The Guardians - #8

400 79 1
                                    

DOUBLE UPDATE!

•••

Kami berada di dapur menikmati makan malam.

Sebastian terus bertanya apakah aku baik-baik saja, dan siapa wanita yang datang siang ini. Namun aku belum menjawabnya.

"Abigail, bicaralah padaku," pintanya sekali lagi.

Aku menatap matanya yang khawatir. "Wanita itu adalah ibuku."

"Ibumu?" Matanya melebar. "Oh, sial. Aku menatapnya begitu dingin."

"Well, kau tidak bisa menahannya, bukan? Kau selalu seperti itu." Sindirku sarkastik.

Jeda yang panjang sebelum Sebastian kembali bersuara. "Jadi, apa yang dilakukannya?"

Aku menarik napas sebelum menjawab, "Aku akan menjawab asalkan kau memberitahuku tentang masalahmu."

"Masalahku?"

"Bagaimana kau menjadi orang yang begitu dingin? Mengapa kau memutuskan untuk menyembunyikan segala bentuk emosi—lebih tepatnya, tersenyum?"

Sebastian mengalihkan pandangannya. "Well, kita bisa bermain tanya-jawab."

Setelah membersihkan dapur, kami duduk di balkon ditemani cokelat panas serta rokok. Well, rokok untukku. Walaupun Sebastian merupakan peminum sekaligus mantan pecandu narkoba, ia tidak begitu bergantung pada rokok. Dan itu membuatku sedikit malu.

"Ada apa ibumu ke sini?" Mulainya cepat.

Aku mengangguk singkat sebelum menjawab, "Mom hanya berkunjung seperi biasa. Well, setelah ayahku yang brengsek meninggal, ia menjadi terlalu fokus dengan pekerjaan yang mengharuskannya keliling dunia. Mom tidak menyukai keputusanku untuk pindah dari rumah kami beberapa tahun lalu, tapi aku tidak peduli karena terlalu banyak kenangan buruk di sana."

"Ayahmu yang brengsek?"

Aku tersenyum. "Sebastian, ini giliranku." Sebastian tidak menjawab, jadi aku melanjutkan. "Mengapa kau mengonsumsi narkoba?"

Keningnya berkerut samar. Aku tahu ia sedang berpikir. "Well, aku terlalu depresi."

Aku mengerang sebal. "Hanya itu jawabanmu? Setelah aku memberi jawaban yang panjang?"

"Ini terlalu menyakitkan, Abigail," gumamnya lembut. Aku dapat mendengar nada pahit dalam suaranya.

"Well, aku akan bercerita tentang ayahku—yang sama menyakitkannya. Dan setelah itu giliranmu. Kita tidak akan tersakiti karena kita memiliki satu sama lain, oke?"

Senyuman samar terukir pada bibir Sebastian. Melihatnya tersenyum selalu menjadi kelemahanku. Apakah dia sadar betapa rupawannya dia ketika tersenyum?

Anggukan samar pun dilakukannya, dan aku menghela napas panjang sebelum bercerita.

"Dad itu... well, dia tidak pernah pulang. Aku tidak tahu apa yang dilakukannya. Saat usiaku menginjak 7 tahun dan seolah aku telah mengetahui seisi dunia, aku sadar bahwa ayahku tidak pernah ada untukku. Bahkan untuk Mom." Aku memberi jeda sejenak. Mata Sebastian tidak pernah meninggalkanku. "Dia pengangguran. Tidak pernah ada sekoin uang pun yang pernah ia keluarkan untuk kami. Well, aku tidak pernah melihat Mom menangis—paling tidak, mungkin Mom menyembunyikan emosinya dengan baik."

Apa yang kukatakan bukanlah yang terburuk, namun mataku panas dan setetes air mata pun jatuh. Sebastian tidak merengkuhku ke dalam pelukannya, atau berusaha menenangkanku dengan cara apa pun. Namun ia juga tidak memberiku pandangan iba—yang akan sangat kubenci bila ia melakukannya.

"Dan pada saat aku beranjak remaja," lanjutku, "aku sering melihat Dad berada di klub bersama wanita lain. Well, kau tahu, aku bukan tipikal remaja yang uring-uringan dan tetap berada di rumah. Aku mencoba bersosialisasi, Seb. Ingat ketika aku bilang bahwa aku menulis novel sejak remaja? Well, sejak aku melihatnya bersama wanita lain untuk pertama kali, aku berjanji kepada diri sendiri untuk terus menggali rahasia busuknya. Dan aku terperangkap di dalamnya."

Ingatan tentang Dad yang mencoba menjualku naik ke permukaan. Aku tidak bisa menahan air mata lebih lama lagi. Aku melepaskannya. Baru kusadari bahwa selama ini aku mencoba menahan semua rasa sakit. Dan duduk di sini bersama Sebastian tidaklah membantu.

Kurasakan sebuah lengan kuat melingkari tubuhku. Aku menghirup aroma segar Sebastian dalam-dalam. Ia mengusap rambutku dengan lembut, dan tidak mengatakan sepatah kata pun.

"Kau ingin melanjutkannya? Karena jika tidak, aku tidak akan memaksa," ucapnya setelah jeda panjang.

Menarik napas panjang, aku menjauh dari Sebastian. "Singkat cerita, ia mencoba menjualku kepada temannya."

Air mataku tidak lagi mengalir. Aku mendongak untuk menatap Sebastian. Ekspresinya tidak terbaca, namun aku mengenalnya cukup baik selama beberapa hari ini untuk mengetahui ia sedang marah.

Kusentuh lengannya lembut. "Ia telah meninggal, Seb."

Tatapannya masih keras. "Aku tahu, dan itu bagus. Karena jika belum, aku tidak sabar untuk berhadapan dengannya."

•••

"Ibuku adalah seorang pelacur," mulai Sebastian. "Aku tidak percaya bisa sebahagia ini menyebutnya seperti itu. Setelah ayahku meninggalkan kami, pelacur itu menjadi depresi. Well, aku tidak peduli."

"Mengapa ayahmu meninggalkan kalian?"

Sebastian mengedikkan bahunya. "Aku tidak tahu. Dia pergi begitu saja. Tapi aku tidak pernah membencinya—tidak ketika rasa benciku hanya untuk pelacur itu."

"Apa yang membuatmu begitu benci padanya? Well, kau tahu, selain dia menjadi pelacur."

Sebastian tertawa, namun matanya memancarkan amarah. "Dia menjualku kepada temannya untuk dijadikan budak seks. Pada usiaku yang ke-19 tahun, aku hidup selama dua tahun bersama pelacur yang menjadikanku budak seksnya. Ia akan menyiksaku secara fisik jika tidak memuaskan nafsunya."

Aku hanya menatap sepasang mata biru indah itu tanpa berkedip. Sekarang aku mengerti mengapa ia begitu tertekan. Sebastian sama sekali tidak mendapat kehidupan remaja yang layak. Ia harus menerima fakta bahwa pahlawannya meninggalkannya, dan bahwa ibunya sudah cukup gila untuk menjualnya. Aku tidak butuh jawaban mengapa ia terjerumus ke dalam narkoba. Siapa saja yang mengalami masa-masa sulit seperti Sebastian akan memiliki pikiran yang sama.

Tanpa bisa kucegah, air mata menuruni pipiku. Aku tidak akan menyadarinya jika bukan karena jari Sebastian yang mengusapnya. Ia menatapku dengan senyum lemah.

"Jangan menangisiku, Abigail," ucapnya lembut.

"Tapi kau begitu—"

"Rentan? Rapuh?" Selanya sambil tergelak.

Aku menggelengkan kepala cepat-cepat. "Sebastian, kau memiliki kemauan yang kuat. Aku bahagia bisa melihatmu berjuang."

"Terima—"

"Jangan," selaku. "Berterima kasihlah kepada dirimu sendiri, dan masa lalumu."

Sebastian tersenyum menawan sebelum ia mendekat dan mencium pipiku.

The GuardiansTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang