The Guardians - #4

459 82 1
                                    

SEBASTIAN

Punggungku yang nyeri menempel pada pintu. Kulihat Abigail berlutut sambil menangis. Aku tidak mengerti mengapa ia menangis. Dan fakta bahwa ia baru saja menyelamatkanku setelah semua yang kulakukan membuatku merasa iba.

Aku tidak ingin memeluk dan menenangkannya, tapi aku berusaha menarik lengannya dan membuatnya duduk di sofa. Mata abu-abunya penuh akan amarah dan kesedihan. Aku melengos dari tatapannya.

"Mengapa kau menyelamatkanku?" Gumamku.

"Tidak ada ucapan terima kasih?" Sindirnya sambil terisak.

"Well, terima kasih."

Abigail mendengus kasar dan bangkit. Kulihat ia mengambil sebatang rokok lalu menyulutnya, kemudian berjalan menuju balkon dan berdiri di sana. Tanpa rasa malu, aku pun mengambil rokoknya dan berjalan ke arahnya.

Kami hanya berdiam diri sambil mengisap rokok serta menikmati udara setelah hujan. Lalu Abigail menghadapku, tatapannya khawatir.

"Kita harus mengobati lukamu." Ia membuang rokoknya ke bawah dan berjalan melewatiku.

"Aku sudah terbiasa," sahutku.

"Kalau begitu, buat kebiasaan baru. Kau tidak bisa membiarkan luka-luka itu membusuk di wajah serta tubuhmu." Abigail kembali ke balkon sambil membawa kotak obat, lalu duduk. "Duduklah, Sebastian."

Aku mematikan rokok dan duduk.

"Buka bajumu."

"Maaf?" Tanyaku terkejut.

"Aku harus melihat lukamu," jawabnya bersikeras.

Aku kembali menurut dan membiarkannya mengobatiku. Kurasakan embusan napas hangatnya ketika ia mendekat untuk membersihkan luka di rahangku. Ia benar-benar berusaha menyentuhku selembut mungkin, seolah aku sangat rapuh dan Abigail tidak ingin merusakku.

Setelah beberapa menit, ia menutup kotak obatnya dan aku kembali memakai baju.

"Kau bisa tidur di sini. Aku tidak akan membiarkanmu kembali apartemenmu."

"Mengapa kau begitu peduli?"

"Oh, entahlah. Mungkin karena kau sangat bodoh?" Tanyanya kasar. "Apa yang dilakukan bajingan itu di sini? Mengapa ia memukulmu?"

Aku mendengus kasar. "Serius, Abigail? Kau ingin tahu? Well, karena ulahmu yang sangat tolol, maka aku harus nekat ke markasnya dan mencuri kembali beberapa obat serta uangku."

Abigail bersedekap. Tatapannya menusukku bagai belati. "Kau tidak memerlukan narkoba untuk bertahan hidup, Sebastian!"

"Well, kau tahu sendiri bagaimana dampak buruknya! Dan terlebih lagi, tidak ada yang peduli denganku sehingga aku harus merawat diriku sendiri."

"Aku peduli denganmu!" Teriaknya frustasi. "Tidakkah kau sadar? Di saat semua orang tidak peduli dengan teriakanmu di pagi buta, hanya aku yang datang."

"Itulah masalahnya! Brengsek." Desisku. "Hanya kau yang peduli, Abigail. Dan aku tidak mengerti apakah kau terlalu bodoh atau kau hanya mencoba menarik perhatianku."

Tatapan Abigail berubah. Ia menatapku nanar, seolah terasakiti. Air mata kembali berkumpul di pelupuk matanya, lalu aku mengalihkan pandangan.

"Well, Sebastian, kau bisa tidur di sofa." Bisiknya parau. "Seburuk apa pun kau mencoba menyakitiku, aku tidak akan membiarkanmu keluar dan kembali tersakiti."

Kulihat ia berjalan menuju dapur lalu menyeduh teh. Baru kusadari bahwa pipinya lebam dan terdapat sedikit memar pada rahang serta lehernya. Aku pun bisa melihat memar pada punggungnya ketika ia berjinjit dan bajunya terangkat tinggi.

Aku mengalihkan pandangan dan menutup mata. Astaga. Apa yang telah kulakukan padanya?

"Kau lapar?" Suaranya memecah keheningan. Sekarang ia duduk di meja makan yang penuh dengan makanan cepat saji. "Aku beli terlalu banyak. Bergabunglah!"

Perlahan tapi pasti, aku menempatkan diri di hadapannya dan mengambil sepotong ayam. Dan sejak saat itu, tangan serta mulutku tidak dapat berhenti.

"Kapan terakhir kali kau makan?"

Sekarang Abigail sedang mencuci semua piring sementara aku kembali duduk di sofa, namun kali ini lebih rileks.

"Tadi pagi." Jawabku singkat.

"Bukan. Maksudku, makan dengan hidangan yang layak."

"Aku tidak tahu. Mungkin beberapa tahun yang lalu."

Abigail tidak menjawab, dan itu membuatku menatapnya. Ia terlihat sedih. Sialan. Aku tidak ingin ia merasa kasihan padaku.

"Jangan repot-repot mengasihaniku." Celetukku.

"Aku tahu." Gumamnya.

Setelah jeda yang panjang, ia masuk ke dalam kamar dan kembali dengan satu bantal serta selimut tebal. Lalu ia mengambil duduk tepat di sebelahku. Jarak kami begitu dekat sehingga paha serta lengan kami bersentuhan.

"Aku ingin menolongmu, Sebastian."

Kalimat sederhananya membuat tubuhku bergetar. Setelah tahun-tahun yang berat, akhirnya ada orang yang benar-benar peduli dan ingin menarikku dari lautan kesengsaraan. Bahkan setelah semua perlakuan buruk yang diterima Abigail dariku.

"Kau tidak perlu—"

"Aku ingin, dan aku akan." Ia meremas lembut tanganku, lalu menyalakan televisi.

Kami menonton film dalam diam. Aku tidak begitu menikmati filmnya, namun Abigail terlihat begitu fokus. Setetes air mata menuruni pipinya. Well, inilah mengapa aku tidak menikmati filmnya. Laki-laki mana yang menikmati film romantis?

"Apa?"

"Huh?" Aku bertanya kebingungan ketika Abigail tiba-tiba menghadapku.

Ia memutar bola matanya. "Kau menatapku lama sekali. Tidak pernah melihat perempuan menangis?"

Aku mendengus dan memilih untuk tidak menjawab. Beberapa menit kemudian, film pun berakhir. Setelah mengucapkan selamat malam, Abigail bangkit dari sofa dan berjalan menuju kamarnya. Aku sendiri segera mencari posisi nyaman untuk tidur—yang sebenarnya tidaklah sulit mengingat sofa milik Abigail sangat lebar dan panjang, aku bisa dengan mudah tertidur.

•••

"Sebastian!" Panggil seorang wanita dari arah klub.

Pemuda berusia 19 tahun tersebut masih terlalu polos untuk mengetahui apa yang terjadi.

Georgeta Orlovschi, ibu Sebastian, menghampirinya dengan pakaian yang membuat pemuda itu memalingkan wajah.

"Mengapa kau membawaku ke sini?" Tanya Sebastian.

"Oh, sayang," Georgeta mendekatkan tubuhnya ke arah Sebastian. Jari lentiknya menelusuri rahang putranya tersebut. "Kau akan bekerja untukku."

"Bekerja untukmu? Di klub murahan ini?"

"Jaga bicaramu!" Georgeta menampar Sebastian. "Kau akan tinggal di rumah besar nan mewah. Kau akan mendapat uang banyak dengan segala fasilitas mewah. Dan kau, putraku sayang, tidak akan melupakanku."

Seorang wanita yang mungkin berusia di awal 40 tahunan menghampiri mereka. Ia sedang mengisap rokok, dan matanya menelurusi tubuh Sebastian dari atas hingga ke bawah.

"Dia sempurna, G," bisiknya kepada Georgeta.

"Apa yang akan kalian lakukan? Menjadikanku budak?" Bentak Sebastian.

"Oh, sayang, kau akan menjadi budakku. Untukku seorang. Dan kau akan menikmatinya."

•••

"Sebastian!"

Aku bangun dengan tubuh berkeringat.

The GuardiansTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang