Kata-katanya bagai tangan yang menarikku dari lautan—membebaskanku, menyelamatkanku.
Abigail tersenyum lebar nan manis, matanya bersinar penuh percaya diri. Dan ia seratus persen sadar.
Jari-jarinya mengusap keningku yang berkerut, lalu turun menjelajahi pipi hingga rahangku.
"Aku tidak mengharapkan kau akan mengatakan hal yang sama. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku di sini, Seb. Aku tidak akan pergi ke mana-mana." Bibirnya menemukan jalan menuju bibirku, mengecupku ringan bahkan sebelum aku sempat membalas.
"Aku..." gelagapku. "Abigail, aku—"
"Sshh," selanya. "Jangan terburu-buru, Seb. Aku tidak akan memaksa."
Lenganku merengkuh tubuhnya, memeluknya begitu erat hingga kurasakan ia terkesiap. Tapi aku tidak peduli, begitu juga Abigail. Kukubur wajahku dalam-dalam di dalam lekukan lehernya, mencoba menghirup aromanya dalam-dalam. Hingga kurasakan air mataku merebak.
Abigail pernah melihat sisi terburukku, dan aku tidak peduli jika ia menemukanku menangis.
"Seb..." bisiknya ketika setetes air mata menyapu bahunya. Tanpa melepaskan pelukan, ia melanjutkan, "Kau baik-baik saja?"
Pada awalnya aku hanya mengangguk, namun kutemukan suaraku berbicara, "Kau sama pentingnya bagiku, Abigail."
Aku tahu bahwa Abigail mengharapkan kata-kata cinta dariku, namun aku tidak ingin menyakitinya dengan mengatakannya secara terburu-buru dan akan berdampak buruk nantinya.
Bukan berarti aku tidak merasakan hal yang sama.
Kurasakan ia mengangguk lemah, dan hatiku serasa diremas. Aku sangat ingin membalas ucapannya, tapi aku belum bisa. Aku tidak tahu apa itu cinta—apakah yang kurasakan ini juga namanya cinta?
Kemudian Abigail menarik dirinya. Matanya menghindari mataku, tangannya terlepas begitu saja dari leherku. Tenggorokanku tercekat, hatiku serasa diremas melihatnya seperti ini. Aku tahu ia mencoba mengerti perasaanku, namun aku juga tahu setiap perempuan pasti selalu berharap.
Ia melirikku sekilas sambil tersenyum, lalu kembali menyantap sarapannya.
"Well," ucapnya malu-malu. "Jadi, kita resmi?"
Aku tergelak mendengar pemilihan katanya. "Apa pun yang kau suka, Abigail."
Pipinya memerah, senyum cerah kembali merekah pada bibirnya.
"Well, aku mungkin punya satu rahasia mengapa aku tahu namamu dari awal."
Aku mengangkat alis, merasa tersanjung sekaligus sakit hati mengingat sikapku sendiri terhadapnya sejak awal—sikap di mana aku menyakitinya secara fisik.
Ketika aku tidak menjawab, ia melanjutkan, "Aku bertanya ke bagian pemasaran apartemen, yang di lantai dasar. Aku penasaran setengah mati, Seb. Pada hari pertama kau datang, kau terlihat kacau. Aku tidak bisa tahan melihatmu seperti itu."
Rasa panas menjalari tubuhku. Tidak ada yang pernah melakukan itu untukku. Lalu sebuah pemikiran mengusikku. "Jadi, semuanya berawal dari rasa kasian?"
Ia tergelak. "Sahabatku juga berpikir begitu. Tapi tidak, Seb. Aku bersumpah bahwa aku mencintaimu."
Dan lagi, kalimat cintanya membuat hatiku membuncah. Kurasakan pipiku memanas, lalu aku mengalihkan pandangan darinya. Kudengar ia tertawa.
"Uhm, sahabatmu?" Tanyaku tiba-tiba.
"Oh, ya," ekspresinya terlihat ragu, ia menggigit bibir bawahnya. Namun aku memberi pandangan mengerti, dan ia pun melanjutkan, "Ketika aku mabuk—well, aku tidak berniat untuk mabuk. Itu merupakan kebiasaan lama bertahun-tahun yang lalu saat kehidupanku sendiri hancur—kita semua bersikap sama, bukan? Dan aku datang kepada Gia, ia merupakan sahabat sekaligus bartender di sebuah klub kecil di dekat pusat kota. Aku memberitahunya tentang kita."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Guardians
Fanfiction[BAHASA INDONESIA] - [SEBASTIAN STAN] • Di saat dunia fantasi pribadinya membungkusnya rapat dari dunia luar yang kurang ajar, Abigail harus menerima fakta bahwa dunia fantasi tersebut tidak selamanya dapat menjadi pelindungnya. Ia harus keluar, har...