyayanginya.

Oh, sial. Apa yang baru saja kukatakan?

Aku menyalakan ketel untuk membuat kopi. Hari sudah mulai gelap dan turun hujan. Ketika membuka lemari konter untuk mencari bahan makanan, aku tidak menemukan apa pun. Menarik napas panjang, kumatikan ketel lalu menyambar jaket serta kunci mobil. Aku benar-benar tidak ingin keluar dengan tampilan seperti ini, tapi apa boleh buat.

Ketika mengunci pintu, Sebastian pun melakukan hal yang sama. Ia menatap tubuhku dari atas ke bawah, lalu melengos dan pergi. Begitu saja. Aku menatap tubuh tingginya yang bidang berbelok ke arah tangga. Well, sepertinya dia memang tidak ingin berada satu lift denganku.

Lalu tiba-tiba ponselku berdering.

"Mom!" Seruku antusias. Pekerjaan yang mengharuskan Mom keliling dunia membuatnya sulit untuk dihubungi.

"Halo, darling," balasnya terdengar lelah. "Aku baru saja pulang. Benar-benar melelahkan."

"Oh, well, seharusnya kau langsung istirahat."

Mom tergelak pelan. "Bagaimana harimu?"

Seraya merayap masuk ke dalam mobil, aku berusaha menahan air mata yang memaksa turun. Mom tidak boleh tahu.

"Well, kau tahu," aku berhenti untuk menarik napas. "Membosankan. Seperti biasanya."

"Aku berharap kita bisa menghabiskan waktu bersama setelah apa yang terjadi, darling."

"Oh, Mom, jangan merasa bersalah." Gumamku.

Kenangan akan Dad mulai naik ke permukaan. Aku tidak merasa sedih mengetahui ia meninggal karena kecelakaan tragis, tapi aku tahu bahwa Mom sangat terpukul sehingga aku harus bersikap suportif. Pria tersebut tidak pernah ada untuk kami. Ia pengangguran, meniduri setiap wanita yang baru ia kenal, dan ia hampir menjualku demi sekoper uang.

Tapi Mom selalu memaafkannya. Bahkan ia menangis berhari-hari ketika mengetahui tubuh Dad tergeletak tak bernyawa di sekitar sungai. Aku sendiri tidak mengerti bagaimana Mom bisa mencintainya seperti itu.

"Abigail?" Panggilnya. "Abigail, kau masih di sana?"

"Ya." Aku memutar kunci sambil berkata, "Aku harus pergi, Mom. Beristirahatlah. Aku mencintaimu."

Tanpa menunggu balasannya, aku memutus sambungan dan menekan pedal gas.

Aku berhenti di salah satu toko roti langgananku. Pemiliknya merupakan seorang sepupu jauh yang terkadang dengan baik hati memberiku asupan roti gratis.

"Linzy!" Seruku seraya memeluknya.

"Abigail! Apa yang kau lakukan malam-malam begini? Kami sudah hampir tutup."

"Oh, aku hanya butuh beberapa roti. Persediaan makananku habis."

Linzy mengambil kantung kertas dan mengisinya dengan beberapa roti favoritku. Tidak lupa ia juga mengantungi dua bungkus roti tawar gandum.

"Jadi," katanya setelah menyodorkan kantung-kantung berisi roti. "Apa kabar? Kau tidak mampir hampir selama seminggu."

"Aku sangat sibuk dengan proyek baru."

"Kau kembali menulis?" Serunya antusias. Aku tergelak sambil mengangguk. "Wow, Abigail! Sudah berapa lama, huh? Tiga tahun sejak novel terakhirmu diterbitkan?"

"Oh, Linzy, jangan buat aku tidak enak dengan diri sendiri. Kau tahu menjadi penulis bukan pekerjaan yang mudah."

"Well, apa inspirasimu kali ini? Atau siapa?" Tatapannya menggodaku.

"Aku tahu tatapan itu! Oh, Tuhan, kau pikir aku punya seseorang?"

Linzy mengedikkan bahunya sambil membereskan nampan-nampan roti kosong.

"Terkadang kau harus mencari seseorang yang bisa menjadi inspirasimu, Abigail."

"Dan memanfaatkan mereka?"

"Ada apa denganmu?" Erangnya sebal. "Kau selalu berpikiran seperti itu. Menjadikan mereka sebagai inspirasi bukan berarti memanfaatkan mereka."

"Oh, entahlah," aku diam sejenak. "Bukan sifatku."

"Cari sesuatu! Rasakan sesuatu!" Linzy membawa nampan-nampan tersebut dan meninggalkanku.

Rasakan sesuatu? Apakah aku sudah bilang bahwa ada sesuatu pada diri tetangga baruku yang membuatku tertarik?

Pada perjalanan pulang, aku berhenti di salah satu restoran cepat saji dan memesan beberapa makanan. Rasa lapar tiba-tiba menyerangku. Setelah membayar, aku kembali mengemudi.

Saat memasuki gedung apartemen, aku bertemu dengan pria tua dari lantai di bawahku. Ia tersenyum kemudian melangkahkan kakinya mendekat.

"Abigail, bukan?" Tanyanya ramah. Aku hanya mengangguk. "Kau ingat aku pernah meminjam gunting rumput? Pada saat itu ada festival kebun di Notting Hill dan aku tidak membawa gunting rumput."

Seketika wajahku berbinar mengingatnya. "Oh, ya, aku ingat."

"Well, maukah kau mampir ke apartemenku sebentar? Aku selalu lupa naik ke apartemenmu untuk mengembalikannya."

"Tentu."

Setelah naik dan mengambilnya, aku kembali masuk ke dalam lift dan naik menuju lantai apartemenku. Saat keluar, mataku menangkap pemandangan buruk.

Sebastian sedang berbicara dengan laki-laki yang memberinya narkoba. Mereka berdua terlihat sedang berargumen. Dan hal selanjutnya yang kutahu adalah laki-laki tersebut menarik kepala Sebastian dan menghantamkannya ke pintu. Sebastian mengerang kesakitan namun tidak mampu membalas. Laki-laki itu memukul perutnya, rahangnya, hidungnya, hingga akhirnya kembali menghantamkan kepala Sebastian ke pintu.

Tanpa diduga air mataku jatuh.

Aku berjalan perlahan ke arah mereka. Sebastian menangkap mataku sementara punggung laki-laki tersebut menghadapku. Dengan sisa kekuatan yang ada, aku mengangkat gunting rumput ke bagian belakang kepala serta punggung laki-laki itu. Kemudian aku menendangnya cukup keras sehingga sekarang ia terjerembab ke dalam apartemen Sebastian.

Dengan tangan bergetar, aku berusaha mencari kunci apartemenku lalu membukanya. Kemudian aku menarik lengan Sebastian untuk masuk ke sana. Aku ketakutan setengah mati.

Hal selanjutnya setelah mengunci pintu apartemen adalah aku terjatuh ke lantai dan menangis.

The GuardiansTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang