ABIGAIL
Aku berlari keluar dari klub dengan air mata yang mengucur deras. Bisa-bisanya Sebastian melakukan ini.
Dan terlebih lagi, aku menangis karena telah menyakitinya dengan kalimatku.
Astaga. Mengapa aku merasa tidak bisa marah kepadanya? Mengapa aku harus menyesal telah menyakitinya sementara dirinya sendiri begitu menyakitiku?
Aku duduk di trotoar dalam keadaan menggigil. Sekarang aku tidak bisa pulang. Mayfair bukan daerah yang banyak dilalui taksi mengingat semua orang di sini memiliki mobil mewah mereka sendiri. Ya Tuhan!
Ketika aku hendak bangkit, seseorang menahan pundakku untuk tetap duduk.
"Oh, Tuhan!" Desisku diiringi setetes air mata baru ketika mendongak dan mengetahui Venetia-lah yang berdiri menjulang di hadapanku. Kupikir ia tidak akan sudi untuk duduk, namun gaun indahnya akhirnya menyentuh trotoar.
"Sebastian sangat terguncang," mulainya sambil menyulut rokok. Ketika aku hanya diam, Venetia melanjutkan, "Kalian sangat lihai dalam menyakiti satu sama lain, bukan? Aku mengapresiasinya."
"Oh, maaf, ma'am. Kau pikir aku butuh apresiasimu? Tentu tidak." Balasku sarkastik.
"Apa yang kau lihat dalam diri Sebastian?"
"Maaf?" Ucapku terkejut.
"Aku bertaruh ia begitu rusak ketika kalian bertemu. Mengapa kau tertarik padanya? Karena uangnya?"
Aku tergelak begitu kencang—lalu terkejut bahwa aku masih bisa terdengar begitu bahagia di saat hatiku seperti diremas.
"Karena uangnya?" Otak-tidak-begitu-sehatku mengambil alih. "Apa yang dia punya, huh? Sebuah apartemen pemberian ibunya yang seorang pelacur, serta beberapa lembar simpanan uang yang ia sia-siakan untuk kantung-kantung berisi narkoba tolol, dan sebuah pekerjaan yang sebenarnya aku sendiri tidak tahu apakah akan menguntungkannya atau tidak! Dia memang sangat rusak dan rapuh, aku bahkan tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaanmu! Mengapa aku memilihnya? Well, siapa yang tahu!"
Venetia tersenyum mendengar luapan amarahku. Seharusnya aku tidak terpancing sehingga mencaci Sebastian. Namun aku bisa apa?
"Jadi, kau hanya kasihan?"
Oh, aku tidak akan terjebak dengan pertanyaan itu. "Kau tahu, Venetia, mungkin aku lebih baik darimu. Mungkin aku seharusnya tidak menyia-nyiakan Sebastian seperti yang pernah kau lakukan. Dan sekarang apa? Kau akan mencoba merebutnya dariku?"
Akal sehatku kembali, dan tidak setuju dengan apa yang telah kukatakan. Tapi aku harus membuat Venetia berpikir bahwa aku tidak akan menyerah pada Sebastian—yang saat ini tidak terlalu kuyakini.
"Kau tidak tahu apa yang dia butuhkan, Abigail."
"Dan kau pikir kau tahu?" Sekarang aku berdiri sekaligus menjulang di hadapannya. "Kau pikir yang Sebastian butuhkan adalah kau?"
"Pada kenyataannya, akulah yang membuatnya kuat seperti sekarang! Aku memberinya pelajaran hidup!" Suaranya meninggi, ia pun ikut bangkit. Salah satu jarinya yang lentik mengarah ke dadaku, menusukku ringan dengan kukunya. "Kau pikir kau bisa mengubahnya, hm? Kau pikir Sebastian akan menjadi pria lemah lembut nan penyayang? Bahkan sebelum kami mencintai satu sama lain, dia bukanlah pemuda seperti itu!"
"Mencintai satu sama lain?" Pekikku. "Dia mencintaimu bahkan ketika kau membunuhnya!"
"Aku tidak membunuhnya, bocah!" Tangannya berhasil menamparku, sementara tanganku sendiri mengepal erat. "Aku memberinya pelajaran hidup! Lihat betapa kuatnya dia sekarang! Bahkan mungkin ia akan segera melupakanmu ketika kau meninggalkannya. Ia sudah terbiasa ditinggalkan."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Guardians
Fanfiction[BAHASA INDONESIA] - [SEBASTIAN STAN] • Di saat dunia fantasi pribadinya membungkusnya rapat dari dunia luar yang kurang ajar, Abigail harus menerima fakta bahwa dunia fantasi tersebut tidak selamanya dapat menjadi pelindungnya. Ia harus keluar, har...