The Guardians - #2

736 89 6
                                    

Lagi-lagi aku terbangun dengan kepala nyeri seperti akan meledak.

Aku berteriak kesakitan dan tidak peduli dengan orang-orang yang akan terganggu. Aku sudah lelah menahan rasa sakit, mungkin sedikit berteriak tidak ada salahnya. Dan lebih buruknya lagi, aku telah menghabiskan persediaan obatku. Apa yang harus kulakukan bila sewaktu-waktu membutuhkannya?

Aku bangkit dan berjalan menuju dapur, lalu membuka semua lemari penyimpanan serta kulkas untuk menemukan alkohol, dan yang ada hanyalah botol kosong. Aku berteriak marah dan melemparkan salah satu botol menyebabkan pecahannya bertebaran.

Rasa sakit yang semakin menjadi-jadi membuatku berlutut sambil mencengkeram kepala. Tubuhku mulai terasa panas dan berkeringat, tanganku bergetar hebat.

Seperti orang yang benar-benar sakit jiwa, aku kembali berteriak untuk mengeluarkan semua rasa sakit yang ada.

Mengapa aku setuju untuk mengonsumsi narkoba?

Untuk beberapa saat yang lama dan menyakitkan, aku merasakan kedua tangan hangat menangkup bahuku. Aku tidak mendengar pintu dibuka, aku tidak mendengar langkah kakinya, tapi aku merasakan ia bersusah payah untuk menolongku.

"Sebastian," bisiknya lembut. Suaranya bergetar dan sarat akan kekhawatiran. "Sebastian, kau bisa mendengarku?"

Aku bahkan tidak tahu siapa perempuan ini dan bagaimana ia tahu namaku. Dan bagaimana dia bisa masuk ke apartemenku? Apakah aku tidak mengunci pintu lagi? Ia terus-menerus mengusap punggungku lembut sementara tubuhku melemas dan perlahan merasa kebas. Aku mendongak untuk menatapnya.

"Hey, kau baik-baik saja?" Aku masih diam dan terus menatapnya heran. Lalu ia melakukan satu hal yang tidak kuduga—tersenyum. "Kau tidak mengingatku?"

"Lepaskan," desisku kasar seraya bangkit dari lantai dan duduk di sofa. "Bagaimana kau bisa masuk?"

"Rupanya kau tidak mengunci pintumu." Ia berdiri canggung dan masih menyunggingkan senyumnya. "Namaku Abigail. Aku tinggal di seberangmu. Kita bertemu kemarin saat—"

Aku mengangkat tangan untuk menghentikannya. "Terima kasih. Kau bisa pergi."

"Kau yakin baik-baik saja? Kau berteriak kesakitan dan—"

"Aku baik-baik saja." Selaku tajam. "Aku bahkan tidak mengenalmu. Keluar dari apartemenku."

Abigail menghapus senyumnya, tatapannya menajam. Ia maju beberapa langkah mendekatiku sehingga sekarang ia menjulang di hadapanku. Lututku bergesekan dengan tungkainya. Kudapati diriku mendongak untuk menatap mata abu-abu gelapnya.

"Aku berusaha menolongmu, Sebastian. Mungkin kau bisa lebih menghargai orang lain. Atau kau bisa berusaha untuk tersenyum dan bersikap ramah." Ia berbalik dan meninggalkanku terpaku.

Aku tidak peduli dengan pendapatnya terhadapku. Dia tidak tahu apa yang telah terjadi dalam hidupku. Mataku kembali menjelajahi apartemen baru ini. Aku masih tidak percaya bahwa aku benar-benar menerima tempat ini dari pelacur itu. Pelacur yang katanya melahirkan dan mencintaiku, namun nyatanya ia yang menenggelamkanku ke dalam kolam narkoba. Well, paling tidak, aku punya tempat tinggal.

Bangkit dari sofa, aku berjalan menuju dapur untuk membuat sarapan. Setelah menyantap makanan kaleng, aku langsung mengambil jaket serta kunci mobil untuk pergi ke supermarket. Aku butuh alkohol—jenis apa pun itu yang bisa kutemukan di supermarket.

Sesampainya di sana, aku bertemu Quincy. Oh, brengsek. Orang terakhir yang ingin kutemui adalah dia. Quincy merupakan bandar narkoba yang belum sempat kubayar, dan sebenarnya alasanku pindah adalah untuk menghindarinya. Namun terlambat.

The GuardiansTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang