"Bagaimana menurutmu?"
Abigail berputar di hadapanku dengan gaun silvernya. Kakinya tampak jenjang dalam balutan sepatu hak tinggi bertali rumit. Sementara rambutnya ditata membentuk gelombang lembut serta dibiarkan tergerai.
Ia praktis terlihat sempurna.
"Well, well, Abigail, kau akan membuat semua pasang mata tertuju padamu." Kuraih pinggangnya, lalu kukecup bibirnya.
"Oh," ia tersipu malu. "Well, lihatlah dirimu! Sangat tampan."
Aku tertawa keras menanggapi pujiannya, namun bisa kurasakan pipiku memanas. Memberi pujian serta menerimanya bukanlah hal yang sering kulakukan dan kuterima. Abigail mengedipkan sebelah matanya padaku, lalu meraih tasnya.
"Ayo, Seb!"
Di basement, Abigail tiba-tiba merebut kunci mobil dari tanganku. Ia begitu sigap sehingga aku tidak melihat pergerakannya. Tubuhnya berlari menuju mobilku, membuka pintu pengemudinya, lalu mesin mobilku terdengar menyala.
"Apa yang kau lakukan?" Seruku.
"Aku yang akan mengemudi!" Balasnya antusias. "Ayolah, Seb!"
Merasa tidak mampu menolaknya, aku hanya pasrah.
Beberapa saat kemudian kami telah sampai di sebuah klub mewah bernama The Rosende's Thing. Mengingat Mayfair sendiri merupakan salah satu kawasan perumahan elit, jadi di mana-mana aku melihat banyak mobil mewah terparkir di pinggir jalan.
Kami turun dari mobil, dan aku mendapati mata Abigail melebar gugup. Aku menjangkau sisinya, lalu melingkarkan lenganku pada pinggangnya.
"Hey, kau baik-baik saja?" Gumamku.
"Yeah."
"Abigail," aku memutar bahunya lembut untuk menghadapku. "Kita hanya akan masuk untuk menyapa bosku serta temannya, memesan satu minuman, lalu pergi. Rileks."
"Well, yeah, ide bagus."
Aku tidak melepaskan lenganku pada tubuh Abigail mengingat hal itulah yang membuatnya tetap tenang. Sangat mengejutkan aku bertemu banyak orang yang pernah bekerja denganku di Chairs & Coffee. Mereka masih tetap menyebalkan, tapi Abigail mengambil alih untuk menolongku. Ia begitu ramah kepada semua orang yang bahkan tidak kuanggap sebagai teman ataupun rekan kerja.
"Jadi, kau pacar Sebastian?" Tanya seorang laki-laki gempal bermata sipit yang sering mengajakku mengobrol di dapur tapi aku tidak ingat namanya.
Abigail tersenyum manis sebelum menjawab, "Well, seperti itulah."
Gantian seorang gadis muda yang mungkin baru menginjak usia 20 yang membuka mulut. Ia tergelak. "Menakjubkan, bukan? Siapa yang mengira seseorang seperti Sebastian bisa punya pacar?"
"Kalian harus mengenal Sebastian lebih dalam lagi. Mungkin kita bisa menghabiskan waktu bersama?" Tawar Abigail, dan seketika mataku melotot.
"Oh, tidak!" Sergahku. "Aku sibuk. Maaf."
Aku menarik tangan Abigail untuk menjauh dari mereka berdua. Bisa-bisanya dia berbicara seperti itu! Sampai kapan pun aku tidak akan mau membuka diri kepada orang lain. Well, siapa yang tahu? Bisa saja mereka tidak benar-benar ingin mengenalku.
"Sangat tidak sopan, Seb," gerutu Abigail.
"Aku tidak sopan? Well, bagaimana denganmu?" Semburku. "Kau mengajak mereka untuk mengenalku lebih dalam, tanpa seizinku."
"Oh, kau menyalahkanku? Kau harus bersosialisasi, sir!"
"Untuk apa? Untuk disukai oleh semua orang sepertimu?" Bentakku. "Well, mungkin kau harus menerima fakta bahwa kau adalah kau, dan aku adalah aku. Mungkin semua orang bisa menyukaimu karena kau terlalu percaya diri untuk mendekatkan diri kepada mereka, seperti yang dulu sering kau lakukan kepadaku. Dan aku? Well, aku bukan tukang cari perhatian."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Guardians
Фанфик[BAHASA INDONESIA] - [SEBASTIAN STAN] • Di saat dunia fantasi pribadinya membungkusnya rapat dari dunia luar yang kurang ajar, Abigail harus menerima fakta bahwa dunia fantasi tersebut tidak selamanya dapat menjadi pelindungnya. Ia harus keluar, har...