ABIGAIL
Aku merapatkan lengan ke sekeliling tubuhku untuk melawan hawa dingin yang menyengat.
Berjalan menyusuri keramaian London di tengah hawa dingin tanpa mantel dengan gaun yang mengekspos tubuh jelas bukan ide cerdas. Apalagi aku telah berusaha mencegat taksi dan para supir sialan itu lebih rela mengangkut turis karena mereka bisa dibohongi mengenai upah. Bajingan.
Namun pada akhirnya, aku sampai di salah satu klub ramai di ujung jalan karena sudah tidak tahan. Aku tidak berniat untuk mabuk, jadi aku hanya memesan satu gelas bir untuk menghangatkan tubuh.
Lama aku hanya menyesap birku sedikit demi sedikit sambil merenung. Ya Tuhan, apa yang baru saja terjadi? Apakah aku dan Sebastian putus? Apakah kami bukan lagi sepasang kekasih? Mengapa ia membiarkanku pergi?
Kepalaku seakan ingin pecah akibat sengatan bir yang tajam serta pikiran akan Sebastian. Aku ingin membencinya atas semua yang telah ia lakukan. Aku ingin membencinya karena begitu menyakitiku. Aku ingin membencinya karena aku harus mencintainya, merasa tidak bisa melepasnya. Astaga. Aku tidak pernah merasa selemah ini. Aku bahkan tidak pernah mencintai seseorang sedalam ini. Setelah semua yang ia timpakan padaku, aku tidak bisa menyalahkannya, dan itu menyebalkan.
Aku kembali menyesap birku, lalu menyesal karena tidak membawa rokok. Benda mungil itu akan sangat bermanfaat di tengah pusaran hawa dingin seperti ini. Kemudian aku memejamkan mata, mencoba membayangkan hubungan singkat kami yang penuh dengan masalah.
Kalian sangat lihai dalam menyakiti satu sama lain, bukan?
Kalimat kejam Venetia mengiang di benakku, membuatku membuka mata. Sekarang setelah sadar, aku ingin berteriak di wajahnya yang mulus bak porselen bahwa Sebastian-lah yang selalu menyakitiku. Dan aku yang selalu datang untuk menolongnya. Ya Tuhan, sekarang aku membenci diriku sendiri karena terdengar sangat perhitungan.
Tapi jika kau mencintai seseorang yang penuh akan masa lalu kelam seperti Sebastian—dan fakta bahwa kau telah mengorbankan segalanya namun belum dinilai cukup—kau akan melakukan apa saja demi menemukan secuil alasan untuk berhenti mencintainya.
Dan aku? Seratus persen gagal.
Kau tidak memberinya kesempatan.
Sebuah suara muncul di benakku. Begitu samar namun jelas, dan aku membencinya. Aku tahu apa yang kulakukan di mobil tadi. Aku tahu bahwa aku menyuruhnya untuk diam dengan sengaja. Aku tahu bahwa aku melarangnya untuk berbicara. Dan aku seharusnya memberi dia kepastian.
Namun, astaga, kepastian apa? Bahkan sebelum semuanya yang terjadi antara kami dan Venetia, aku masih terkejut ketika ia mengatakan kalimat-kalimatnya yang merendahkanku. Kalimat-kalimatnya yang membuatku berpikir ulang tentang diriku sendiri.
Ia menganggapmu sebagai tukang cari perhatian, Abigail, gumam sebuah suara di kepalaku.
Apakah aku terlalu egois? Apakah seharusnya aku memberi Sebastian kesempatan? Apakah seharusnya aku tidak keluar dari mobilnya layaknya remaja labil? Apakah seharusnya—
"Birmu tumpah," sela sebuah suara feminin. Aku terkesiap ketika merasakan tetesan bir mengenai sepatuku. Oh, hebat. "Kau baik-baik saja, sayang?"
"Uhm, yeah," gelagapku.
Di sampingku telah berdiri seorang wanita cantik yang mungkin usianya berada di akhir 40 tahunan. Ia tampil menawan dengan rambut pirang gelap serta mata cokelat gelap.
"Well, kau terlihat tidak baik-baik saja, sayang." Ia tersenyum lembut sebelum akhirnya mengambil duduk di sampingku. Tangannya memberi isyarat kepada bartender untuk memesan, kemudian fokusnya kembali ke arahku. "Aku tidak pernah melihatmu di sekitar sini."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Guardians
Fanfiction[BAHASA INDONESIA] - [SEBASTIAN STAN] • Di saat dunia fantasi pribadinya membungkusnya rapat dari dunia luar yang kurang ajar, Abigail harus menerima fakta bahwa dunia fantasi tersebut tidak selamanya dapat menjadi pelindungnya. Ia harus keluar, har...